Jakarta, Deras,id – Kebijakan Eropa untuk sepenuhnya menghentikan penggunaan energi berbasis batu bara mulai berdampak pada sektor industri global, termasuk Indonesia. Dalam upayanya mencapai target netralitas karbon pada tahun 2050, Uni Eropa memperketat regulasi energi dengan melarang penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara.
Kebijakan ini dipandang sebagai langkah progresif dalam menghadapi krisis iklim, namun bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, tantangan besar menanti.
Sektor tekstil Indonesia, yang menjadi salah satu penyumbang utama ekspor, berada dalam posisi yang terancam oleh kebijakan ini. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan sebagian besar pabrik tekstil Indonesia terhadap batu bara sebagai sumber energi utama. Penggunaan energi terbarukan di sektor industri, terutama di bidang tekstil, masih sangat terbatas karena mahalnya investasi untuk transisi tersebut.
Ketua Asosiasi Tekstil Indonesia (API), Ahmad Suryadi, menyatakan bahwa keputusan Eropa tersebut dapat memukul industri tekstil dalam negeri, terutama dalam hal biaya produksi.
“Harga produk kita bisa menjadi kurang kompetitif di pasar internasional karena meningkatnya biaya produksi akibat kebijakan ini. Kita harus mencari solusi agar tidak kehilangan pasar Eropa, yang selama ini menjadi salah satu tujuan utama ekspor kita,” ungkapnya.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia berusaha menanggapi kebijakan tersebut dengan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, menegaskan bahwa pemerintah akan memberikan insentif kepada industri yang melakukan transisi ke energi bersih.
“Kami mendorong industri tekstil dan sektor lainnya untuk segera beralih ke sumber energi terbarukan, dan pemerintah siap memberikan dukungan melalui insentif fiskal serta akses ke teknologi hijau,” ujar Agus.
Pengamat ekonomi, Dr. Rini Indriani, menjelaskan bahwa industri tekstil Indonesia harus mulai beradaptasi agar tidak tertinggal dari negara-negara lain.
“Jika kita tidak cepat bergerak, kita bisa kehilangan pangsa pasar yang signifikan. Uni Eropa sangat ketat dalam hal regulasi lingkungan, dan konsumen di sana semakin peduli terhadap keberlanjutan produk,” katanya.
Sementara itu, beberapa perusahaan tekstil besar di Indonesia telah mulai mengadopsi energi terbarukan dalam operasional mereka. Namun, mayoritas industri kecil dan menengah (IKM) masih bergantung pada batu bara karena keterbatasan dana dan teknologi. Jika kebijakan “No Coal Energy” di Eropa ini sepenuhnya diterapkan, sektor ini diprediksi akan mengalami tekanan besar dalam beberapa tahun ke depan.
Dengan tantangan ini, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit antara menjaga keberlanjutan ekonomi di sektor tekstil dan berpartisipasi dalam agenda global untuk mengurangi emisi karbon.
Dukungan pemerintah serta investasi pada energi hijau menjadi kunci bagi keberlangsungan industri tekstil Indonesia di masa depan.
Editor : Dinda