Opini

Era Kebenaran Baru: Ketika Fakta Tak Lagi Cukup

Oleh Anindya Qotrunnada)*

Jadi kalau kita berbantah di media sosial dengan menyampaikan fakta-fakta, tidak ada gunanya. Karena fakta tidak lagi menjadi bagian dari kebeneran baru”

Dahlan Iskan

Di era media sosial yang merajalela, kita menyaksikan kemunculan sebuah fenomena baru yang telah mengubah cara kita memahami dan memperjuangkan kebenaran. Dunia digital telah melahirkan “kebenaran baru” yang berbeda dari kebenaran konvensional yang kita kenal selama ini. Kebenaran saat ini tidak lagi bertumpu pada fakta, melainkan lebih kepada persepsi dan framing. Dalam kebenaran baru ini, fakta sering kali dianggap tidak relevan, dan yang terpenting adalah bagaimana suatu narasi dibentuk dan diterima oleh publik.

Dalam paradigma lama, kebenaran diukur berdasarkan fakta-fakta objektif. Jika kita terlibat dalam sebuah perdebatan, penyampaian fakta-fakta yang jelas dan dapat diverifikasi menjadi alat utama untuk memenangkan argumen. Fakta-fakta ini dianggap sebagai landasan yang tak tergoyahkan dalam menetapkan apa yang benar dan apa yang salah. Namun, di era media sosial, paradigma ini mulai bergeser.

Kebenaran baru tidak lagi bergantung pada fakta. Ia lahir dari persepsi dan dibentuk oleh framing – yaitu bagaimana sebuah informasi disajikan dan diinterpretasikan. Framing merupakan teknik yang digunakan untuk menyoroti aspek-aspek tertentu dari sebuah cerita sambil mengabaikan atau meremehkan aspek-aspek lainnya. Hal ini menciptakan narasi yang mungkin tidak sepenuhnya berdasarkan fakta, tetapi lebih pada bagaimana cerita tersebut disusun dan dimodifikasi sedemikian rupa hingga diterima oleh audiens.

Baca Juga:  Maroko, Abed Al-Jabiri dan Kita

Kasus Ahok di Pilkada DKI 2017

Mari kita lihat bagaimana kebenaran baru ini bekerja dalam konteks perpolitikan Indonesia. Salah satu contohnya adalah Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, di mana framing memainkan peran yang sangat signifikan dalam membentuk opini publik.

Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menghadapi tantangan besar dalam Pilkada tersebut. Kampanye melawan Ahok sering kali tidak didasarkan pada fakta-fakta tentang kinerjanya, tetapi lebih pada persepsi yang dibentuk melalui framing tertentu. Salah satu isu terbesar yang dihadapinya adalah tuduhan penistaan agama, yang muncul setelah pidatonya di Kepulauan Seribu.

Meskipun ada fakta-fakta yang menunjukkan konteks lengkap dari pidatonya, framing yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya berhasil membentuk persepsi bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Persepsi ini diperkuat oleh media sosial, di mana informasi dapat dengan cepat dan luas disebarluaskan tanpa melalui proses verifikasi yang ketat. Akibatnya, banyak pemilih yang terpengaruh oleh narasi tersebut, meskipun fakta-fakta sebenarnya tidak mendukung klaim penistaan agama.

Pencalonan Gibran sebagai Cawapres

Salah satu contoh terbaru dari penerapan kebenaran baru adalah kasus pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pada Pemilu 2024, yang lolos dari sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan ini menjadi kontroversi dan menimbulkan perdebatan luas di media sosial, menunjukkan bagaimana framing dan persepsi dapat mempengaruhi pemahaman publik terhadap sebuah isu.

Di satu sisi, pendukung Gibran dan pihak penguasa menggunakan framing yang menekankan legalitas dan proses konstitusional yang telah diikuti. Mereka menggambarkan bahwa pencalonan Gibran sah dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Narasi ini diperkuat oleh berbagai media resmi yang menyajikan laporan tentang transparansi dan keabsahan proses pencalonan.

Baca Juga:  Tanggapan Pledoi Putri, Jaksa: Dalil Pemerkosaan Tidak Relevan dengan Fakta Hukum Dipersidangan

Di sisi lain, kelompok-kelompok oposisi dan beberapa aktivis menyoroti dugaan pelanggaran dan nepotisme dalam proses tersebut. Mereka menggunakan framing yang menekankan kemungkinan adanya campur tangan dan pengaruh kekuasaan dalam keputusan MK. Narasi ini diperkuat dengan video, meme, dan testimoni yang viral di media sosial, sering kali tanpa mengacu pada fakta-fakta hukum yang konkret.

Persepsi publik terhadap kasus Gibran sangat terpolarisasi. Bagi mereka yang terpengaruh oleh framing pendukung penguasa, keputusan MK adalah langkah yang benar dan sah. Bagi yang terpengaruh oleh framing oposisi, keputusan ini adalah bukti adanya nepotisme dan ketidakadilan. Masing-masing kelompok memiliki kebenaran mereka sendiri, yang tidak selalu didasarkan pada fakta-fakta yang sama.

Hal ini menunjukkan bagaimana kebenaran baru, yang bertumpu pada persepsi dan framing, dapat menciptakan realitas yang berbeda bagi kelompok-kelompok yang berbeda. Fakta-fakta yang ada di balik kasus Gibran sering kali diabaikan atau disalah-artikan, sementara narasi yang dibangun melalui framing menjadi lebih dominan dalam membentuk opini publik.

Perubahan dari kebenaran berbasis fakta ke kebenaran berbasis persepsi ini memiliki dampak yang luas. Pertama, ia menciptakan polarisasi yang lebih dalam dalam masyarakat. Ketika orang-orang percaya pada kebenaran yang berbeda berdasarkan persepsi mereka, dialog konstruktif menjadi semakin sulit. Masing-masing pihak merasa memiliki kebenaran sendiri yang tidak bisa digoyahkan oleh fakta-fakta yang disajikan oleh pihak lain.

Baca Juga:  Begini Fakta Menarik dari Outcast yang Berlatar Belakang Dinasti Song

Kedua, hal ini menimbulkan tantangan besar bagi jurnalisme. Para jurnalis yang dulu mengandalkan investigasi mendalam dan pelaporan berbasis fakta kini harus menghadapi audiens yang mungkin lebih tertarik pada narasi yang sesuai dengan persepsi mereka. Ini memaksa media untuk tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana framing akan mempengaruhi penerimaan audiens.

Lalu, bagaimana kita harus menghadapi tantangan ini? Untuk saat ini yang bisa kita lakukan hanyalah dengan meningkatkan literasi media di kalangan masyarakat. Edukasi tentang bagaimana informasi dapat dibentuk dan dimanipulasi melalui framing sangat penting. Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi.

Selain itu, para netizen, media dan jurnalis harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang berorientasi pada kebenaran dan objektivitas. Meskipun menghadapi tantangan besar, tetap menyajikan fakta secara akurat dan kontekstual adalah cara terbaik untuk melawan narasi yang menyesatkan.

Terakhir, di era kebenaran baru ini, tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan integritas dan kejujuran dalam menyampaikan informasi. Fakta mungkin tidak lagi menjadi raja, tetapi dengan pemahaman yang lebih baik tentang persepsi dan framing, kita masih bisa berjuang untuk menjaga kebenaran yang sejati. WAllahu a’lam bissowaab.

)* Pemerhati Media Sosial

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda