Jakarta, Deras.id – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta umat Islam tidak terjebak dengan romantisme sejarah peran besar mereka. Sebaliknya dia mendorong umat Islam agar dapat kembali menorehkan sejarah baru dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia.
”Yang lebih penting, saat ini yang harus dilakukan umat Islam, termasuk warga Muhammadiyah, adalah membuat sejarah baru. Jangan terus melihat masa lalu, di mana umat Islam banyak memberikan sumbangsih untuk Indonesia,” kata Din saat memberikan tausiah bertema ”Keterlibatan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah dalam Memperjuangkan Indonesia Merdeka” di Gedung Dakwah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jakarta, Minggu (4/8/2024).
Menurut Din, tidak bisa dibantah lagi bahwa sumbangan umat Islam, baik Muhammadiyah, NU maupun ormas Islam lain dalam perjuangan keadulatan Indonesia begitu besar. Dia lalu membagi tongggak perjuangan kedulatan Indonesia menjadi tiga. Pertama, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan perjuangan kedaulatan budaya. Melalui para pemuda dari berbagai latar belakang, terutama umat Islam, menyatakan diri sebagai satu kesatuan tanah air, bangsa, dan Bahasa.
Tonggak kedua adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang disebutnya sebagai penyataan kedaulatan politik. Tetapi, kedaulatan politik tersebut tidak serta merta memerdekakan Indonesia secara wilayah. ”Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 merupakan tonggak perjuangan kedaulatan teritorial Indonesia,” kata Din yang juga menjabat sebagai Ketua Rating Muhammadiyah Pondok Labu tersebut.
Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah laut Indonesia masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO). Dalam peraturan tersebut, ditetapkan wilayah laut Indonesia sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau.
Dengan deklarasi Juanda yang diresmikan dalam UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, wilayah Indonesia menjadi lebih luas, kendati baru diakui dunia 12 tahun kemudian. Deklarasi Djuanda diakui dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
Dalam konteks kekinian, Din berpandangan umat Islam harus tetap berjuang untuk memperoleh kedaulatan. Satu hal yang menjadi perhatian Din adalah kedaulatan yang diperoleh tersebut mulai digerogoti lewat konstitusi. Menurut dia, undang-undang dasar yang sekarang berlaku di Indonesia bukanlah UUD 1945, melainkan UUD 2002. Hal ini menyebabkan kedaulatan politik yang telah diraih terancam.
”Tidak ada kontrol terhadap pemerintahan karena posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah dilucuti. Sekarang inilah kita semua merasakan dampaknya,” ujar Din.
Untuk itu, Din mengajak seluruh umat Islam, termasuk warga Muhammadiyah, untuk memperjuangkan kedaulatan konstitusi. ”Kedaulatan konstitusi itu harus kita raih yaitu kembali ke UUD 1945, dengan catatan tetap ada pembatasan periode kekuasaan,” tutur dia.