Opini

Dari Efisiensi Anggaran Hingga Kapitalisasi, Ke Mana Arah Pendidikan Kita ?

Jakarta, Deras.id – Pendidikan merupakan hak fundamental setiap warga negara dan menjadi tanggungjawab negara untuk memastikan akses yang setara serta berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Namun, beberapa kebijakan terbaru justru mengarah pada degradasi kualitas pendidikan, mulai dari efisiensi anggaran yang berpotensi melanggar konstitusi, privatisasi pendidikan melalui izin usaha pertambangan bagi perguruan tinggi, hingga komersialisasi pendidikan yang semakin nyata dalam berbagai aspek. Kemana arah pendidikan Indonesia sebenarnya ? Apakah kita sedang bergerak menuju sistem yang lebih baik atau justru semakin terseret dalam kapitalisasi dan degradasi nilai akademik ?

Salah satu isu yang mengemuka adalah kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak pada sektor pendidikan. Konstitusi secara tegas mengamanatkan bahwa alokasi minimal 20% dari APBN harus diperuntukkan bagi sektor pendidikan. Namun, dengan adanya kebijakan pemangkasan anggaran, pagu yang dialokasikan untuk pendidikan berada di bawaha batas konstitusional tersebut yaitu pada angka 19,88%. Implikasi dari kebijakan ini sangatlah serius, selain berpotensi melanggar konstitusi pemangkasan anggaran juga dapat menghambat pencapaian tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 4, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemotongan anggaran pendidikan dapat menyebabkan berkurangnya akses terhadap fasilitas pendidikan yang layak, menurunnya kualitas tenaga pendidik, serta berkurangnya dukungan bagi mahasiswa kurang mampu. Jika pendidikan tidak lagi menjadi prioritas negara, maka degradasi sumber daya manusia menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.

Isu lain yang menuai kontroversi ialah kebijakan yang memnungkinkan perguruan tinggi memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Alih-alih fokus pada peningkatan mutu pendidikan, kebijakan ini justru mendorong kampus ke arah privatisasi dan komersialisasi yang semakin dalam. Kampus yang seharusnya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan inovasi kini diberi kewenangan untuk mengelola sektor industri ekstraktif, yang berisiko menggeser fokus utama pergutuan tinggi dari mencetak SDM yang unggul menjadi mencari keuntungan finansial. Selain itu, kebijakan ini juga membuka potensi konflik kepentingan yang besar. Dengan adanya tambang yang dikelola oleh perguruan tinggi, independensi akademisi bisa terancam, dan kampus bisa berubah menjadi institusi bisnis yang lebih sibuk mengelola keuntungan dibanding mendidik dan membimbing mahasiswa.

Selain isu anggaran dan privatisasi kampus, komersialisasi pendidikan juga menjadi masalah besar yang semakin tampak nyata di Indonesia. Pendidikan kini semakin menjelma sebagai industri, bukan lagi sebagai hak dasar warga negara. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), khususnya Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), yang awalnya dirancang untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa, dalam praktiknya justru membuka peluang eksploitasi. Banyak perusahaan yang memanfaatkan mahasiswa sebagai tenaga kerja murah, bahkan menggantikan posisi karyawan tetap dengan mahasiswa magang yang dibayar jauh lebih rendah atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Mahasiswa yang seharusnya mendapatkan bimbingan dalam magang justru diberi tanggung jawab yang setara dengan karyawan tetap tanpa hak dan kompensasi yang layak.

Lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang semakin berorientasi pasar menciptakan paradigma baru bagi mahasiswa: menjadi “Yes Sir” Man, dimana sebuah generasi yang hanya menerima instruksi tanpa daya kritis. Pendidikan yang idealnya membentuk individu dengan kemampuan berpikir kritis dan mandiri kini justru mengarah pada penciptaan generasi yang apatis dan tunduk pada sistem tanpa mempertanyakan keadilannya. Jika kebijakan pendidikan di Indonesia terus bergerak ke arah yang lebih

kapitalistik, kita akan menghadapi ancaman besar dalam jangka panjang. Masyarakat tidak hanya kehilangan akses terhadap pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, tetapi juga akan kehilangan daya kritis dan daya perlawanan. Anak muda yang seharusnya menjadi agen perubahan sosial justru dipaksa tunduk pada sistem yang lebih mengedepankan keuntungan dibandingkan nilai-nilai akademik dan sosial.

Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Jika sektor ini terus mengalami degradasi akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, maka masa depan Indonesia berada dalam bahaya. Sudah saatnya kita mengembalikan pendidikan ke jalurnya yang benar: sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Hal ini menjadi refleksi nyata dari pergeseran paradigma pendidikan di Indonesia. Dari efisiensi anggaran yang mengorbankan hak dasar warga, privatisasi kampus yang mengaburkan misi akademik, eksploitasi mahasiswa dalam program magang, hingga kapitalisasi sistem pendidikan yang menumpulkan daya kritis generasi muda. Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam kebijakan pendidikan, maka generasi mendatang hanya akan menjadi produk dari sistem yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi daripada menciptakan manusia yang berilmu, berpikir kritis, dan berdaya saing. Karena pendidikan bukanlah hanya sekedar bisnis, melainkan hak fundamental yang harus dipenuhi untuk setiap warga negara.

Oleh: Fernanda Putra Aditya, A.Md.Pjk., S.H.

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami