Jakarta, Deras.id – Komite Disiplin PSSI telah memberikan sanksi kepada PSS Sleman terkait kasus match fixing yang terjadi pada tahun 2018. PSS Sleman dijatuhi hukuman berupa pengurangan tiga poin dan denda sebesar Rp 150 juta setelah dinyatakan bersalah atas tindak pidana suap kepada perangkat pertandingan dalam laga melawan Madura FC pada 6 November 2018. Putusan ini ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Sleman pada 25 April 2024.
“Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sleman tertanggal 25 April 2024, tentang tindak pidana suap kepada perangkat pertandingan yang bertugas pada pertandingan antara PSS Sleman melawan Madura FC pada tanggal 06 November 2018,” bunyi yang tertera dalam salinan surat Komite Disiplin PSSI.
Sanksi ini berlaku untuk kompetisi BRI Liga 1 2024-2025, dan sebagai akibatnya, PSS Sleman saat ini berada di peringkat terakhir klasemen sementara dengan koleksi minus tiga poin setelah kekalahan 0-1 dari Persebaya Surabaya pada 11/8/2024 kemaren. Keputusan ini berdampak signifikan terhadap posisi PSS Sleman di Liga 1, dan mereka harus berjuang keras untuk keluar dari posisi terbawah di sisa kompetisi.
Lembaga Save Our Soccer (SOS) besuara dan menyatakan keprihatinan mendalam terkait sanksi yang dijatuhkan oleh Komite Disiplin (Komdis) PSSI kepada PSS Sleman atas kasus match fixing yang terjadi pada tahun 2018. SOS menilai bahwa hukuman berupa pengurangan tiga poin dan denda Rp 150 juta bukan hanya merugikan klub, tetapi juga berpotensi mencoreng nama baik Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. Mereka berpendapat bahwa keputusan ini mencerminkan ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut dan dapat merusak reputasi PSSI, sekaligus menciptakan persepsi negatif terhadap kepemimpinan Erick Thohir dalam upayanya mengelola sepak bola Indonesia secara transparan dan adil.
“Keputusan Komdis yang tak berdasar ini secara tak langsung mencoreng nama baik Ketua Umum PSSI,” kata Koordinator SOS, Akmal Marhali, kepada Bola.net.
“Apalagi, saat ini, ia sedang gencar menyuarakan pemberantasan pengaturan skor. Ini adalah kematian bagi penegakan hukum di lingkup football family,” sambungnya
SOS khawatir bahwa keputusan ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap PSSI, terutama mengingat pentingnya integritas dan keadilan dalam pengelolaan sepak bola nasional. Mereka menyoroti bahwa hukuman yang dianggap ringan ini tidak sebanding dengan dampak dari tindakan match fixing itu sendiri, yang dapat merusak integritas kompetisi dan mencederai semangat fair play dalam olahraga.
Akmal, dari lembaga Save Our Soccer (SOS), menekankan bahwa praktik match fixing yang masih terjadi menunjukkan adanya masalah mendasar dalam tata kelola sepak bola nasional. Ia mengungkapkan bahwa situasi ini mencerminkan kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum di dunia sepak bola Indonesia. Menurutnya, Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI harus mengambil langkah tegas dan proaktif untuk memperbaiki situasi ini.
“Ketua Umum PSSI harus turun tangan mereformasi Komdis,” tegas Akmal.
“Ia harus menurunkan Komite Etik untuk menginvestigasi putusan aneh Komdis. Jatuhkan sanksi apabila ditemukan ada pelanggaran etik,” ucap pengamat sepak bola tersebut.
Penulis: Elfajr l Editor: Apr