Opini

Bukan Sekadar Maba: Narasi Tubuh dan Suara Perempuan di Tahun Pertama Kuliah

Surabaya, Deras.IdBagi banyak mahasiswa baru, memasuki dunia perguruan tinggi adalah gerbang impian yang telah diperjuangkan dengan keringat, doa, dan kerja keras. Euforia ini sering hadir bersamaan dengan rasa ingin bebas setelah bertahun-tahun hidup di bawah aturan sekolah yang ketat. Namun bagi perempuan, tahun pertama kuliah bukan sekadar adaptasi akademik, ia adalah proses menemukan pijakan di ruang yang penuh peluang sekaligus tantangan, di mana tubuh dan suara mereka menjadi bagian dari narasi yang lebih besar.

Tubuh perempuan di ruang kampus kerap menjadi objek pandang, dibicarakan, bahkan diatur secara tak kasat mata melalui norma-norma sosial yang diwariskan. Dari cara berpakaian, gaya berbicara, hingga cara berjalan, perempuan sering kali “dibaca” sebelum mereka sempat memperkenalkan isi pikirannya. Di sinilah pentingnya kesadaran tubuh, bukan dalam arti fisik semata, tetapi sebagai ruang yang otonom, berdaulat, dan bebas dari kontrol yang merendahkan. Mahasiswa perempuan di tahun pertama perlu menegaskan bahwa tubuh mereka bukan objek konsumsi, melainkan subjek yang memiliki hak penuh atas pilihan dan keberadaannya.

Selain tubuh, suara juga menjadi medan perjuangan. Dunia kampus membuka kesempatan untuk berbicara, berpendapat, dan berdebat. Namun, budaya diam yang telah lama dilekatkan pada perempuan sering kali membuat mereka ragu untuk mengangkat suara. Di ruang kelas, forum diskusi, atau rapat organisasi, suara perempuan harus dilihat sebagai kontribusi setara, bukan pelengkap. Membangun kepercayaan diri berbicara di ruang publik, mulai dari presentasi hingga forum kampus adalah langkah strategis untuk mengikis bias gender dan membuktikan kapasitas intelektual.

Relasi sosial di tahun pertama juga menjadi ujian tersendiri. Di sinilah jaringan pertemanan, komunitas, dan organisasi mulai dibentuk. Bagi perempuan, memilih lingkungan yang suportif bukan hanya soal rasa nyaman, tetapi juga strategi bertahan. Pergaulan yang sehat akan menjadi sumber energi dan dukungan, sementara relasi yang toksik dapat menggerus harga diri dan produktivitas. Relasi yang sedikit namun berkualitas lebih berharga dibanding lingkar pertemanan luas yang sarat kompetisi tidak sehat.

Keputusan-keputusan di tahun pertama apakah itu memilih jurusan minor, bergabung dengan organisasi tertentu, atau mengambil peran kepanitiaan yang akan mempengaruhi arah perjalanan akademik dan pribadi. Mahasiswa perempuan perlu memahami bahwa setiap pilihan adalah bagian dari konstruksi narasi diri. Mengambil peluang tanpa mempertimbangkan beban dan dampaknya hanya akan mengaburkan visi. Sebaliknya, memilih secara selektif dengan mempertimbangkan kapasitas dan tujuan akan memperkuat posisi mereka di kemudian hari.

Isu keamanan kampus juga tidak bisa diabaikan. Kasus pelecehan, diskriminasi, atau stereotip gender masih menjadi realitas di banyak perguruan tinggi. Oleh karena itu, mahasiswa perempuan harus menguasai pengetahuan hukum dasar terkait perlindungan diri, memahami mekanisme pelaporan, dan membangun solidaritas dengan sesama mahasiswa. Suara perempuan yang bersatu tidak hanya mampu melindungi individu, tetapi juga mengubah budaya kampus menjadi lebih aman dan setara.

Pada akhirnya, tahun pertama kuliah bagi perempuan adalah tentang membangun fondasi. Fondasi ini terdiri dari kesadaran atas tubuh, keberanian bersuara, integritas akademik, dan jaringan sosial yang sehat. Bukan sekadar menjadi “maba” yang menjalani rutinitas kuliah, tetapi menjadi subjek aktif yang mengarahkan hidupnya dengan visi dan prinsip.

Kampus adalah ruang di mana perempuan dapat menunjukkan bahwa mereka tidak hanya hadir untuk belajar, tetapi juga untuk memimpin, memengaruhi, dan mengubah. Dalam setiap langkah di koridor fakultas, setiap kalimat di forum diskusi, dan setiap keputusan yang diambil, mahasiswa perempuan sedang menulis narasi tubuh dan suara mereka sendiri. Narasi yang kelak akan menjadi bagian dari sejarah, bahwa di tahun pertama kuliah, mereka memilih untuk tidak sekadar hadir, tetapi benar-benar ada yang membawa kebermanfaatan bagi sesama.

Biruku tak akan pudar. Kuningku tak akan luntur. 

Pergerakanku akan selalu tumbuh.

Bergerak, tumbuh, bersinar, dan berkelanjutan.

Penulis: Dhiyaul KIraniyah, Pegiat Feminisme, Mahasiswa Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Editor: AgusW

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami