Oleh: M.Fiqih Syamsul Arifin*
17 Abad yang lalu, teriakan revolusioner mengharu-biru di semanjung Prancis. Bukanlagi sebagai gumam dari manusia yang sejak lama dipaksa tunduk, di Tahun itu (±1789-1799) gelombang protes dari golongan Demokrat dan pendukung Republikanisme menjelma ‘masalah’ bagi kekuasaan monarki absolut hingga menggetarkan dinding-dinding Gereja Katolik Roma. Tokoh-tokoh penggerak Revolusi Prancis meletakkan dasar prinsip penting dalam slogan; Libertè, ègalitè, et fraternittè (kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan), menjadi satu tarikan nafas perjuangan.
Sebenarnya banyak faktor yang melatarbelakangnya, namun diantaranaya untukmenentang ancient regime (rezim lama) yang stagnan menyikapi dunia yang berkembang. Kedua, ambisi ide pencerahan dari kaum pelajar, petani, para buruh, dan individu dari smeua lapisan kelas yang tersakiti.[1, p. 13] Tanpa direncanakan tujuan ini menjadi core value yang berhasilmeresutrukturasi sistem Eropa Modern secara radikal serta mentriger lahirnya gerakan revolusioner di beberapa negara lain; “revolusi Batavia (1794), revolusi Swiss (1798), revolusi Spanyol (1820), Revolusi Rusia (1905), Revolusi Tiongkok (1949), hingga revolusi Kuba (1965).”[2, p. 16]
Panorama ‘Revolusi Prancis’ dalam kredo; “Libertè, ègalitè, et fraternittè” menyimpan bayang-bayang ide pencerahan (Aufklarung) dari para filosof macam John Locke, Baron de Montesquieu, Jacques Rousseau, serta Voltaire atau François Marie Arouet. Gagasan John Locke (1632-1704) menganjurkan dibentuknya konstitusi yang menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai prioritas. Montesquieu (1689-1755) melalui bukunya L’Esprit de Lois (The Spirit of Law) meletakkan asumsi dasar atas pemisahan sistem kekuasaan suatu negara menjadi tiga bagian “Trias Politica”. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) ikut menyumbang ide tentang persamaan hak melalui teorinya du Contract Social (Perjanjian Masyarakat), bahwa gagasan ini berorientasi pada hak ‘merdeka’ berasal dari rakyat, oleh dan untuk rakyat. Voltaire (1687-1778) turut serta menyuarakan tentang pentingnya pemerataan hak dalam pendidikan.[2, pp. 15–16]
Pikiran dari ideolog di atas berhasil menjadi oase bagi masyarakat Modern terutama para akademisi, aktivis dan rakyat Prancis yang telah hilang kepercayaan (public trust) terhadap monarki absolut di bawah Kaisar Louis XVI, termasuk dalam mengentaskan krisis ekonomi yang bertahun-tahun melanda rakyat. Sebagai ideologi gerakan, nilai yang diresonansikan oleh setiap promotor revolusi di negara-negara Barat cukup menjanjikan, menjadi harapan baru bagi masyarakat setelah lama disandera rezim despotic, dan ide-idenya sangat populis.
Namun, idealisme Barat dalam praktiknya perlu direportase ulang, minal dalam dua hal; “1) mencatat praktik demokrasi yang justru undemocratic. 2) Serta Klaim sebagai satu-satunya bangsa yang menjaga prinsip Human Rights tetapi paling massif menciptakan perang, imperalisme dan praktik dehumanisasi.” Sebagai refleksi kritis, rethinking ‘Eropa Sentrisme’ di tengah panas dinginnya konflik Rusia vs Nato yang saling lempar bola panas; saling mendisclaimer bahwa bangsanya tidak menciderai prinsip kemanusiaan sekaligus saling menuduh negara musuh yang melakukan. Tanpa disadari wacana ini dibangun agar memiliki efek domino dalam perang yang berskala lebih besar, sebagai strategi untuk menarik empati sekutu di bawah glorifikasi nilai-nilai yang palsu.
Pertama, Perang di penjara Bastille yang menjadi simbol Absolutisme Greja dan imprealisme Prancis merupakan puncak Revolusi Prancis sekaligus menjadi awal kelahiran ‘Republik Prancis’. Kemenangan rakyat kala itu mempertontonkan kepala Gubernur Bernard-Rene de Launey dan Raja Louis XVI setelah dipenggal masa. Harapan baru lahir dari kredo Libertè, ègalitè, et fraternittè yang massif diresonansikan saat menggelar revolusi. Akan tetapi Robespierre yang menjabat sebagai Komite Keselamatan Publik (comitè de Salut Public) kala itu mengambil alih kekuasaan (1793-1794). Di bawah perintahnya gagasan filosof seperti Rousseau dan John Locke dipraktikkan layaknya “monster” demokrasi totaliter yang menelan banyak nyawa, mempersekusi raja tanpa diadili, menyebabkan terror dan ekskusi massal secara bengis.
Selama menjabat, bayang-bayang demokrasi justru dipraktikkan undemocratic. Tercatat 18.500-40.000 orang dalam buronan, masing-masing 1.900 di bunuh. Sebagian yang dihukum oleh pengadilan revolusioner sekitar 8% dari kelas ningrat, 6% pendeta, 14% kelas menengah, dan 70% sisanya adalah karyawan dari glongan buruh tani yang difitnah menimbun, menolak wajib militer, desersi, berontak dan lainnya.[3] Justru tindakan Robespierre yang memperlakukan pemerintahan revolusi bertolak belakang dengan gagasan Rousseau tentang perjanjian masyarakat dalam teorinya de Contract Social dan Ide Locke tentang Universalitas HAM.
John Locke memberikan hipotesisnya tentang kondisi alamiah (state of nature) sebagai dasar dari Universalitas HAM. Baginya, kondisi alamiah merupakn keadaan harmonis akibat persamaan hak dan kebebasan semua manusia. Dalam magnum opusnya Two Treatises of Government ia menjelaskan kondisi alamiah sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”. [4] Demokrasi Totaliter Robespierre justru menimbulkan kekacauan bukan keadaan damai yang digambarkan oleh Locke, apalagi niat baik “good will” sama sekali tidak tercermin dari sikapnya sebagai symbol negara republic yang mengandung nilai demokrasi.
Sedangkan ide Rousseau tentang kondisi alamiah mengupayakan abstraksi HAM yang ditransisikan menuju kondisi sipil juga juga ternegasikan oleh Robespierre. Rousseau melihat manusia terlahir bebas, namun tidak bisa terpisah dari sesuatu yang mengikat (niscaya). Dalam master peacenya The Social Contract, dia menggambarkan kondisi masyarakat yang legitim yang hanya tunduk pada dirinya sendiri serta tetap bebas.[4] Rekam jejak ini adalah bukti bahwa fase awal berkembangnya sistem demokrasi diperlakukan secara sentralistik dan totaliter, tapi di bawah kendali tangan besi elite politik bukan oleh rakyat atau individu
Kedua, ide HAM di Barat mulai dikenalkan sebagai icon setelah perang dunia ke II, bersamaan dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Rangkaian panjang dalam memberikan urgensi atas penegakan HAM mulai bergulir hampir di semua negara-negara Barat, terutama negara yang menerapkan sistem demokrasi dengan cagar konstitusi di dalamnya. Wacana itu terealisasi dalam prinsip-prinsip seperti; “Trial by Juri, Habeas Corpus, Magna Charta, Bill of Rights, deklarasi kemerdekaan Amerika, dan deklarasi HAM di Perancis”. Robby dalam artikelnya menjelaskan bahwa menurut Maududi (1985:16), justru dengan adanya resonansi nilai HAM di abad 18-19 oleh Barat, terutama dalam proklamasi dan konstitusi AS dan Prancis memberikan kesimpulan bahwa pada dasarnya ide HAM di Eropa tidak memiliki dasar pondasi tentang konsep HAM serta hak warga negara serta tidak disertai dengan praktik yang ideal, bahkan dicederai sendiri.[5]
Beberapa respon masyarakat maupun organisasi dari tingkat regional, nasional hingga internasional mulai menggalakkan issue HAM dan demokrasi. Sejak 1989 beberapa negara besar di belahan dunia seperti Komite Helsinki di Polandia mulai mengganti mata pelajaran yang bernuasa ideologis menjadi materi yang mengandung nilai-nilai Human Rights, kemudian upaya ini disetujui dengan penandatanganan oleh 35 negara mendukung agar nilai HAM mulai dikenalkan di skeolah-sekolah.
Selain itu, Deklarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, Deklarasi Amerika di Bogota tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban (1948), Konvensi Hak-hak Asasi Manusia Eropa (1961), dua perjanjian internasional tahun 1966 (satu tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; yang lain tentang hak-hak sipil dan politik), Konferensi Helsinki (1975), Resolusi UNESCO (1975) mengenai sirkulasi informasi dan gagasan-gagasan internasional, semua teks ini memproklamasikan kemenangan internasionalisasi pandangan yang dijabarkan di Barat sepanjang dasawarsa itu.
Sejarah panjang terlembagakannya HAM dibuat sebagai respon atas praktik dehumanisasi. Hak mendasar bagi manusia adalah bernafas untuk tetap hidup, menjalani kehidupannya dengan bahagia serta aman. Peristiwa perang, politik ekspansionisme, industrialisasi, invasi militer kerapkali menjadi faktor utama terampasnya hak untuk hidup sebagai manusia, garis takdirnya ditentukan oleh kepentingan manusia yang lain bukan oleh dirinya sendiri maupun Tuhan, baik di negara Barat maupun negara yang didominasi islam demi kepentingan kelompok tertentu sering kali menegasikan HAM.
Perang dunia I, perang dunia II, konflik Palestina-Israel, Tragedi Bosnia Herzegovina, perang Teluk serta peperangan yang lain banyak menumpahkan darah, dan masyarakat sipil selalu menjadi korban yang dirugikan. Bahkan dari beberapa fenomena berdarah di atas terjadi setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar deklarasi HAM sedunia. Tidak dapat dipungkiri AS adalah ide dibalik semuanya, sengaja memelihara peperangan sebagai strategi political economy, pertumbuhan ekonominya hampir bergantung pada industry persenjataan perang sebagaimana pernyataan Stephen E. Ambrose. Selain itu kritik atas negara-negara Barat mulai bermunculan, seperti Fun Yew Teng yang melabeling rapor merah karena rekam jejak pelanggaran HAM oleh Barat dalam deretan tragedy perang di Asia, Pasifik, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika yang sebagian masih berlangsung sampai hari ini. catatan merah ini adalah bentuk paradoksnya barat dalam mempraktikkan HAM.
*) Staf kepegawaian BSDM kemendes