Kami mendarat di Bandar Udara Soepadjo pukul 14:37 WIB. Bandara yang terletak di Kabupaten Kubu Raya tersebut berjarak 17 KM dari Kota Pontianak atau sekitar 36 menit dari pusat kota. Kami disambut dengan cuaca mendung, menuju gerimis, musim penghujan sudah merata di beberapa wilayah di Indonesia. Sebuah kabar baik.
Beberapa bangunan di sepanjang jalan dari Bandara menuju Kota Pontianak tampak mempesona dengan hiasan arsitektur dan motif-motif tenun khas Dayak. Kota ini memiliki sejarah panjang sebuah peradaban.
Hari itu, sejumlah awak redaksi Kolomdesa diundang oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal untuk mengikuti sekaligus mendokumentasikan acara “Peningkatan Kapasitas Tenaga Pendamping Profesional (TPP) melalui platform Learning Management System”.
Acara tersebut digelar di penginapan semenjana berbintang tiga, Hotel Borneo. Sekitar 3 KM dari tepian sungai Kapuas dan 2 KM dari warung kopi legendaris Pontianak: Asiang.
Agenda akan diadakan selama 4 hari, dari Kamis-Minggu (7-10 November) 2024. Serta diikuti oleh seluruh Tenaga Pendamping Profesional seantero Kalimantan. Kami membagi tugas, ada yang diminta menjadi moderator, notulensi dan dokumentasi.
Di sesi awal paparan narasumber hari pertama, kami terkaget-kaget ketika mendengar paparan Hendra Bachtiar. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Kalimantan Barat tersebut menjelaskan, pihaknya berhasil meningkatkan status Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal dalam kurun waktu 7 tahun.
“Sekarang di tahun 2024, Provinsi Kalimantan Barat sudah tidak ada Desa Tertinggal dan Sangat Tertinggal. Semua desa minimal berstatus berkembang,” ujarnya, ketika menyampaikan presentasi berjudul ‘Kebijakan Pemerintah Daerah dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Desa’.
Suara Hendra lirih dan tenang. Dari cara pembawaannya, tak berlebihan jika kami menilai ia adalah salah satu pejabat pemerintah yang tahu betul fakta lapangan dan fasih membicarakan urusan yang ditanganinya.
Hendra memulai paparannya dengan hal yang fundamental. Seperti dasar hukum: Undang-undang dan peraturan pemerintah terkait desa, lalu berlanjut ke hakikat dan tujuan pembangunan desa sebagaimana yang umum diketahui.
Tak lupa, ia juga menjabarkan isu-isu strategis Kalimantan Barat sebagai satu wilayah yang memiliki banyak potensi, juga masalah-masalah yang sedang dihadapi.
“Kalbar memiliki total 2046 desa. Indeks Desa Membangun (IDM) kami dari tahun ke tahun memiliki capaian yang sangat baik, naik secara signifikan. Tahun 2024 ini, total sudah ada 1079 Desa Mandiri, 495 Desa Maju dan 472 Desa Berkembang,” jelas Hendra.
Dengan tren tersebut, apa yang disampaikan Hendra terlihat cukup menarik diikuti dan disimak. Padahal, tujuh tahun sebelumnya atau ketika tahun 2018, Desa Tertinggal yang ada di sana masih berada di angka 928, sementara desa dengan status Sangat Tertinggal berjumlah 677 Desa, dan Desa Mandiri hanya 1 Desa.
Menuju satu windu berjalan, Kalimantan Barat membuktikan bahwa tidak ada kerja keras yang sia-sia. Menjadikannya sebagai Provinsi kedua di Pulau Borneo setelah Kalimantan Timur (2020) yang telah berhasil mengentaskan seluruh desa dengan status Desa Tertinggal dan Sangat Tertinggal. Data tersebut berdasarkan situs Data Desa dan laporan resmi Kementerian Desa di website resminya.
Berikut kami cantumkan grafiknya:
Saat sesi tanya jawab atau diskusi interaktif, beberapa peserta atau Tenaga Pendamping dari beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah dan Selatan menyampaikan pertanyaan dengan substansi yang nyaris serupa. “Bagaimana strategi dan cara pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melakukannya?”
Hendra menjawab dengan pelan-pelan dan informatif. Setidaknya ada dua cara yang membuat Kalimantan Barat berhasil melakukan itikad tersebut. Pertama, penyusunan RPJMD yang spesifik soal pemberdayaan desa. Kedua, merapikan data yang ada di lapangan.
Sebenarnya, cara yang disampaikan Hendra dan jajarannya sederhana belaka, tidak ada hal yang baru dan khusus sifatnya.
“Saat Gubernur baru tahun 2018, kami Menyusun RPJMD yang salah satu poinnya memiliki orientasi peningkatan kemandirian desa. Dari RPJMD kami menyusun skema, target dan indikator keberhasilan. RPJMD itu jugalah yang menjadi dasar kita dalam setiap melakukan intervensi kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, utamanya desa,” tutur Hendra.
Selain upaya yang bersifat top-down, Hendra juga menegaskan pentingnya perbaikan data yang ada di lapangan. Ia menekankan bahwa di sinilah peran penting Tenaga Pendamping. Bagi Hendra, perbaikan atau perapian data adalah hal yang tak boleh ditawar dalam upaya meningkatkan status kemandirian desa.
“Sebelumnya di Kalbar data yang ada masih amburadul, banyak desa yang datanya tidak sesuai lapangan, seperti angka buta huruf, jumlah rata-rata pendidikan, serta usia produktif. Hal-hal yang mempengaruhi status IDM kami perbaiki melalui pola pendampingan oleh tenaga pendamping, mulai dari desa, koordinator kabupaten hingga provinsi,” jawabnya.
Alih-alih menggurui, Hendra menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana sahabat lama yang membagi pengalaman perjalanan setelah lama tak bertemu.
Sebelum mengakhiri paparan, salah satu peserta mengajukan tangan dan bertanya. Ia menyoroti betapa kompleksnya persoalan di lapangan. Peserta tersebut acap kali menemukan beberapa desa yang nyaman dan sengaja menjadikan desanya sebagai status tertinggal dan sangat tertinggal.
“Tujuannya agar insentif Dana Desa tidak berkurang. Kami sudah berupaya, namun beberapa oknum pemerintah desa seolah-olah tidak peduli,” gerutu peserta tersebut.
Pertanyaan itu menjadi semacam bola liar dan layak diajukan, sebab apa yang dialaminya bukanlah fenomena yang baru. Kisah-kisah tentang sejumlah oknum desa yang ‘nakal’ dan tak bertanggung jawab pada penilaian IDM hanya agar Dana Desa-nya tidak berkurang seperti sudah menjadi rahasia umum.
Di setiap perkembangan, di situlah ada ironi, kata nasihat lama.
Hendra menjawabnya dengan santai dan bernas, ia seperti orang yang paham benar bagaimana rasanya menjadi pihak yang menghendaki kemajuan.
“Kami sempat menangani hal-hal semacam ini, gampang saja. Jika ada oknum pemerintah desa tak kooperatif, tinggal laporkan. SK Kepala Desa kan yang teken Bupati, selesai. Jika Bupati tidak mengindahkan, langsung dibuat rapat bersama untuk mengirim aspirasi ke Dinas PMD Provinsi,” ungkapnya.
Forum tertawa-tawa. Jawaban Hendra memang terdengar sebagai solusi yang intimidatif, ketimbang sekadar saran yang normatif. Forum sesi pertama di hari Jumat disudahi, 10 menit lagi Adzan akan berkumandang. Pembawa acara mempersilahkan audience untuk beristirahat.
Di forum tersebut, kami mendapat pelajaran yang penting. Bahwa perubahan dan kehendak untuk maju bukanlah jalan satu arah. Ia adalah rel dengan dua jalur. Perubahan yang bermula dari bawah tanpa dukungan serius dari atas adalah omong kosong, sementara inisiatif perbaikan dari atas tanpa dukungan dari masyarakat akar rumput adalah hal yang sia-sia dan utopia.
Penulis: Rizal