Opini

Apa itu Deflasi dan Mengapa Kita Harus Waspada

Oleh : Cahya Aulianto Wicaksono

*pegawai di Kementerian Desa, PDTT

Berdasarkan rilis data angka inflasi Bank Indonesia month to month, selama periode Maret hingga Juli 2024, Indonesia mengalami penurunan angka inflasi yang cukup sigifinikan. Pada Maret 2024, BI mencatat angka inflasi nasional sebesar 3,05%. Angka tersebut turun sebesar 0,92%, hingga pada Juli 2024 angka inflasi nasional sebesar 2,13%. Laju penurunan inflasi nasional sebesar 0,18% setiap bulannya. Angka inflasi tersebut, jauh melenceng dari target BI sebesar 3,50%. Angka inflasi yang terus menurun jauh dibawah target, menunjukkan Indonesia sedang mengalami deflasi.

Apa itu Deflasi?

Deflasi adalah turunnya harga komoditas secara terus menerus. Deflasi membuat rata-rata harga barang/jasa di pasaran menjadi turun. Nilai peredaran mata uang di masyarakat juga mengalami penurunan.

Terjadinya deflasi, disebabkan oleh banyak faktor, seperti: tarik menarik penawaran dan permintaan komoditas barang/jasa di dalam negeri; gejolak di pasar internasional; serta nilai mata uang yang tidak stabil.

Deflasi bagaikan dua mata pisau yang sama-sama tajam. Angka deflasi yang terlalu tinggi, akan menyebabkan harga komoditas turun dengan signifikan, sehingga menyebabkan kelesuan pasar karena tidak mampu menutupi beban produksi. Sebaliknya, angka deflasi yang terlalu rendah, akan menyebabkan harga komoditas semakin tinggi, sehingga masyarakat tidak mampu untuk membelinya dan menyebabkan krisis moneter. Maka dari itu, deflasi harus dikendalikan agar stabil.

Mengapa Kita Harus Waspada?

Menjadi pertanyaan kita semua, deflasi membuat harga komoditas semakin turun, jadi mengapa harus diwaspadai? Jika melihat kondisi ekonomi makro, terjadinya deflasi berbarengan ketika Indonesia sedang mengalami stagnansi pertumbuhan ekonomi. Stagnansi tersebut ditunjukkan dari beberapa indikator, seperti melemahnya kurs nilai mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, serta daya beli masyarakat yang menurun.

Berdasarkan data JISDOR, kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 31 Maret 2024, sebesar Rp. 15,909,00. Angka tersebut mengalami pelemahan 2,42%, sehingga berubah menjadi Rp. 16.294,00. Berbeda dengan nilai Kurs Rupiah Acuan yang ditetapkan melalui kebijakan moneter, JISDOR (Jakarta interbank spot dollar rate), merupakan nilai rata-rata transaksi mata uang Rupiah terhadap mata uang asing di pasar bebas. Artinya nilai JISDOR merepresentasikan realitas sesungguhnya di pasar uang. Melemahnya nilai kurs JISDOR, berarti nilai mata uang Rupiah semakin tidak laku di pasaran. Nilai komoditas impor semakin mahal, sehingga menyebabkan biaya produksi dalam negeri yang didominasi oleh bahan baku impor juga akan meningkat. Hal ini akan membuat harga barang semakin tidak kompetitif.

Selain itu, daya beli masyarakat juga melemah. Pelemahan daya beli tersebut, menyebabkan konsumsi masyarkat untuk memenuhi kebutuhannya, semakin menurun. Selama Januari 2021 hingga Juli 2024, rata-rata konsumsi karbohidrat masyarakat (beras, jagung, dan ketela), mengalami penurunan sebesar 0,01 kg per minggu, sehingga rata-rata konsumsi karbohidrat pada tahun 2023, sebesar 1,55 kg per minggu. Rata-rata konsumsi protein hewani (ikan, daging, dan telur), mengalami penurunan sebesar 0,05 kg per minggu, sehingga rata-rata konsumsinya sebesar 3,35 kg per minggu. Rata-rata konsumsi bahan dapur (bawang, cabai, minyak, kelapa, garam, dan gula), menurun sebesar 0,03 kg per minggu, sehingga rata-rata konsumsinya sebesar 0,54 kg per minggu.

Komoditas karbohidrat, protein, dan bahan dapur, merupakan kebutuhan pokok yang pasti dikonsumsi oleh masyarakat. Jika jumlah penduduk semakin meningkat setiap tahunnya, maka logikanya konsumsi kebutuhan pokok juga semakin meningkat. Namun, faktanya justru sebaliknya. Rata-rata konsumsi kebutuhan pokok semakin menurun, sehingga mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat yang menyebabkan masyarakat mengurangi konsumsi kebutuhan pokoknya.

 Melemahnya nilai mata uang Rupiah dan daya beli masyarakat, dibarengi dengan deflasi, merupakan alarm waspada bagi pemerintah. Terjadinya deflasi, disebabkan karena permintaan masyarakat terhadap komoditas barang/jasa menurun. Penurunannya disebabkan daya beli masyarakat yang lemah, sehingga tidak mampu membeli kebutuhan pokok dan memilih untuk menguranginya. Produsen meresponnya dengan menurunkan harga komoditas. Ditambah lagi nilai Rupiah yang semakin melemah, sehingga harga barang impor, baik bahan baku produksi dan barang konsumsi, menjadi semakin mahal. Hal ini menyebabkan produsen semakin kesulitan dalam menutupi biaya produksinya. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus, maka pasar komoditas akan mengalami kelesuan dan berdampak pada terjadinya krisis ekonomi.

Solusi Inovatif untuk Mengatasi Deflasi dari Desa

Deflasi merupakan gejala ekonomi makro yang seringkali diatasi dengan kebijakan makro di tingkat nasional, seperti penyesuaian suku bunga acuan, kebijakan kredit, dan dana talangan. Desa seringkali dikesampingkan perannya dalam kebijakan ekonomi makro, seperti pada masalah deflasi. Padahal, desa memiliki potensi besar. Berdasarkan segi kewilayahan, desa mencangkupi lebih dari 90 persen wilayah Indonesia. Sehingga, jika kebijakan untuk memperkuat kondisi ekonomi makro dimulai dari desa, dampaknya akan terasa luas di seluruh wilayah Indonesia.

Cara paling efektif untuk mengendalikan angka deflasi dengan meningkatkan produktivitas desa. Pertama, menggalakkan pembangunan dengan skema padat karya. Skema padat karya akan menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja di desa. Selain itu, skema padat karya berkontribusi memberikan pendapatan bagi tenaga kerja desa, pada akhirnya daya beli masyarakat akan meningkat. Secara simultan, akan merangsang meningkatnya konsumsi masyarakat, sehingga harga barang dan perputaran uang menjadi stabil.

Kedua, menjaga kestabilan perputaran uang di desa. Pemberian kredit produktif perlu ditingkatkan, seperti bantuan modal untuk UMKM. Skema pemberian kredit dapat memanfaatkan kelembagaan ekonomi di desa, yaitu BUM Desa dan BUM Desa Bersama. Selain dapat meningkatkan produktivitas BUM Desa dan BUM Desa Bersama, skema kredit desa juga menjaga perputaran uang tetap di desa, tidak keluar ke kota, ataupun ke luar negeri. Kontrol perputaran uang di desa semakin mudah dilaksanakan, sehingga berdampak pada kestabilan perputaran uang secara nasional.

Ketiga, secara jangka panjang, melaksanakan kebijakan penguatan ketahanan pangan di desa secara berkelanjutan. Sektor pangan sangat memengaruhi pergerakan angka inflasi dan deflasi karena komoditas pangan adalah kebutuhan pokok yang pasti dikonsumsi. Oleh karena itu, terkontrolnya produksi dan konsumsi pangan akan menstabilkan angka inflasi dan deflasi.

Penguatan ketahanan pangan desa dapat dilakukan dengan sistem produksi pangan terpadu dan berkelanjutan. Produksi pangan pokok, seperti beras, jagung, dan ketela organik, dilaksanakan secara terpadu dengan peternakan. Batang tanaman padi, jagung, serta bongkol jagung dapat diolah kembali menjadi pakan ternak dan pupuk organik. Kotoran hewan ternak juga dapat diolah kembali untuk menyuburkan lahan pertanian. Aktivitas pertanian dan peternakan dilakukan di wilayah yang berdekatan atau dapat diakses dengan baik, sehingga menurunkan biaya distribusi. Hal ini akan berdampak pada kestabilan produksi dan konsumsi pangan desa.

Pelaksanaan kebijakan untuk menjaga kestabilan angka inflasi dan deflasi dari desa, membuat kontrol kebijakan semakin mudah dilaksanakan. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa. “Percaya Desa, Desa Bisa!” menjadi kekuatan utama menjaga kestabilan ekonomi makro nasional.

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami