Hukum

Reformasi Hukum Kepailitan Mendesak untuk Lindungi Start Up

Jakarta, Deras.id – Indonesia saat ini menjadi salah satu raksasa ekonomi digital di Asia Tenggara. Laporan e-Conomy SEA 2023 mencatat bahwa nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai USD82 miliar, dan diproyeksikan melonjak ke USD109 miliar pada 2025. Di sisi lain, tumbuhnya lebih dari 2.400 start-up menjadikan Indonesia sebagai ekosistem terbesar kelima di dunia menurut data Startup Ranking.

Sayangnya pertumbuhan kuantitatif ini tidak serta-merta diiringi daya tahan bisnis. Beberapa start-up terpaksa melakukan PHK massal, menghentikan ekspansi, bahkan menutup operasi. Dalam banyak kasus, kepailitan terjadi diam-diam, tanpa perlindungan hukum yang memadai bagi pemilik, investor, maupun pengguna layanan.

Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia terus mencetak angka fantastis, tapi tak semua cerita di baliknya berakhir manis. Banyak perusahaan rintisan yang tumbuh cepat, tetapi juga ambruk lebih cepat lagi. Dalam lanskap bisnis yang volatil ini, hukum kepailitan Indonesia dinilai masih terlalu konvensional untuk menjawab tantangan baru.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka) Bisman Bhaktiar menilai sistem hukum kepailitan di Indonesia belum diperbarui secara substansial sejak diberlakukannya UU No. 37 Tahun 2004.

“Hukum kita masih berpijak pada model bisnis lama, sementara pelaku ekonomi digital sudah bicara tentang valuasi data, aset tak berwujud, hingga transaksi lintas platform,” ujarnya dalam diskusi publik bertema Reformasi Hukum Kepailitan untuk Menjawab Tantangan Ekonomi Digital dan Start-Up, Rabu (9/7/2025).

Diskusi daring ini mempertemukan para akademisi, praktisi hukum, dan pemangku kepentingan yang selama ini berkecimpung di sektor digital. Dua narasumber utama yang dihadirkan adalah Muh. Salman Darwir, Senior Partner di Das Law Farm, dan M. Ihsan Tanjung, kurator sekaligus dosen Fakultas Hukum Uhamka.

Diskusi ini mendorong sejumlah gagasan penting: perlunya redefinisi status debitur dalam konteks digital, pengakuan atas aset tak berwujud dalam proses hukum, dan mekanisme khusus untuk perlindungan konsumen ketika platform digital bangkrut.

Bisman berharap hasil diskusi dapat menjadi dasar penyusunan policy paper atau naskah akademik lanjutan. “Kami di Uhamka tidak ingin hanya mengamati dari pinggir. Peran akademisi adalah menyusun nalar hukum baru, lalu menyampaikannya kepada pemangku kebijakan secara konstruktif,” ujarnya.

Dengan mendorong kerja sama antara kampus, praktisi, dan otoritas regulasi, Uhamka menegaskan komitmennya untuk menjadi bagian dari solusi. “Di era disrupsi, hukum tidak bisa berjalan lambat. Ia harus bisa berlari secepat perubahan teknologi,” ujar Bisman.

Show More
Dapatkan berita terupdate dari Deras ID di:

Berita Terkait

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Matikan AdBlock di Browser Anda, Untuk Menikmati Konten Kami