Refleksi Akhir Era MBKM: Merdeka Belajar atau Murah Bekerja?

Surabaya, Deras.id – Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) digadang-gadang sebagai terobosan besar dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Diluncurkan dengan semangat “membebaskan” mahasiswa dari sekadar rutinitas kelas, MBKM menjanjikan dunia luar sebagai ruang belajar yang lebih nyata: perusahaan, lembaga riset, organisasi sosial, bahkan instansi pemerintah. Namun kini, saat program ini bersiap untuk direvisi dan berganti arah dalam kurikulum baru, pertanyaan kritis muncul: apakah mahasiswa telah merdeka belajar, atau justru hanya menjadi “tenaga kerja murah” atas nama pendidikan?
Salah satu program paling masif dari MBKM adalah Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (Magang MBKM). Ribuan mahasiswa dikirim ke berbagai perusahaan dan institusi, bekerja penuh waktu selama 4–6 bulan, masuk lima hari seminggu, delapan jam per hari. Di atas kertas, program ini dirancang untuk meningkatkan employability dan keterampilan kerja mahasiswa. Namun di lapangan, banyak mahasiswa tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan pembelajaran yang bermakna dalam rangka pengembangan keterampilan profesi mahasiswa. Mereka hanya disibukkan dengan pekerjaan teknis yang repetitif.
Asimetri relasi kuasa antara instansi, perusahaan dan mahasiswa membuat situasi ini kian problematis. Mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi tentu mengalami beban lebih besar: harus membayar kos di kota magang, biaya makan, transportasi, bahkan harus meninggalkan pekerjaan paruh waktu mereka demi magang yang “tidak dibayar tapi diwajibkan kampus”. Maka, alih-alih memperluas kesempatan Merdeka Belajar, Program Magang MBKM justru bisa menjadi alat eksploitasi terselubung, terutama bagi mahasiswa rentan secara ekonomi dan sosial.
Lebih dari itu, orientasi MBKM yang sangat “pasar-sentris” patut dipertanyakan. Pendidikan tinggi menjadi semakin diarahkan untuk melayani instansi dan perusahaan: kurikulum dibentuk sesuai kebutuhan pasar kerja, bukan kebutuhan bangsa atau rakyat. Mahasiswa dibentuk untuk patuh, cekatan, tetapi jarang didorong untuk berpikir kritis atau membangun gagasan besar. Kampus pun menjelma jadi “agen rekrutmen”, bukan lagi pusat ilmu pengetahuan yang membebaskan. Mahasiswa tidak benar-benar mendapatkan pendidikan yang memanusiakan, melainkan hanya dijadikan komoditas untuk dunia kerja.
Program magang dan pembelajaran di luar kampus tentu bisa menjadi pengalaman berharga—selama dilakukan dengan adil, transparan, dan berbasis pembelajaran yang bermakna. Mahasiswa bukan sekadar selalu patuh tanpa daya kritis. Mereka juga bagian dari warga negara muda yang berhak atas pendidikan yang adil dan bermutu, yang membebaskan cara berpikir dan memperkuat keberdayaan hidup.
Kini, saat wacana revisi kurikulum mulai digulirkan dan era MBKM perlahan memasuki akhir masa berlakunya, inilah momen yang tepat untuk melakukan refleksi kolektif: mengevaluasi dan membangun ulang sistem pendidikan tinggi yang berpihak pada mahasiswa, bukan pada pasar. Merdeka Belajar seharusnya tidak hanya memperluas ruang belajar, tetapi juga memperluas kesadaran. Bukan sekadar membuka jalan ke dunia kerja, tetapi juga membuka cara berpikir yang kritis dan merdeka. Merdeka belajar bukanlah murahan bekerja, melainkan upaya membentuk mahasiswa yang merdeka dalam berpikir, bertindak, dan menentukan arah hidupnya. Dari sanalah keberdayaan sejati bermula.
Penulis: Muhammad Rafly, Penulis Buku “Anaway”, Pegiat Sastra, Pemerhati Hukum, Ketua Rayon Hukum PMII Bela Negara UPN “Veteran” Jawa Timur
Editor: AgusW