Kelas Menengah Terabaikan Akibat Timpangnya Kebijakan Ekonomi
Oleh: Anindya Qotrunnada
*)Pemerhati Ekonomi dan Sosial
Kebijakan ekonomi Indonesia selama ini cenderung menguntungkan dua kelompok, yaitu kelompok atas (oligarki bisnis) dan kelompok bawah (masyarakat berpenghasilan rendah), sementara kelas menengah sering kali diabaikan. Padahal, kelas menengah memainkan peran penting sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Selama ini, pemerintah lebih fokus memberikan insentif besar kepada oligarki bisnis seperti pembebasan pajak, akses eksklusif terhadap proyek-proyek besar, dan kelonggaran regulasi. Kebijakan ini membuat ketergantungan pemerintah terhadap segelintir pengusaha besar semakin kuat, karena mereka menjadi pilar utama pendanaan proyek pembangunan. Pada akhirnya, ketergantungan ini memperkuat cengkeraman oligarki atas perekonomian, sehingga menciptakan ketimpangan yang semakin parah karena kekayaan terkonsentrasi pada sekelompok kecil elite bisnis.
Di sisi lain, belanja sosial untuk masyarakat miskin yang terus meningkat juga menjadi bagian penting dari kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, dan Program Keluarga Harapan (PKH) diandalkan untuk meredam kemiskinan. Meski sangat bermanfaat, ketergantungan berlebihan pada bantuan sosial dapat memunculkan masalah jika tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan ekonomi yang berkelanjutan.
Akan tetapi, perhatian Pemerintah terhadap kelas menengah tampak minim. Ketimpangan ini jelas berpotensi merusak stabilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kelas menengah sering kali berada di luar cakupan kebijakan strategis ekonomi. Kelas Menengah tidak cukup miskin untuk menerima bantuan sosial, namun juga tidak cukup kaya untuk memanfaatkan insentif bisnis yang ditujukan bagi oligarki. Akibatnya, mereka rentan terhadap perubahan ekonomi dan bahkan berpotensi jatuh ke dalam kemiskinan jika tidak ada kebijakan khusus yang mendukung pertumbuhan mereka.
Padahal, kelas menengah memiliki peran krusial dalam mendorong konsumsi domestik, yang menjadi komponen utama dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, mereka juga berkontribusi pada pertumbuhan sektor usaha kecil dan menengah (UKM), yang merupakan salah satu pilar ekonomi nasional. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, peran ini semakin terkikis.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia terus menurun, dari sekitar 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Faktor utama penurunan ini adalah stagnasi upah riil yang tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan, yang akhirnya mengikis daya beli kelas menengah.
Selain itu, banyak dari mereka terjebak dalam utang konsumtif, seperti kredit kendaraan bermotor dan kartu kredit, yang mengalihkan pengeluaran mereka dari investasi produktif menjadi pembayaran utang.
Salah satu tantangan terbesar bagi kelas menengah di Indonesia adalah struktur ekonomi yang monopolistik, di mana sektor-sektor kunci, seperti energi dan telekomunikasi, dikuasai oleh segelintir perusahaan besar. Ini membatasi ruang bagi usaha kecil dan menengah untuk berkembang. Selain itu, akses terhadap pembiayaan yang adil juga masih menjadi masalah. Bank-bank besar cenderung memberikan pinjaman kepada korporasi besar, sehingga UKM kesulitan mendapatkan dukungan finansial yang memadai.
Masalah lain yang dihadapi kelas menengah adalah biaya pendidikan dan kesehatan yang terus meningkat. Banyak keluarga kelas menengah kesulitan memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka, sementara biaya kesehatan juga semakin mahal, meskipun sudah ada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengeluaran yang besar untuk kedua sektor ini membuat mereka terjebak dalam siklus pengeluaran tinggi tanpa peningkatan kualitas hidup yang signifikan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan pro-kelas menengah. Insentif yang lebih besar bagi UKM, pengurangan birokrasi, serta akses pembiayaan yang lebih mudah dan murah merupakan langkah-langkah yang dapat membantu kelas menengah berkembang. Selain itu, reformasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan perlu dilakukan untuk memastikan akses yang lebih terjangkau bagi keluarga kelas menengah, agar mereka dapat menginvestasikan sumber daya mereka secara optimal.
Kebijakan yang adil dan inklusif juga harus menciptakan ekosistem yang memungkinkan persaingan yang sehat antara usaha kecil dan perusahaan besar. Dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi kelas menengah, Indonesia dapat menciptakan keseimbangan ekonomi yang lebih baik dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Sebagai penutup, kebijakan ekonomi Indonesia yang cenderung memihak kelompok atas dan bawah telah mengabaikan peran penting kelas menengah. Sebagai penggerak ekonomi, kelas menengah membutuhkan perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Dengan kebijakan yang pro-kelas menengah, Indonesia dapat membangun pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.