Jakarta, Deras.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta A Fahrur Rozi dan mahasiswa Podomoro University Anthony Lee. Hal tersebut terkait pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah (Cakada) yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
“Persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan dikutip Deras.id, Rabu (21/8/2024).
“Titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra.
MK menolak memasukkan ketentuan rinci tersebut ke dalam bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Menurutnya, pasal soal ketentuan syarat usia calon kepala daerah itu sudah terang-benderang maknanya, bahwa syarat itu harus dipenuhi pada masa pencalonan.
“Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo,” ujar Saldi Isra.
“Sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon,” imbuhnya.
Dengan adanya putusan ini, MK berpandangan bahwa syarat usia minimal 30 tahun untuk calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dan minimal 25 tahun untuk calon wali Kota dan calon Wakil wali Kota, serta calon Bupati dan calon Wakil Bupati. Pemenuhan persyaratan usia minimal calon dihitung saat penetapan calon oleh KPU.
Calon kepala daerah yang diproses tidak sesuai dengan putusan MK berpotensi didiskualifikasi saat digugat ke MK sebagai lembaga pengadilan sengketa pilkada.
“Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua warga negara,” kata Saldi.
“Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” imbuhnya.
Melalui putusan nomor 24 P/HUM/2024, Mahkamah Agung (MA) mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. MA menilai bahwa PKPU tersebut melanggar UU Pilkada.
Putusan kontroversial MA dikaitkan dengan keuntungan yang akan didapatkan oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep yang mulai digadang-gadang maju Pilkada 2024. Apabila menggunakan PKPU yang dibatalkan MA, putra bungsu Presiden Jokowi tidak memenuhi syarat maju menjadi gubernur atau calon gubernur karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.
Sementara itu, jika menggunakan putusan MA, Kaesang bisa saja maju sebab pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 hampir pasti dilakukan pada 2025 yakni setelah ia berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024.
Editor: Ifta