Oleh: Habib Aziz Ar Rozi*
Partisipasi pemilih muda dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu menjadi topik yang menarik untuk dipelajari, mengingat pemuda adalah segmen populasi yang signifikan dalam proses politik di Indonesia. Pemilih muda, yang biasanya diwakili oleh mereka yang berusia antara 17 hingga 30 tahun, memiliki potensi besar untuk menentukan hasil Pilkada.
Namun, apakah mereka selalu menggunakan hak pilih mereka? Tren partisipasi pemuda dalam Pilkada beberapa tahun terakhir menunjukkan dinamika yang menarik, dengan berbagai faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi mereka.
Sebagai bagian dari pemilih pemuda, saya ingin belajar apa yang bisa kita pelajari dari agenda politik, di negeri kita tercinta ini. Lanjut!
Data partisipasi pemilih muda pada Pilkada sebelumnya
Dalam beberapa Pilkada terakhir, data menunjukkan bahwa partisipasi pemilih muda bervariasi, tergantung pada daerah dan kondisi politik setempat. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi pemilih muda pada Pilkada 2020, misalnya, mengalami fluktuasi karena dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19.
Meski jumlah pemilih muda terdaftar cukup besar, tantangan untuk hadir secara fisik di tempat pemungutan suara (TPS) menyebabkan penurunan partisipasi di beberapa wilayah.
Di Pilkada 2020, dengan adanya protokol kesehatan yang ketat dan kampanye yang lebih terbatas secara tatap muka, partisipasi pemilih muda mengalami penurunan di beberapa daerah. Meski demikian, di daerah lain, seperti di wilayah urban yang lebih terjangkau oleh kampanye digital, partisipasi pemuda masih relatif tinggi.
Penggunaan media sosial dan teknologi digital untuk kampanye menjadi salah satu cara efektif untuk menjangkau pemilih muda, yang sebagian besar merupakan pengguna aktif platform digital.
Data menunjukkan bahwa di beberapa Pilkada sebelumnya, seperti pada tahun 2018, tingkat partisipasi pemilih muda cukup tinggi, terutama di daerah perkotaan. Namun, tren ini tidak selalu stabil, karena ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan pemilih muda untuk menggunakan hak suara mereka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih muda
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi apakah pemilih muda memilih untuk berpartisipasi dalam Pilkada atau tidak. Salah satu faktor utama adalah tingkat pendidikan politik. Banyak pemuda yang belum mendapatkan pemahaman yang cukup tentang pentingnya suara mereka dalam menentukan masa depan daerahnya.
Pendidikan politik di sekolah atau perguruan tinggi belum cukup merata, sehingga banyak pemuda yang merasa tidak memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat dalam pemilihan.
Selain itu, lingkungan sosial juga memainkan peran penting. Keluarga dan teman sering kali menjadi faktor yang menentukan apakah seorang pemuda akan memilih atau tidak.
Pemuda yang tumbuh dalam keluarga yang aktif secara politik cenderung memiliki kesadaran politik yang lebih tinggi. Sebaliknya, pemuda yang lingkungannya kurang peduli pada politik, cenderung lebih apatis terhadap proses Pilkada. Diakui atau tidak.
Faktor lainnya adalah akses terhadap informasi politik. Pemilih muda yang merasa kesulitan mendapatkan informasi yang jelas dan netral tentang calon kepala daerah sering kali memilih untuk tidak ikut serta. Meski media sosial menawarkan kemudahan akses informasi, tidak semua pemuda merasa bahwa informasi yang mereka dapatkan cukup valid untuk menjadi dasar keputusan politik.
Kepercayaan terhadap sistem politik juga mempengaruhi partisipasi. Banyak pemuda yang merasa bahwa politik lokal tidak banyak berdampak langsung pada kehidupan mereka, atau merasa bahwa suara mereka tidak akan mengubah apa pun.
Rasa ketidakpercayaan ini diperburuk oleh maraknya kasus korupsi dan birokrasi yang lamban dalam merespons kebutuhan masyarakat.
Studi kasus: Pilkada 2020
Pilkada 2020 memberikan gambaran yang menarik tentang tantangan dan peluang bagi partisipasi pemilih muda. Dilaksanakan di tengah pandemi, kita sama-sama mengetahui Pilkada ini menghadapi berbagai kendala, termasuk protokol kesehatan yang ketat dan kekhawatiran akan keselamatan di tempat pemungutan suara.
Namun, di sisi lain, Pilkada 2020 juga menunjukkan peningkatan dalam penggunaan kampanye virtual dan media sosial sebagai alat untuk menjangkau pemilih muda.
Calon kepala daerah yang berhasil memanfaatkan media sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok, umumnya lebih berhasil menarik perhatian pemilih muda. Kampanye yang lebih interaktif, seperti sesi tanya jawab virtual atau konten-konten yang menghibur namun edukatif, menunjukkan bahwa pemuda masih bisa diaktifkan dalam proses politik jika cara penyampaian informasinya sesuai dengan gaya hidup mereka (red: pemilih muda).
Ada kecenderungan global
Tren partisipasi pemilih muda dalam Pilkada di Indonesia sejalan dengan fenomena global. Di banyak negara demokrasi, tingkat partisipasi pemilih muda sering kali lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua.
Pemuda cenderung lebih selektif dalam memilih pemilu mana yang akan mereka ikuti, dan lebih cenderung berpartisipasi jika mereka merasa isu yang diangkat relevan dengan kehidupan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tren partisipasi pemuda, baik di Indonesia maupun di negara lain, banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Proyeksi untuk Pilkada 2024
Berdasarkan data dari Pilkada sebelumnya, ada beberapa proyeksi untuk partisipasi pemuda dalam Pilkada 2024. Dengan semakin meningkatnya akses teknologi dan media sosial, kemungkinan besar akan ada peningkatan dalam keterlibatan pemilih muda, terutama di daerah perkotaan.
Namun, tantangan apatisme politik dan kurangnya pendidikan politik masih menjadi hambatan besar yang harus diatasi. Nah, sosialiasi dari penyelenggara seperti KPU lebih digalakkan, baik ormas pun juga komunitas-komunitas yang relevan harus turut terlibat.
Hemat saya, jika pemerintah dan calon kepala daerah dapat menyajikan informasi yang lebih relevan dan mudah diakses, serta menciptakan kampanye yang kreatif dan inovatif, partisipasi pemilih muda dalam Pilkada 2024 berpotensi meningkat. Pendidikan politik yang lebih kuat dan kampanye yang lebih transparan juga diperlukan untuk memastikan bahwa pemuda merasa suara mereka benar-benar berpengaruh.
Melihat tren partisipasi pemilih muda dalam Pilkada sebelumnya memberikan wawasan penting tentang bagaimana kita dapat mempersiapkan diri untuk Pilkada 2024 yang digelar November mendatang. Pemilih muda memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan perubahan.
Namun untuk mencapai itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif, kreatif, dan relevan terhadap kebutuhan serta kepentingan mereka. Hanya dengan begitu kita bisa melihat peningkatan signifikan dalam partisipasi pemilih muda di masa mendatang. Semoga saja!.