Oleh: Nirasa Prihatini
*Sosiolog
Kekayaan Sumber Daya Alam di Tanah Papua
Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan Tanah Papua. Alamnya begitu indah dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, pasir pantainya yang putih, dan Sungai-sungai dengan air jenihnya. Tak hanya itu, Tanah Papua dianugerahi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) non terbarukan yang begitu melimpah. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada tahun 2023, tercatat 3,38 juta hektar formasi geologi yang mengandung sumber daya mineral dan 11,98 ribu hektar yang masih dalam tahap penelitian di wilayah Kepulauan Papua. Sumber daya mineral yang terkandung di dalam formasi geologi tersebut sangat beragam, diantaranya batu bara, besi, tembaga, nikel, gas alam, hingga emas.
Kekayaaan SDA non terbarukan yang terkandung di Tanah Papua, membawa surplus ekonomi. Berdasarkan data BPS Papua, pada tahun 2023, nilai produksi sektor pertambangan, sebesar 19,54 triliun Rupiah, berkontribusi sebesar 43,45 persen PDRB. Begitu juga data BPS Papua Barat, pada tahun 2023, nilai produksi sektor pertambangan di Provinsi Papua Barat sebesar 35,25 triliun Rupiah, berkontribusi sebesar 57,25 persen PDRB. Sedangkan nilai produksi sektor pertambangan di Provinsi Papua Barat Daya pada tahun 2023, sebesar 8,61 triliun Rupiah, berkontribusi sebesar 23,85 persen PDRB. Total nilai produksi sektor pertambangan di Kepulauan Papua pada tahun 2023 sebesar 63,4 triliun Rupiah.
Aktivitas pertambangan di Kepulauan Papua mendatangkan pendapatan devisa. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, nilai ekspor pertambangan dan migas menghasilkan devisa sebesar 2,6 juta USD, berkontribusi sebesar 96,29 persen total nilai ekspor di Papua. Selain itu, nilai ekspor pertambangan dan migas di Papua Barat, menghasilkan devisa sebesar 6,2 juta USD, berkontribusi sebesar 98,41 persen total nilai ekspor.
Nilai produksi dan ekspor komoditas SDA, membawa dampak yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi di Kepulauan Papua. Namun, apakah kekayaan SDA mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua? Fakta yang terjadi justru sebaliknya.
Realitas Kemiskinan dan Problematika di Papua
Kontras dengan kekayaan SDA non terbarukan di Kepulauan Papua, masyarakatnya justru hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, persentase penduduk miskin (PPM) di Kepulauan Papua sebesar 26,43 persen. Angka kemiskinan ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding PPM nasional, sebesar 11,49 persen. Kepulauan Papua, menjadi kepulauan dengan persentase kemiskinan tertinggi. Bahkan 10 kabupaten dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia, berada di Kepulauan Papua, yaitu: 1) Intan Jaya, 40,01%; 2) Deiyai 38,66%; 3) Nduga, 37,09%; 4) Supiori, 36,99%; 5) Lanny Jaya, 36,94%; 6) Puncak, 36,44%; 7) Yakuhimo, 36,08%; 8) Puncak Jaya, 35,6%; 9) Mamberamo Tengah, 35,42%; dan 10) Paniai, 35,39%.
Jika dibandingkan dengan wilayah kepulauan lain, Kepulauan Papua memiliki angka kemiskinan tertinggi. Bahkan, masih kalah dengan wilayah kepulauan yang minim SDA non terbarukan, seperti Kepulauan Jawa dan Bali. Data ini menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan yang menyebabkan Kepulauan Papua lebih tertinggal dari kepulauan lainnya.
Kepulauan Papua juga memiliki performa pembangunan manusia yang buruk. Bedasarkan data BPS, ada tahun 2023, rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kepulauan Papua sebesar 61,23, lebih rendah dibanding nilai IPM nasional sebesar 71,26. Rata-rata nilai IPM di Kepulauan Papua masih berkategori rendah. Bahkan, sepuluh kabupaten dengan nilai IPM terendah di Indonesia, terdapat di Kepulauan Papua, yaitu: 1) Nduga, 35,19; 2) Puncak, 44,59; 3) Pegunungan Bintang, 48,18; 4) Intan Jaya, 50,19; 5) Mamberamo Tengah, 50,22; 6) Lanny Jaya, 50,56; 7) Puncak Jaya, 50,81; 8) Yalimo, 50,87; 9) Deiyai, 51,18; dan 10) Yakuhimo, 51,19.
Dibandingkan dengan kepulauan lainnya di Indonesia, rata-rata IPM di Kepulauan Papua memiliki nilai terendah. Fakta ini menunjukkan pembangunan aksesbilitas untuk menjangkau layanan pendidikan dan kesehatan di Kepulauan Papua masih sangat tertinggal dibanding kepulauan lain. Rendahnya aksesbilitas untuk menjangkau kebutuhan pendidikan dan kesehatan, mengakibatkan rendahnya kualitas SDM di Kepulauan Papua. Inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kemiskinan.
Mengapa Papua Masih Miskin?
Dengan kekayaan sumber daya mineral yang begitu besar, mengapa masyarakat Papua masih miskin? Banyak pihak yang menyatakan, permasalahan kemiskinan di Papua disebabkan karena kesulitan geografis, sehingga menyebabkan konektivitas antarwilayah dan pertumbuhan pusat ekonomi menjadi melambat. Tapi, bukankah Papua memiliki surplus ekonomi di sektor pertambangan dan migas yang begitu besar, sehingga dapat digunakan untuk membangun infrastruktur dan konektivitas? Jawabannya sangatlah kompleks.
Tidak semua surplus ekonomi yang diterima dari kegiatan pertambangan dan pengolahan barang turunannya, dinikmati oleh masyarakat Papua. Di Indonesia, diterapkan kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH). Pemerintah daerah hanya mendapatkan DBH hasil tambang dan migas sebesar 15% s.d. 30%. Selebihnya mengalir ke pemerintah pusat. Kebijakan tersebut memang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun, hal tersebut sangat merugikan masyarakat Papua yang sangat membutuhkan pendapatan dari aktivitas pertambangan untuk mendongkrak pembangunan.
Selain itu, hasil pertambangan di Papua juga mengalir ke luar negeri. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada tahun 2022, perusahaan pertambangan asing yang beroperasi di Kepulauan Papua, telah berhasil mengkapitalisasi pasar pertambangan sebesar 753,91 miliar USD. Lima perusahaan pertambangan asing dengan nilai kapitalisasi terbesar, yaitu: BHP Group asal Australia, nilai kapitalisasi 162,71 miliar USD; Rio Tinto asal Australia, nilai kapitalisasi 117,74 miliar USD; Vale asal Kanada, nilai kapitalisasi 70,97 miliar USD; Glencore asal Swiss, nilai kapitalisasi 70,43 miliar USD; dan Shenhua Group asal Cina, nilai kapitalisasi 66,88 miliar USD. Penguasaan perusahaan asing atas pertambangan di Kepulauan Papua, mengakibatkan adanya arus keluar kapital ke luar negeri, sehingga masyarakat Papua hanya memperoleh sisa kapital yang jumlahnya sangat kecil.
Pemerintah pusat sebenarnya telah mengalokasikan anggaran afirmatif untuk percepatan pembangunan di regional Papua. Selain mengalokasikan DBH Tambang, pemerintah juga mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Otonomi Khusus. Namun, pemerintah daerah tetap gagal melaksanakan percepatan pembangunan karena tingginya angka korupsi di Kepulauan Papua.
Hasil survei yang dilakukan oleh KPK, menyatakan wilayah Kepulauan Papua masih sangat rentan terjadi tindak pidana korupsi. Berdasarkan nilai SPI tahun 2023, wilayah Papua Barat sebesar, 57,19; Papua Barat Daya sebesar 59,04; Papua sebesar 64,00; Papua Tengah sebesar 59,83; Papua Pegunungan sebesar 54,82; dan Papua Selatan sebesar 59,47. Nilai rata-rata SPI untuk Kepulauan Papua, sebesar 59,05. Angka tersebut masih jauh dari nilai SPI Nasional, sebesar 70,97. Nilai SPI di Kepulauan Papua masih masuk ke dalam kategori waspada. Artinya, pemerintah daerah di Kepulauan Papua masih kurang transparan dalam menyelenggarakan pemerintahannya, serta masih sangat rentan terjadi korupsi. Maka, sudah jelas penyebab pengelolaan anggaran untuk percepatan pembangunan di Kepulauan Papua masih buruk dan belum berhasil menurunkan angka kemiskinan. Lalu, apa solusinya?
Persoalan kemiskinan di Papua sangatlah kompleks. Dibutuhkan kerjasama lintas sektoral untuk menanganinya. Namun, terdapat beberapa hal mendasar dalam mengatasinya. Pertama, pemerintah pusat perlu membuat regulasi Dana Bagi Hasil (DBH) Sektor Tambang khusus bagi wilayah Kepulauan Papua untuk menambah kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam melaksanakan percepatan pembangunan. Regulasi ini juga sebagai upaya untuk mengembalikan hak masyarakat Papua atas kekayaan alamnya.
Kedua, memperbaiki kondisi SDM di Kepulauan Papua. Solusi permasalahan SDM jangka pendek adalah memberikan tunjangan khusus bagi tenaga pendidikan dan kesehatan yang bertugas di Kepulauan Papua. Solusi jangka panjanganya, memberikan beasiswa khusus bagi masyarakat Papua untuk menempuh pendidikan tinggi di berbagai bidang keahlian. Investasi di bidang SDM ini, berdampak masyarakat Papua memiliki keahlian yang cukup untuk mengelola potensinya secara mandiri.
Ketiga, membangun kantor perwakilan KPK di masing-masing provinsi dan kabupaten di wilayah Kepulauan Papua. Keberadaan kantor perwakilan KPK tersebut, akan meningkatkan pengawasan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran pembangunan di Papua.
Intinya kembalikan hak kedaulatan atas pengelolaan Tanah Papua kepada masyarakat Papua sendiri. Karena hanya orang Papualah yang berhak dan berkewajiban untuk membangun tanahnya sendiri.