Problematika Perbankan di Tanah Air

Perkembangan perbankan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang mulai dari jaman pra-kemerdekaan dari cikal bakal adanya De Javasche Bank (DJB) yang didirikan oleh Kolonial Belanda pada tahun 1828. Kemudian berkembang hingga saat ini terdapat Bank Sentral “Bank Indonesia” yang mengatur pencetakan dan pengedaran uang di Indonesia.

Dibalik sejarah yang panjang terdapat juga hal menarik lainnya untuk diulas, baik itu sejarah terkait masa inflasi yang terjadi di Negeri ini, dan bahkan berbagai macam kasus yang terjadi pada perbankan di Indonesia.

Apabila membahas terkait perbankan tentu akan berkaitan dengan perkonomian suatu Negara, terlebih Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki wewenang dalam menjaga stabiltas nilai mata uang, stabilitas sektor perbankan dan keseluruhan sistem keuangan. Dengan demikian peran dari Bank Sentral sangatlah penting. 

Hal ini tentu juga berlaku pada jenis-jenis perbankan yang ada di Indonesia, seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan lainnya, yang notabene merupakan penyedia jasa keuangan (simpan atau pinjam) yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Namun, di era digitalisasi banyak ditemui problematika perihal perbankan di Negeri ini. Seperti halnya kasus serangan siber yang menimpa Bank Syariah Indonesia (BSI) baru-baru ini dan banyak lagi kasus lainnya yang serupa. Selain itu, ada juga kasus penipuan yang dilakukan oleh oknum pegawai bank sehingga menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi nasabah.

Pada bulan Februari 2023, Kepolisian Daerah (Polda) Riau melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) mengungkap kasus dugaan penipuan yang dilakukan oleh seorang oknum pegawai salah satu bank swasta cabang Pekanbaru yang menyebabkan kerugian sebesar 6,7 miliar. Hal ini disampaikan oleh Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto.

“Tersangka berinisial SAL (32) mantan Relationship Manager (RM)/Marketing pada salah satu bank swasta di Pekanbaru. Pelaku menawarkan serta menjual produk obligasi pemerintah Fix Rate (FR), kepada nasabah prioritas” Ujar Sunarto.

“Dia (tersangka) menjanjikan keuntungan sebesar 9,5 persen setiap bulan. Sehingga korban tertarik dan menyerahkan uang melalui cara transfer ke nomor rekening yang telah ditentukan oleh tersangka,” jelasnya.

Mungkin kejadian kasus perbankan diatas hanya segelintir kasus yang berhasil diungkap oleh penegak hukum, dan bisa jadi terdapat kasus lainnya yang masih belum terungkap di publik.

Perbankan di Indonesia

Berdasarkan sejarah, menurut informasi yang diperoleh dari kemendikbud.com, Bank pertama di Tanah air bernama Bank van Courant en Van Leening yang berdiri tahun 1746, kemudian bank ini disempurnakan  menjadi De Bank van Cournat en Ban van Leening yang berfungsi memberikan pinjaman kepada pegawai VOC kala itu dengan memberikan imbalan bunga. Namun karena krisis keuangan pada 1818, bank tersebut terpaksa ditutup. Baru setelah itu, pada tahun 1828 didirikan De Javasche Bank (DJB) yang merupakan sebagai  awal mula dari Bank Indonesia.

Bank DJB pada waktu itu diberikan hak khusus oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda sebagai  Bank sirkulas, sehingga salah satunya memiliki kewenangan dalam mencetak dan mengedarkan uang. Akhirnya pada tahun 1945 pasca Indonesia merdeka, sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 23, untuk menegakkan kedaulatan secara ekonomi, Republik Indonesia (RI) membentuk Bank Sirkulasi yakni Bank Negara Indonesia (BNI) dan menerbitkan uang  dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).

Kemudian pada 1951 dibentuklah Panitia Nasionalisasi DJB, sebagai wujud kedaulatan ekonomi RI, yakni dengan menasionalisasi DJB yang dilakukan dengan membeli sahamnya 97% . Pasca Nasionalisisasi DJB, kemudian  pada tanggal 1 Juli 1953, Pemerintah menerbitkan UU No 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia sebagai landasan.

Pada dasarnya terdapat beberapa jenis perbankan yang berkembang di Indonesia antara lain Bank Umum  (Konvensional dan Syariah), dan Bank Perkreditan atau  Pembiayaan Rakyat.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019 terdapat 107 Bank Umum dan 1.632 Bank Perkreditan atau  Pembiayaan Rakyat.  Sedangkan pada tahun 2022, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa jumlah Bank Umum  yaitu 106 dengan jumlah kantor 25.377 unit.

Pertumbuhan perbankan di Indonesia dapat dikatakan fluktuatif apabila dilihat dari jumlah kantornya di seluruh Indonesia.

Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama yaitu jumlah nasabah (pengguna jasa layanan perbankan). Dilansir dari diskominfotik.lampungprov.go.id, Provinsi DKI Jakarta menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan jumlah rekening 87.502.181 juta, diikuti Provinsi Jawa Barat sebesar 72.400.374 juta rekening.

Problema yang dihadapi perbankan saat ini

Proses peralihan dari masa pendemi ke masa pasca pandemi, juga turut serta mempengaruhi sektor perbankan. Masa pasca pandemi memunculkan peradaban baru, sebab saat pandemi terjadi perubahan besar-besar pada bidang ekonomi yang hal tersebut berdampak pada perbankan.

Perbankan di Indonesia pada umumnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu Umum  (Konvensional dan Syariah), dan Bank Perkreditan atau  Pembiayaan Rakyat. Bank Umum Syariah adalah salah satu jenis bank yang seringkali memiliki kendala. Direktur Penjualan dan Distribusi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI, Anton Sukarna menjelaskan bahwa literasi merupakan problem utama perbankan berbasis syariah.

“Sebagai perbandingan saja, kalau untuk di perbankan konvensional, itu sudah diatas 30% orang paham, sementara di perbankan syariah, itu baru 11%. Jadi kalau kita bicara misalnya, literasi syariahnya 11%, maka penetrasinya ada 8-9 persen” kata Anton saat dipembukaan Istiqlal Halal Expo pada  tahun 2022, di pelataran Masjid istiqlal (17/4/2022).

Jenis kejahatan yang sering terjadi

Kasus phising yang terjadi akhir-akhir ini merupakan salah satu efek negatif dari digitalisasi karena berbagai pihak (perorangan atau lembaga) dapat leluasa mengakses data pribadi seseorang dengan mudah. Di era digitalisasi ini, data pribadi sangat perlu dilindungi baik itu sebagai perlindungan privasi untuk menghindari penyalahgunaan data, potensi pencemaran nama baik, bahkan merugikan seseorang secara materil dan atau lainnya.

Phishing merupakan suatu kejahatan dengan upaya untuk mendapatkan informasi pribadi hingga akun keuangan seseorang. Mengutip dari Indonesia Anti-Phishing Data Exchange (IDADX), phishing biasanya dilakukan dengan skema social engineering (mengaku sebagai pihak yang terpercaya, seperti mengirimkan pesan resmi mengatasnamakan intansi) dan technical subterfuge (mencuri data menggunakan malware).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh IDADX, lembaga keuangan merupakan salah satu sektor industri yang sering mengalami phising yaitu pada Kuartal 1 (2023), diperkirakan terdapat  31% dari kasus phising terjadi pada lembaga keuangan. Di dunia perbankan Tanah air, terdapat beberapa kasus kejahatan yang terjadi karena serangan siber atau phising.

Majunya digitalisasi pada dasarnya untuk memudahkan pekerjaan atau aktivitas agar lebih cepat, hal ini juga diterapkan pada perbankan yang menggunakan bantuan smart digital yaitu terintegrasi dengan Intelegent of Think (IOT) dan berbagai jenis perangkat software lainnya untuk kegiatan banking mobile. Namun, hal tersebut memiliki kelemahan, salah satunya rawan peretasan pada sistem apabila sistem yang dibangun tidak kuat.

Setidaknya ada beberapa contoh kasus peretasan bank yang pernah terjadi di Indonesia. Pertama yaitu peretasan yang menimpa BSI pada bulan Mei 2023, Bank BSI di duga mengalami serangan siber ransomware, sehingga menyebabkan gangguan server. Kedua, tepatnya pada tahun 2021, juga terjadi peretasan yang menimpa seorang perempuan berinisial PW (korban), di Yogyakarta.

Ditreskimsus Polda Daaerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berhasil membongkar kasus peretasan tersebut, yang diduga dilancarakan dengan modus social engineering, akibat kejadian itu korban mengalami kerugian uang senilai Rp 509 juta.

Kasus pada perbankan, selain diakibatkan oleh  serangan siber ada juga yang terjadi karena ulah oknum pegawai bank yang sengaja membobol tabungan nasabah dan menyebabkan kerugian fantastis.

Pertama adalah kasus Malinda Dee, kasus ini terkuat pada 2011 lalu. Menurut Jaksa, Malinda melakukan 117 transaksi pemindahan dana tanpa izin dan sepengetahuan pemilik rekening yaitu dengan total dana yang ditilap Malinda mencapai Rp 46,1 miliar lebih, atas tindakannya tersebut Malinda Dee divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 3 bulan kurungan dalam kasus tindak pidana perbankan pencucian uang.

Selanjutnya yang tidak kalah heboh adalah kasus Pauline Lumowa, dia berhasil membobol BNI 46 hingga mencapai Rp 1,7 triliun dan buron sejak 2003 hingga akhirnya tertangkap oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Juli 2020.

Masih tingginya kejahatan di sektor lembaga keuangan ini, tidak luput juga menjadi perhatian Wakil Presiden (Wapres), Ma’ruf Amin. Terlebih lagi dengan adanya musibah yang menimpa BSI. Wapres, mengatakan BSI perlu membenahi sistem teknologinya dan segera memulihkan pelayananannya.

“Saya minta BSI membenahi sistem teknologinya supaya tidak terjadi lagi, dan sekarang juga cepat untuk mengembalikan, sehingga tidak mengganggu (layanan) dan merusak kepercayaan (nasabah),”ujar Ma’ruf Amin seusai meresmikan Kampung Bahari Nusantara TNI AL, di Kepulauan Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Senin (15/05/2023).

Wapres juga berpesan, hal ini tidak hanya berlaku untuk bank-bank syariah saja. Namun termasuk bank konvensional juga perlu menguatkan sistem keamanannya untuk menghindari berbagai serangan siber.

“Karena itu, kepada seluruh bank, baik yang syariah maupun konvensional supaya lebih siap dengan situasi terjadinya pembajakan-pembajakan,” Imbuh Ma’ruf Amin.

Pada dasarnya, kasus perbankan yang terjadi ada dua jenis yaitu karena phising atau serangan siber dan ulah dari oknum pegawai bank. Namun yang perlu menjadi perhatian khusus yakni untuk kasus serangan siber, hal ini dikarenakan kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan siber sangatlah berdampak besar baik itu kerugian materil yang dialami nasabah secara langsung atau kerugian nonmateril yang dapat terjadi karena dikhawatirkan penyalahgunaan data pribadi secara tidak bertanggungjawab.

Pemerintah dan instansi terkait serta pihak penyedia jasa perbankan perlu mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi dan menemukan solusi terbaik untuk melindungi sistem keamanan perbankan dengan harapan dapat menjaga data pribadi nasabah agar tidak disalahgunakan. Sehingga dikemudian hari tidak akan terjadi kasus serupa yang dapat merugikan banyak pihak.

Penulis: HvD l Editor: Uud

Exit mobile version