Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, mengeluarkan aturan sebagai upaya mengurangi Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti penyakit obesitas, diabetes, hipertensi dan jantung koroner, dimana salah satunya disebabkan oleh penggunaan gula, garam dan lemak yang melebihi ambang batas/hari.
Adanya aturan ini bukanlah tanpa sebab, karena berdasarkan informasi dari Studi Gizi Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 52,7% penduduk Indonesia mengonsumsi natrium lebih dari 2000 mg per hari, yang melebihi batas yang dianjurkan dan 29,7% penduduk Indonesia, atau sekitar 77 juta jiwa, mengonsumsi lemak melebihi rekomendasi WHO. Konsumsi gula, garam dan lemak (GGL) yang berlebihan ditengarai banyak ditemukan ketika mengkonsumi produk pangan yang dijual secara masal seperti makanan dan minuman kemasan.
Keseriusan pemerintah dalam mengatur penggunaan gula, garam dan lemak (GGL) pada produk pangan perlu dikawal, baik itu dari akar rumput (grass root) hingga atas, karena adanya aturan ini secara tidak langsung memiliki dua sisi mata koin selain bertujuan untuk upaya kesehatan tetapi juga akan berpengaruh besar terhadap industri pangan.
Adhi Lukman selaku ketua umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) turut menyoroti adanya aturan ini.
“GAPMMI tidak pernah dilibatkan sebelumnya padahal industri makanan minuman pangan olahan kemasan merupakan pelaku utama. Tidak ada kajian komprehensif meliputi kajian risiko dan dampak menyeluruh yang timbul”, ungkap Adhi.
Akar penyebab dikeluarkan Peraturan Pembatasan Penggunaan Gula Garam Lemak pada Produk Pangan
Peraturan mengenai Pembatasan Penggunaan Gula, Garam, dan Lemak (GGL) pada Produk Pangan dikeluarkan dengan tujuan utama untuk melindungi kesehatan masyarakat. Setidaknya berikut beberapa akar penyebab yang mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan ini:
1. Peningkatan Prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM)
Penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan obesitas telah meningkat signifikan di Indonesia. Konsumsi gula, garam, dan lemak berlebih merupakan faktor risiko utama yang berkontribusi terhadap penyakit-penyakit tersebut. Peraturan ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi GGL secara berlebihan yang menjadi penyebab utama PTM.
2. Tingginya Konsumsi Makanan Olahan
Banyak produk makanan olahan yang tinggi kandungan GGL, namun dikonsumsi secara rutin oleh masyarakat. Untuk mengurangi risiko kesehatan, pemerintah merasa perlu untuk membatasi penggunaan GGL pada produk pangan dan memastikan informasi kandungan GGL tersedia secara jelas.
3. Kurangnya Kesadaran Masyarakat tentang Pola Makan Sehat
Banyak masyarakat belum memiliki pemahaman yang baik mengenai bahaya konsumsi berlebihan gula, garam, dan lemak. Peraturan ini juga bertujuan untuk meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang pola makan yang lebih sehat melalui regulasi yang membatasi kandungan GGL dalam produk pangan.
4. Tuntutan untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat
Pemerintah ingin mendorong industri pangan untuk menghasilkan produk yang lebih sehat, sejalan dengan upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pembatasan ini adalah bagian dari kebijakan kesehatan preventif untuk mencegah meningkatnya beban kesehatan di masa depan.
5. Dukungan terhadap Kebijakan Kesehatan Global
Pembatasan GGL juga merupakan respon terhadap tren global dalam upaya mempromosikan kesehatan masyarakat, sebagaimana direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), yang menganjurkan penurunan konsumsi gula, garam, dan lemak sebagai langkah untuk menurunkan risiko penyakit tidak menular.
Adanya peraturan ini diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku konsumsi masyarakat dan mengurangi angka penyakit terkait gaya hidup yang tidak sehat. Terlebih lagi dengan kondisi saat ini, dimana masyarakat dengan mudah memperoleh makanan dan minuman disekitarnya. Namun masih awam tentang pemahaman kandungan atau komposisi produk pangan yang dikonsumsinya, tentu hal ini akan berakibat negatif jika ternyata produk pangan yang dikonsumsi mengandung gula, garam, dan lemak yang berlebihan. Terlebih lagi dikonsumsi dalam jangka waktu panjang.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi penyakit tidak menular, yaitu diabetes melitus, hipertensi, kelebihan berat badan, obesitas, dan obesitas sentral dibandingkan dengan riset sebelumnya. Salah satu faktor risiko penyakit tidak menular adalah pola makan yang tidak sehat, pola konsumsi masyarakat beralih ke makanan siap saji dan kemasan karena praktis dan mudah dijangkau. Pergeseran pola konsumsi ini perlu dikendalikan karena makanan kemasan umumnya memiliki natrium, gula, dan lemak jenuh yang cukup tinggi. Ketidakseimbangan dalam asupan makanan dapat menimbulkan permasalahan pada status gizi individu. Adanya pola konsumsi yang tidak baik ditengarai juga disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat yang rendah akan komposisi produk pangan yang di konsumsinya, hal ini berhubungan dengan pemahaman membaca label pada produk pangan.
Menurut penelitian Dina Widiawati dan Ema Komalasari tentang “Gambaran Tingkat Kepatuhan Membaca Label Pangan Pada Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia” pada Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi menunjukkan jika kesadaran konsumen dalam membaca label pangan dan kemampuan masyarakat untuk memahami isi label pangan masih sangat rendah.
Penyebab kematian tertinggi di Indonesia
Berdasarkan data Riskesdas dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetes, gagal ginjal menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Dilansir dari databoks.katadata.co.id menunjukkan jika prevelensi diabetes melitus Indonesia (2018 dan 2023) mengalami kenaikan yang sangat signifikan dari 10,9% menjadi 11,7%.
Sedangkan untuk penyandang penyakit jantung di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 juga tergolong tinggi, mirisnya rentang usia 15-24 tahun adalah usia penyandang penyakit jantung tertinggi sekitar 130 ribu sampai 140 ribu orang.
Apabila ditilik lebih jauh, kondisi ini sangat selaras dengan fakta dilapangan dimana rentang usia 15-35 tahun adalah usia yang tergolong mengkonsumsi makanan ringan tertinggi termasuk junkfood. Perlu diketahui komposisi makanan ringan di Indonesia cenderung mengandung gula, garam dan lemak jenuh yang tinggi. Konsumsi gula, garam dan lemak jenuh yang berlebihan akan berdampak negatif pada kesehatan. Sehingga pada akhirnya hal ini turut menyumbang berbagai penyakit tidak menular seperti jantung, hipertensi, dan obesitas.
Selain itu, berdasarkan data dari goodstats diketahui jika Indonesia juga darurat penyakit obesitas dimana dari rentang waktu tahun 2016-2024, Indonesia menempati peringkat ke-6 atau terdapat sejumlah 6,9% orang yang menderita obesitas dari total populasi penduduk. Angka ini tergolong cukup tinggi di kawasan negara-negara di ASEAN.
Kondisi ini juga turut menjadi perhatian khusus Presiden. Jokowi mewanti-wanti masyarakat terhadap tiga penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi.
“Penyebab kematian tertinggi di negara kita itu adalah karena penyakit stroke, serangan jantung, dan kanker,” kata Jokowi saat meresmikan Gedung Rumah Sakit Kementerian Kesehatan di Surabaya, Jawa Timur (06/09/2024).
Kewaspadaan terhadap PTM seperti jantung, diabetes, obesitas dan stroke perlu ditingkatan salah satunya dengan memberikan wawasan kepada masyarakat tentang penyebab dari penyakit tersebut salah satunya menjaga pola makan dan memilih makanan yang akan dikonsumsi. Sehingga masyarakat bisa lebih bijak dalam menjaga kesehatannya.
Konsumsi gula, garam dan lemak
Wacana pembatasan penggunaan gula, garam, dan lemak pada produk pangan menuai pro dan kontra, mengingat bahan-bahan tersebut bisa dikatakan salah satu bahan wajib untuk campuran dalam produk pangan. Masyarakat awam mungkin tidak terlalu mempermasalahkan hal ini karena yang penting dan utama adalah ketersedian produk pangan yang bisa dikonsumsi kapan saja. Namun, jika dilihat dari segi kesehatan ini akan berbanding terbalik karena bahan-bahan tersebut bisa menjadi pemicu penyebab berbagai penyakit mematikan jika dikonsumsi berlebihan dan dalam jangka waktu panjang.
Dilansir dari website Kementerian Kesehatan dijelaskan jika konsumsi gula berlebihan dapat menyebabkan insulin menjadi resisten, yaitu tidak mampu menjalankan tugasnya dalam metabolisme gula menjadi energi, sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang berisiko terhadap terjadinya kegemukan (obesitas) dan Diabetes Melitus. Kondisi ini juga akan berlanjut mengakibatkan berbagai penyakit lain jika tidak terkontrol seperti menyerang ginjal, jantung dan lainnya. Sedangkan untuk konsumsi garam berlebihan dapat meningkatan resiko penyakit hipertensi atau darah tinggi.
Menurut data dari Badan Pangan Nasional Tahun 2024, menunjukkan jika rentang konsumsi gula pasir dalam kilogram/kapita cenderung fluktuatif yaitu tahun 2020 (6,54), 2021 (6,87), 2022 (6,32) dan 2023 (5,8). Pada tahun 2012 merupakan puncak tertinggi konsumsi gula. Hal ini dikarenakan oleh kondisi pada waktu itu masih covid-19, dan masyarakat banyak berdiam diri dirumah dengan menikmati konsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula.
Sedangkan untuk tingkat konsumsi garam/natrium di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 52,7% penduduk Indonesia mengonsumsi natrium lebih dari 2000 mg per hari atau melebihi batas yang dianjurkan. Selain itu, untuk konsumsi lemak harian orang Indonesia, menurut hasil analisis Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014, 29,7% penduduk Indonesia, atau sekitar 77 juta jiwa, mengonsumsi lemak melebihi rekomendasi WHO. Secara menyeluruh, Studi analisis konsumsi lemak, gula, dan garam menunjukkan bahwa rata-rata asupan lemak pada tahun 2022 adalah 58,1 g/kap/hr.
Keseriusan pemerintah dalam mengatur penggunaan GGL pada produk pangan perlu didukung, terlebih muara dari kebijakan ini yaitu untuk memberikan dampak kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat. Meskipun pada jalannya aturan ini nantinya ada pro dan kontra, pemerintah diharapkan tegas dalam menegakkan aturan yang dibuatnya. Mungkin perlu sosialisasi dan kajian lebih mendalam, agar aturan ini kedepannya dapat diimplementasikan secara baik sehingga tidak ada pihak manapun yang merasa dirugikan.
Penulis: Hvd l Editor: Uud