Penjelasan Ulama Tentang Hukum Sumpah

Jakarta, Deras.id – Hukum sumpah berbeda-beda sesuai keadaan. Bisa wajib jika suatu kewajiban bergantung padanya, seperti keselamatan nyawa orang yang tidak berdosa. Haram hukumnya bersumpah atas perbuatan yang diharamkan atau bersumpah dengan sesuatu yang haram disumpahkan. Bisa pula hukum-hukum lain sebagaimana dirinci dalam keempat madzhab fikih.

Menurut madzhab Maliki, hukum asal dari sumpah adalah boleh selama menggunakan nama Allah atau sifat-Nya, sekalipun sumpah tersebut tidak diminta. Ini menjadi dianjurkan jika dalam urusan keagamaan yang besar, baik untuk memotivasi maupun untuk mengancam. Namun memperbanyak sumpah tanpa alasan mendesak tergolong bid,ah yang diperbuat setelah generasi salaf (pendahulu). Berhubung sumpah itu boleh maka membatalkannya juga boleh, dengan disertai pembayaran kafarat (denda pelanggaran). Apabila pembatalan mengandung hal lebih baik maka hukumnya pun ikut kepadanya.

Jika seseorang bersumpah untuk tidak melaksanakan suatu kewajiban maka wajib membatalkan sumpah tersebut. Jika seseorang bersumpah untuk melakukan kemaksiatan, wajib membatalkannya. Bersumpah untuk mengerjakan kewajiban, atau untuk tidak bermaksiat, diharamkan membatalkannya. Demikian pendapat madzhab Maliki.

Menurut madzhab Hambali, sumpah ada kalanya haram dan terkadang wajib. Juga, bisa makruh jika bersumpah untuk berbuat makruh atau untuk tidak melakukan sunnah. Contoh sumpah yang makruh ialah sumpah dalam jual beli, sebagaimana penjelasan di dalam hadits “sumpah itu membuat laku dagangan tetapi menghapus keberkahannya.” (HR.Ibnu Majah).

Sumpah menjadi sunnah apabila mengandung kemaslahatan, misalnya mendamaikan antara dua orang yang berseteru, sekalipun yang bersumpah adalah salah seorang dari mereka; atau melenyapkan kedengkian dari hati; atau menghilangkan keburukan, dan sebagainya. sumpah untuk mengerjakan yang wajib atau tidak bermaksiat tidaklah dianjurkan.

Sumpah yang hukumnya boleh misalnya bersumpah untuk mengerjakan hal yang diperbolehkan atau tidak mengerjakannya. Atau, untuk memperkuat berita yang disampaikan orang yang jujur atau disangka jujur. Termasuk sumpah yang boleh ialah sumpah untuk melakukan ibadah dan tidak bermaksiat.

Jika sumpah untuk berbuat maksiat atau untuk tidak mengerjakan kewajiban maka wajib dibatalkan dengan cara mengerjakan ibadah dan tidak mengerjakan kemaksiatan tersebut. Ketika bersumpah untuk mengerjakan sunnah dan meninggalkan yang makruh maka disunnahkan memenuhi sumpah itu. Kalau sebaliknya, yakni bersumpah untuk tidak mengerjakan sunnah dan mengerjakan yang makruh maka dimakruhkan memenuhi sumpahnya dan disunnahkan membatalkannya.

Apabila bersumpah untuk melakukan yang mubah atau tidak melakukannya maka diperbolehkan membatalkannya atau memenuhinya. Tetapi memenuhinya lebih baik daripada membatalkannya. Demikian pendapat madzhab Hambali.

Menurut madzhab Asy-syafi’i, hukum asal dari sumpah adalah makruh sesuai ayat: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Ailah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan….” (Al-Baqarah: 224)

Ada kalanya hukumnya mubah seperti bersumpah untuk melakukan ibadah atau untuk tidak melakukan hal makruh atau dalam berdakwa di depan hakim disertai kejujuran, atau untuk menekankan suatu pemyataan, seperti dalam hadits: “Demi Allah, Allah tidak akan jenuh sebelum kamu sendiri yang jenuh” Atau, untuk mengagungkan suatu hal, seperti sabda Nabi Muhammad: “Demi Allah, jika kamu mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kamu sedikit tertawa dan banyak menangis.” Sumpah bisa menjadi sunnah jika bersumpah untuk mengerjakan sunnah atau untuk tidak melakukan hal makruh.

Penulis: M.FSA I Editor: Apr

Exit mobile version