Jakarta, Deras.id – Manusia kadang tidak tahu, apakah perbuatan yang dilakukannya diperbolehkan atau dilarang dalam syariat agama. Lantas bagaimana jika manusia tersebut sebenarnya telah melanggar syariat namun dirinya tidak tahu akan hal tersebut?
Dalam suatu momen manusia bisa melakukan hal-hal yang ternyata dilarang dalam syariat Islam karena tidak tahu, lupa bahkan terpaksa dan hakikatnya hal tersebut dilakukan karena unsur ketidaksengajaan. Sebuah buku dengan judul Fiqih Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq terjemahan Abu Aulia dan Abu Syauqina menjelaskan dalam sebuah hadis dari riwayat Ibnu Abbad RA, Rasulullah Saw bersanda,
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku dari kesalahan, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthni, Hakim. Menurut Hakim, hadis ini shahih.)
Meninjau dari kitab berjudul Al-Wafi yang ditulis oleh Mustafa Dib Al-Bugha, menurut Ibnu Jakar Al- Haitami, bahwa hadis ini dapat dijumpai dalam semua masalah fikih. Bukan hanya itu hadis ini bisa mengandung separuh dari kehidupan manusia yang menjelaskan bahwa semua hal itu terdiri dari dua unsur yakni sengaja dan tidak sengaja.
Dijelaskan dalam kitab tersebut jika perilaku manusia secara eksplisit jika dilakukan secara tidak sengaja maka bisa ditoleransi. Sebaliknya jika dilakukan secara sengaja maka akan mendapatkan hukuman.
Dijelaskan juga dalam AL-Wafi bahwa jika manusia meninggalkan kewajibannya atau melaksanakan suatu hal yang dilarang secara syariat tanpa sengaja, lupa, karena kekeliruan maupun dipaksanakan maka tidak dikenai hukuman dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu hadis ini menegaskan betapa besar karunia Allah Swt. Namun, sebagai manusia tidak diperbolehkan menafsirkan hadis ini secara sembarangan karena suatu kepentingan tertentu.
Mengenai hal ini umat Islam diajari doa yang mustajab, termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 286.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
Rabbanâ lâ tu’âkhidznâ in nasînâ au akhtha’nâ, rabbanâ wa lâ taḫmil ‘alainâ ishrang kamâ ḫamaltahû ‘alalladzîna ming qablinâ, rabbanâ wa lâ tuḫammilnâ mâ lâ thâqata lanâ bih, wa’fu ‘annâ, waghfir lanâ, war-ḫamnâ, anta maulânâ fanshurnâ ‘alal-qaumil-kâfirîn
Artinya: ” Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”
Allah SWT juga berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 5,
اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya: ” Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Penulis: Una l Editor: Ifta