Penerimaan Izin Tambang Tak Kurangi Komitmen Muhammadiyah terhadap Lingkungan

Surakarta, Deras.id – Penerimaan terhadap izin tambang yang ditawarkan pemerintah sempat memicu sentimen negatif terhadap Muhammadiyah. Lantaran sikapnya itu, Muhammadiyah bukan hanya dianggap tidak lagi independen tapi lebih dari itu, dituduh tidak punya komitmen terhadap kelestarian lingkungan. Benarkah demikian?

Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Hening Purwati Parlan mengingatkan bahwa komitmen Muhammadiyah terhadap lingkungan bisa dilacak sejak awal berdirinya. Kendati tidak dinyatakan secara eksplisit, beberapa program Muhammadiyah berfokus pada masalah lingkungan.

Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dibentuk dengan membantu korban letusan Gunung Kelud pada tahun 1918. Dalam pertemuan resmi dari tahun 1920 hingga 1930, Bagian PKO, Bagian Sekolahan, Bagian Taman Poestaka, dan Bagian Tablig, Muhammadiyah memakai gambar-gambar yang lingkungan, seperti pohon, burung, perkampungan, sawah, dan hutan.

Muktamar ke-41 1985 di Surakarta kembali memasukkan masalah lingkungan dalam keputusan. Dalam poin C Bidang Peningkatan Pelayanan Sosial dinyatakan: “Meluaskan jangkauan program kependudukan dan keluarga sejahtera, kelestarian lingkungan hidup dan pendidikan kesehatan jiwa dengan menertibkan usaha-usaha pelaksanaan perencanaan keluarga sejahtera sesuai dengan ajaran Islam dan tuntunan Persyarikatan yang tidak membenarkan abortus dan metode sterilisasi/pemandulan.”

”Pada Muktamar 1990 di Yogyakarta yang melahirkan Garis Besar Program Muhammadiyah (GBPM), isu lingkungan dibahas lebih jelas. Di dalamnya, Muhammadiyah menyinggung mengenai kemajuan IPTEK yang tidak cukup dilihat melalui kemanfaatannya, tetapi juga dampak negatif yang ditimbulkan,” ujar Hening saat memberikan materi Jambore Media Afiliasi Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Minggu (258/2024).

Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah adanya eksploitasi alam dan sumber daya yang berlebihan. Hal ini berakibat pada semakin rusaknya ekosistem alam. Atas dasar ini, Muhammadiyah juga menulis solusinya dengan melakukan pembangunan jangka panjang yang menekankan kepada sisi kemanusiaan serta menghindari eksploitasi alam yang berlebihan.

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang dihasilkan Muktamar ke-44 di Jakarta pada tahun 2000, pemikiran ekologi Muhammadiyah semakin terlihat jelas. Muhammadiyah memasukkan poin “Kehidupan dalam Melestarikan Lingkungan” menjadi pedoman kehidupan ke-9 dari 11 pedoman kehidupan. Pada pedoman kehidupan dalam melestarikan lingkungan ini, terdapat 6 poin yang menjadi Pedoman Islami Warga Muhammadiyah dalam melestarikan dan menjaga lingkungan.

Aksi Muhammadiyah dalam bidang lingkungan dilembagakan melalui terbentuknya Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup (LSPLH) pada tahun 2003. Lembaga ini menjadi tempat bagi aktivis Muhammadiyah dalam melakukan studi mengenai persoalan ekologi.

Pada tahun 2005, tepatnya dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup (LSPLH) diubah menjadi Lembaga Lingkungan Hidup (LLH). Hal ini didasarkan pada kebutuhan masyarakat terhadap penanganan kerusakan lingkungan yang semakin meningkat. Setelah berjalan selama kurang lebih 5 tahun, pada tahun 2010, terdapat usulan mengenai perubahan LLH menjadi Majelis Lingkungan Hidup (MLH) yang disahkan pasca Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta. Muhammadiyah memiliki satu majelis khusus yang menangani persoalan ekologi.

”Jangan gara-gara izin tambang, lalu dianggap seolah komitmen Muhammadiyah terhadap lingkungan tidak ada. Silakan baca sejarah. Jangan sampai juga karena isu tambang menurunkan komitmen warga Muhammadiyah terhadap kelestarian lingkungan dan perubahan iklim,” kata Hening.

Exit mobile version