Jakarta, Deras.id – Isu perselingkuhan sedang mencuat, khususnya di kalangan artis. Seperti yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 tingkat perceraian di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2022 tercatat 516.344 kasus perceraian dimana jumlah ini meningkat 15,3 persen di bandingkan tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus.
Ternyata setelah dipahami berdasarkan laporan BPS, faktor terbesar meningkatnya kasus perceraian karena adanya perselisihan hingga mengakibatkan pertengkaran. Selain hal itu faktor ekonomi dan ditinggal oleh pasangan juga menjadi penyebab kasus perceraian meningkat.
Oleh karena itu, perlu diketahui apa sebenarnya tujuan menikah. Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKKPBNU), Nyai Nur Rofiah menegaskan bahwa pernikahan harusnya tidak dimaknai sebagai suatu hal yang bersifat transaksional. Menikah bukan hanya soal fisik dan seksualitas saja dimana wanita hanya digunakan untuk objek pemuas kebutuhan lelaki atau sang wanita menikah hanya karena ingin mendapatkan nafkah saja.
Nyai Rofiah menjelaskan jika pernikahan hanya bersifat transaksional akan sangat rapuh oleh karena itu sebagai manusia yakni makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna perlu untuk merefleksikan apakah diri kita sudah masuk sebagai makhluk berakal atau hanya makhluk fisik saja.
Berikutnya, tujuan menikah harus dimengerti yakni untuk melahirkan kemaslahatan. Nyai Rofiah memberikan contoh bahwa ketika pasangan suami istri mengalami permasalahan harusnya saling support satu sama lain. Sehingga adanya rasa untuk saling menguatkan. Bukan sebaliknya saling menyalahkan satu sama lain.
“Ketika rezeki suami sedang macet, istrinya di-support untuk bisa kerja, suami sementara bisa mengurus urusan rumah dan segala macamnya. Problemnya kan kadang gengsi. Istri juga begitu bisa nulis, dagang banyak yang bisa dilakukan bersama asal cara pandang sudah benar,” bebernya.
Selanjutnya adalah pemahaman bahwa jodoh tidak statis, semuanya diproses. Maksudnya jodoh ibarat rezeki yakni suatu hal yang harus dicari. Begitu pula pasangan suami istri harus terus diupayakan untuk bersama.
“Manusia punya potensi kecenderungan baik dan buruk sekaligus karenanya jika berjodoh potensi baiknya semakin berkembang sebaliknya jika tidak, iya toxic,” ujarnya.
Hal penting lainnya adalah perlunya persiapan mental, finansial dan intelektual. Menurut Nyai Rofiah perlu mempertimbangkan tiga hal tersebut. Seperti dalam Islam ada proses ta’aruf (saling mengenal) hal ini diperlukan untuk mengetahui apa sebenarnya keinginan calon pasangan, pernikahan seperti apa yang diharapkan, tujuannya apa hal ini perlu diketahui. Selain itu dalam pernikahan akan ada berbagai masalah yang terjadi oleh karena itu untuk menjadi pasangan yang ideal perlu kesadaran untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
“Maka sepanjang menjadi suami istri diperlukan kemaslahatan atas dirinya, atas dasar iman sekufu. Soal sekufu atau standar juga sebenarnya ada pada taqwa, bukan pada paras,” jelasnya.
Selanjutnya, jangan jadikan pasangan sebagai standar tunggal. Seperti zaman yang terus berkembang kehidupan rumah tangga setiap orang bisa ditampilkan dengan bebas. Namun setiap pasangan tidak perlu iri dengan kehidupan rumah tangga orang lain dan menjadikannya sebagai standar tunggal, karena setiap rumah tangga pasti memiliki perbedaan. Intinya adalah dalam pernikahan ukurannya adalah menghamba kepada Allah swt. Dimana tujuan pernikahan diluruskan dengan tujuan hidup dan proses bersama.
“Perkawinan layak dipertahankan kalau masih bisa menjadi kendaraan kemaslahatan bersama tidak hanya pasutri tapi juga anak. Kalau sudah sampai dititik tertentu. Iya, mau bagaimana lagi? kita musti memahami karena hanya tau polemik rumah tangga dari luar saja,” pungkasnya.
Penulis: Una l Editor: Ifta