Oleh : Hadi Prayitno*
Berawal dari menyaksikan diskusi pada acara salah satu stasiun televisi bertajuk Masa Jabatan Kades 9 Tahun; Ada Udang di Balik Batu, narasumber yang dihadirkan ada yang pro dan kontra dengan rasionalisasi dan perspektifnya masing-masing.
Menteri Desa PDTT RI, Dr. (HC) Drs. H. Abdul Halim Iskandar, M.Pd yang biasa disapa Gus Menteri, sebagai salah satu narasumber menjelaskan, munculnya wacana perpanjangan masa jabatan kades tersebut diawali dari diskursus rencana revisi Undang-undang Desa, kemudian sejumlah perwakilan Kades menyampaikan fakta empiris kepemimpinan Kades dalam membangun desa beserta dinamika konfliknya yang muncul akibat proses Pilkades.
Menyikapi hal tersebut, penulis ingin menyampaikan beberapa fakta sebagai catatan reflektif, terlepas dari teori-teori yang disampaikan para narasumber.
Pra Pilkades
Mengawali dengan pengalaman penulis mengamati pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) baik di Desa penulis sendiri dan beberapa Desa lain, ada sejumlah fakta yang tidak bisa diabaikan dan penting menjadi pertimbangan perpanjangan masa jabatan Kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Pertama, dinamika conflict of interest antar pendukung mulai terbangun sejak pra pilkades. Ini menjadi salah satu faktor terciptanya polarisasi di masyarakat hingga bertahun-tahun pasca pilkades.
Dinamika ini mulai dirasakan sekitar setengah hingga satu tahun sebelum masuk tahap pelaksanaan. Pada masa ini mulai muncul adanya intervensi dan ancaman oleh pelopor atau pendukung dari calon, salah satunya berupa ancaman mengundang pencuri beraksi di desanya untuk mencuri hewan ternak warga yang tidak mendukung calonnya.
Pola ini biasanya terjadi pada lingkup lebih kecil seperti dusun-dusun atau lingkungan warga. Intervensi semacam ini sangat meresahkan bagi warga karena mengancam keamanan di Desa.
Kedua, riak perselisihan antar warga pendukung calon Kades yang berbeda mulai memanas. Tidak jarang ditemui perselisihan kecil yang dapat menyulut pertengkaran lebih besar antar warga. Peristiwa ini sering terjadi pada kelompok ibu-ibu.
Tahapan Pelaksanaan Pilkades
Memasuki tahapan pelaksanaan menjelang pendaftaran calon biasanya mulai muncul prediksi calon kuat atau calon yang akan bersaing perolehan dukungan suaranya. Pada masa ini akan muncul ajang perjudian (taruhan), tidak hanya siapa menang dan kalah, namun selisih perolehan suara antar calon juga dijadikan bahan perjudian.
Bahkan, suara siapa yang akan muncul pertama kali saat penghitungan juga tidak luput untuk dijadikan bahan perjudian. Efek dari maraknya ajang perjudian ini seringkali memicu terjadinya pelanggaran hukum lainnya, seperti pencurian hewan ternak untuk dijadikan modal berjudi, pencurian kendaraan sepeda motor dan pelanggaran hukum lainnya. Tidak jarang warga menjual aset atau bahkan berhutang kepada rentenir (uang bunga) untuk dijadikan modal berjudi hingga menjadi penyulut pertengkaran dengan keluarga/istri.
Transaksi perjudiannya tidak hanya berupa uang, bisa kendaraan atau barang berharga lain. Pasca Pilkades, warga yang kalah taruhan tentu akan menjadi masalah baru di desa, apalagi yang modal berjudinya berhutang kepada rentenir.
Pasca Pilkades
Ada fakta menarik efek Pilkades di desa penuli. Dua tetangga masih famili mendukung calon Kades berbeda, rumah keduanya saling berhadapan dengan satu halaman. Namun, mereka tidak saling tegur sapa selama tiga tahun pasca Pilkades.
Saat keduanya berpapasan dalam kurun waktu tiga tahun itu, pendukung calon kades yang kalah selalu melontarkan umpatan yang mengungkit perselisihan dukungan saat pilkades, akhirnya memicu pertengkaran. Bahkan, ada tetangga lainnya yang hingga saat ini belum bertegur sapa meski pilkades sudah berlalu sekitar empat tahun lebih.
Dari fakta tersebut, efek pelaksanaan Pilkades berakibat mengganggu tatanan dan keharmonisan hubungan antar warga di Desa. Refleksi tersebut menjelaskan bahwa efek negatif Pilkades mulai dari pra hingga pasca, tidaklah sederhana.
Fakta sosial berupa conflict of interest akibat Pilkades akan dialami warga dalam kurun waktu yang sangat lama. Pernak-pernik dinamika politik pilkades juga dapat memicu terjadinya pelanggaran hukum yang meresahkan bagi warga desa, keharmonisan hubungan kekerabatan dan tetangga terganggu dan berakibat merusak kerukunan antar warga di desa.
Kepemimpinan Kades terpilih dalam melaksanakan pembangunan di desa juga akan terganggu, konflik warga masyarakat ini akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan keterlibatannya dalam proses pembangunan di Desa.
Rendahnya partisipasi masyarakat ini akan menjadi faktor rendahnya kualitas dan menghambat pembangunan di Desa, bahkan dapat menjadi peluang bagi oknum tertentu melakukan penyelewengan anggaran di Desa. Oleh karenanya, fakta-fakta sosial di atas tidak boleh diabaikan.
Hal positif lainnya dengan perpanjangan masa jabatan Kades dari 6 Tahun menjadi 9 Tahun tentu dapat menghemat APBD yang seharusnya untuk anggaran biaya pelaksanaan pilkades bisa dimaksimalkan untuk pembangunan bidang lain yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat di desa.
Dengan rasionalisasi dan perspektif di atas, penulis sangat mendukung Menteri Desa PDTT RI memperjuangkan perpanjangan masa jabatan Kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam revisi Undang-Undang Desa
*) Pegiat Desa