Oleh: Dodik Mer*
Paska Reformasi tahun 1998, program-program Pemerintah yang menggunakan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat semakin pesat, dan tentu membutuhkan tenaga pendamping atau fasilitator program yang cukup banyak. Jika sebelum reformasi, jumlah tenaga pendamping masih sangat terbatas, akan tetapi setelah reformasi, kebutuhan akan tenaga pendamping atau fasilitator program semakin banyak. Diperkirakan puluhan ribu tenaga pendamping dibutuhkan untuk bekerja mendampingi program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah. Dengan dasar itu, pada tahun 2007, muncul pemikiran untuk meberikan standarisasi untuk fasilitator pemberdayaan masyarakat dengan melakukan sertifikasi.
Gagasan untuk sertifikasi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Bagi mereka yang tidak setuju dilakukan sertifikasi bagi pendamping / fasilitator pemberdayaan masyarakat, memberikan argumentasi; bahwa pekerjaan pendamping / fasilitator pemberdayaan masyarakat adalah pekerja yang bermula dari relawan, sehingga orang-orang yang bekerja sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah relawan. Karena tanpa kerelaan, fasilitator pemberdayaan masyarakat akan sulit melakukan pendampingan yang berempati kepada kelompok miskin, atau mereka yang terabaikan oleh pembangunan.
Bagi mereka yang mendukung sertifikasi, berargumentasi; bahwa standarisasi keahlian fasilitator melalui sertifikasi tidak akan menghilangkan dasar kerelaan mereka untuk mendampingi masayarakat miskin atau kelompok rentan lainnya. Sertifikasi akan melindungi masyarakat dan pemerintah dari pendamping / fasilitator pemberdayaan masyarakat yang tidak kompeten dibidangnya. Selain itu, kebanyakan dari pendamping / fasilitator pemberdayaan masyarakat dibayar dengan uang negara. Untuk itu perlu menentukan standar yang digunakan untuk membayar seseorang, agar penggunaan uang negara dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan dasar itulah maka mereka yang pro sertifikasi, pada tahun 2010 mulai bekerja membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat. Dan akhirnya, pada tahun 2012, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigran mengeluarkan Keputusan No. 81 Tahun 2012, Tentang: Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) Sektor Jasa Kemasyarakatan Bidang Pemberdayaan Masyarakat Untuk Jabatan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Dengan demikian, maka dimulailah sejarah baru pendamping / fasilitator pemberdayaan masyarakat sebagai profesi yang diakui oleh negara.
Pendamping di era undang undang desa
Setelah melalui pembahasan cukup panjang dan melewati berbagai tekanan, akhirnya Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang Undang (RUU) Desa DPR RI bisa menyelesaikan tugasnya, seiring dengan disahkannya RUU Desa sebagai Undang-Undang. Malam sebelum akhir tahun 2013, RUU ini disahkan oleh DPR menjadi Undang Undang. Dan diundangkan menjadi Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada tanggal 14 Januari 2014 Oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Kehadiran undang-undang ini disambut dengan sukacita oleh mereka yang bergiat untuk pembangunan perdesaan. Undang Undang Desa yang ditunggu kehadirannya selama kurang lebih 7 tahun, sepertinya menjadi harapan untuk desa yang lebih kuat, sejahtera, adil dan demokratis.
Selain itu, banyak juga dari mereka yang melihat kelahiran Undang Undang Desa sebagai anugrah untuk masyarakat desa. Undang-undang ini begitu luas memberi kewenangan kepada Desa untuk mengatur dan mengurus dirinya yang disertai anggaran yang cukup besar. Jika ini dikelola dengan baik, akan memberi dampak luar biasa terhadap kemakmuran desa. Untuk itu dibutuhkan aturan pelaksanaan yang lebih baik agar tidak mengulang kesalahan program-program perdesaan sebelumnya. Diskusi tentang Undang Undang Desa terus berlanjut, sampai lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Tahun 2014 Tentang: Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pada bagian Ketiga Paragraf Satu, Pasal 126 dari PP ini, menyebutkan bahwa; Pemberdayaan masyarakat Desa bertujuan memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan.
Selanjutnya, PP 43 tahun 2014 pada Pasal 128 disebutkan: Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat Desa dengan PENDAMPINGAN secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan masyarakat Desa secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh Tenaga Pendamping Profesional / TPP, kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga. Selanjutnya pada Pasal 129 dijelaskan: Tenaga pendamping profesional terdiri atas: 1) pendamping Desa yang bertugas mendampingi Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, kerja sama Desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal Desa; 2) pendamping teknis yang bertugas mendampingi Desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral; dan 3) tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Pendamping Profesional harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau teknik. Ini adalah sejarah baru Pendamping Pemberdayaan Masyarakat diberi status professional, dan penggunaan kata Pendamping tentu memiliki makna dan tujuan yang ingin dicapai.
Menurut para perancang Undang Undang Desa, bahwa perbedaan mendasar model pendampingan paska ditetapkannya UU Desa adalah ada tuntutan terhadap para Pendamping Desa untuk mampu melakukan transformasi sosial dengan mengubah secara mendasar pendekatan “kontrol dan mobilisasi” pemerintah terhadap desa” menjadi pendekatan “pemberdayaan masyarakat desa”. Masyarakat desa dan pemerintah desa sebagai satu kesatuan self governing community diberdayakan untuk mampu hadir sebagai komunitas mandiri. Dengan demikian, desa-desa didorong menjadi subyek penggerak pembangunan Indonesia dari pinggiran, sehingga mampu merealisasikan salah satu agenda strategis prioritas Pemerintahan Jokowi yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”.
Pendampingan Desa adalah kegiatan yang bertujuan melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa. Fasilitasi dapat dilakukan dengan cara-cara yang kreatif dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta seluruh aturan pelaksanaannya. Masyarakat desa difasilitasi belajar untuk mampu mengelola kegiatan pembangunan secara mandiri. Berbagai pelatihan dan beragam kegiatan pengembangan kapasitas diberikan oleh pendamping mayarakat desa kepada masyarakat. Pengembangan kapasitas di desa dikelola langsung oleh masyarakat sebagai bagian proses belajar sosial.
Dalam bangunan kerangka pikir pemberdayaan masyarakat Desa, penerapan UU Desa ini harus dikawal oleh pendamping Desa yang bertugas mengajarkan aturan legal kepada masyarakat desa. Pendampingan dan pelatihan dari pendamping Desa kepada masyarakat desa ini diharapkan mempercepat proses internalisasi UU Desa sebagai sebuah proses pembiasaaan sosial dalam diri masyarakat desa. Selain itu, pendamping Desa juga bertugas mendampingi warga desa meningkatkan daya tawar dalam mengakses sumberdaya yang dibutuhkan msyarakat desa sehingga program dan kegiatan pembangunan mampu dikelola masyarakat desa itu sendiri.
Pendamping Desa bukan pengelola proyek pembangunan di desa. Kerja Pendampingan Desa difokuskan pada upaya memberdayakan masyarakat desa melalui proses belajar sosial. Dengan demikian, pendamping desa tidak sekedar hanya dibebani dengan tugas-tugas pengelolaan administrasi keuangan dan pembangunan desa yang berdasarkan UU Desa sudah menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah desa, tapi lebih melakukan asistensi dan fasilitasi Desa.
Kerja Pendampingan Desa lebih tepat dimaknai sebagai proses fasilitasi terhadap warga desa agar berdaya dalam memperkuat desanya sebagai komunitas yang memiliki pemerintahannya sendiri (self governing community). Dalam rangka mewujudkan desa sebagai self governing community, fokus kerja Pendampingan Desa diarahkan pada proses kaderisasi masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat Desa adalah sebuah bagian dari proses transformasi sosial yang digerakkan oleh kader-kader desa yaitu warga desa yang dengan kebebasannya memilih untuk secara sukarela terlibat menjadi penggerak pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desanya. Kader desa adalah orang kunci yang mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita. Kader Desa hadir sebagai pemimpin Desa, para penggerak pembangunan Desa, tokoh-tokoh masyarakat, pengelola organisasi kemasyarakatan yang ada di desa, kader-kader perempuan, maupun para pemuda yang yang akan menjadi generasi penerus di desanya. Pendamping Desa memfasilitasi dan mendampingi warga desa untuk bersama-sama merekrut, melatih dan membentuk kader-kader desa.
Mencermati arah pendampingan desa sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa; pendamping desa haruslah orang yang memiliki kualifikasi yang mumpuni dibidang pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Penguasaan metode dan strategi pendampingan. Selain itu, penguasaan terhadap seluruh regulasi yang mengatur tentang desa harus dimiliki oleh pendamping desa, agar dapat membantu masyarakat dan pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Untuk itu, pendamping desa harus meningkatkan kapasitasnya dalam berbagai aspek pengetahuan, dan keterampilan. Dan yang paling penting adalah memperbaiki sikap dan cara pandang mereka dalam melihat kondisi masyarakat desa. Akhirnya sebaik baik manusia adalah yang bermanfataat bagi orang lain.
*) Penasehat APDI & Koord TPP kabupaten Jember