Mengenal Profesi Pendamping Masyarakat Desa, Refleksi: Tantangan & Harapan (1)

Oleh : Dodik Mer*

Catatan detail mengenai “cikal bakal/embrio” kegiatan pendampingan pemberdayaan kepada masyarakat di Indonesia, secara rinci belum ada. Hanya bisa ditelusuri melalui rekam jejak para pelaku pegiat pemberdayaan masyarakat, atau yang juga dikenal dengan pengembangan masyarakat (community development). Aktifitas ini dulunya hanya dilakukan oleh gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi non pemerintah (NGO) yang dimulai sekitar awal tahun 1970-an. Pada masa itu, para pegiat gerakan ini mencoba menawarkan model pendekatan pembangunan alternative, yang melibatkan langsung masyarakat (pendekatan partisipatif) di dalam setiap kegiatan pembangunan. Orang-orang yang bekerja di sektor ini biasanya adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan idealisme, sehingga mereka lebih memilih disebut sebagai aktivis sosial, ketimbang disebut sebagai pekerja program. Kelompok masyarakat yang didampingi adalah kelompok yang terpinggirkan dari proses pembangunan saat itu.

Biasanya LSM/NGO mengembangkan berbagai program yang terkait langsung dengan kehidupan masyarakat dampingannya, khususnya masyarakat miskin di perdesaan. Program meliputi: pertanian, kesehatan, pendidikan, pengembangan ekonomi mikro, pembinaan kelompok nelayan dan lain-lain. Hasil capaian kegiatan bukanlah menjadi tujuan utama, tapi proses pelibatan masyarakat secara langsung menjadi sangat penting, agar masyarakat bisa merasakan dan mengembangkan kreatifitasnya dalam menata hidupnya sesuai potensi yang dimilikinya. Jadi, sesungguhnya kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bertujuan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat, agar mereka bangkit untuk memperjuangkan penghidupannya sendiri agar bisa lebih baik.

Orang-orang yang beraktivitas sebagai pekerja pemberdayaan masyarakat biasanya disebut sebagai “Pendamping” masyarakat, motivator, atau fasilitator. Mereka inilah yang secara langsung membantu atau memfasilitasi masyarakat di dalam melakukan kajian, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan bersama masyarakat dampingannya. Mereka yang memilih bekerja sebagai pendamping, biasanya adalah orang-orang yang memiliki komitmen dan kepeduliaan tinggi terhadap naasib yang dialami oleh masyarakat miskin. Selain itu, mereka juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, terkait dengan isu-isu pembangunan dan pengembangan masyarakat yang digelutinya.

Dengan berkembangnya program-program berbasis pemberdayaan masyarakat sejak awal tahun 1990-an, baik yang dikelola oleh LSM maupun yang mulai diprakarsai oleh pemerintah, maka peran pendamping masyarakat dalam pelaksanaan program tersebut menjadi semakin banyak dibutuhkan. Kehadiran pendamping pemberdayaan masyarakat mutlak ada di setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat. Wacana tentang pendamping semakin marak dibicarakan ketika pemerintah mencanangkan Program Instruksi Presiden No 5 Tahun 1993, tentang Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program IDT adalah paket program penanggulangan kemiskinan di wilayah perdesaan dengan pendekatan pengembangan masyarakat melalui pembentukan kelompok masyarakat (pokmas). Untuk itu, program IDT mengandalkan tenaga “pendamping” untuk menjalankan program ini ditingkat desa.

Program IDT adalah program yang digagas oleh Bappenas, dengan motor dan arsiteknya: Prof. Dr. Mubyarto, pada saat beliau menjabat Asisten Menteri Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, tahun 1993-1998. Prof. Dr. Mubyarto tidak sendiri dalam pengembangan program ini. Beliau dibantu oleh Sayogyo, sosiologi perdesaan IPB, dan Direktur Bina Swadaya: Bambang Ismawan. Keduanya adalah tokoh LSM yang sudah berpengalaman dalam pendamping di perdesaan, khususnya dalam pengembangan pertanahan.

Program IDT dikembangkan dalam pendekatan kelompok masyarakat, agar memudahkan dalam pendampingan. Pendekatan kelompok didasarkan atas pemikiran bahwa kelompok masyarakat (pokmas) yang terbentuk dari bawah akan lebih kuat ikatannya dan akan lebih mempercepat menolong seseorang keluar dari kemiskinan (community-based development approach). Selain itu pemikiran ini juga bertujuan mengurangi kesenjangan sosial dengan cara meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia, terutama pada kelompok-kelompok masyarakat miskin.

Pada saat itu, program IDT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kemandirian penduduk miskin di perdesaan. Dengan menempatkan masyarakat miskin sebagai subjek pembangunan, diharapkan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelompok miskin lainnya di desa. Setiap desa tertinggal diberi dana bergulir sebesar Rp 20 juta per tahun selama tiga tahun. Dana tersebut akan bergulir di desa tersebut paling tidak selama tiga tahun. Yang dimaksud dengan dana bergulir artinya dana ini merupakan pinjaman yang harus di kembalikan (dicicil), dan dana tersebut akan di pakai lagi oleh anggota pokmas yang lain dan seterusnya. Pada dasarnya dana yang di pinjamkan ini untuk modal usaha bukan untuk konsumsi.

Awal program ini diluncurkan terlihat sekali banyak pokmas yang belum terbiasa dengan usaha sendiri, sehingga di putuskan akan ada tenaga pendamping yang disediakan oleh pemerintah. Tenaga pendamping ini tergantung pada keahlian apa yang dibutuhkan oleh daerah setempat. Misalnya kalau desa tertinggalnya adalah desa pantai maka yang akan di terjunkan adalah ahli perikanan atau kalau daerahnya pertanian ya ahli pertanian. Dari beberapa pemantauan di lapangan saat itu jenis usaha yang banyak dilakukan adalah berdagang bakso, berdagang ikan, kue/warung kopi, berdagang barang kelontong, beternak ikan, dan beternak ayam. Setelah Inpres Dana Tertinggal (IDT) berjalan, kemudian pemerintah kembali meluncurkan program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), yang bertujuan sama, yaitu mempercepat penanggulangan kemiskinan di perdesaan. Pendekatan P3DT juga sama dengan IDT, yakni dengan pendekatan partisipatif, dan mengandalkan kerja pendampingan. Untuk itu, program P3DT juga merekrut tenaga pendamping IDT.

Pada tahun 1998, Pemerintah kembali meluncurkan program baru yang diberi nama “Program Pengembangan Kecamatan (PPK)”. Program PPK adalah program penanggulangan kemiskinan yang melanjutkan dua program sebelumnya, yakni; IDT dan P3DT. Program PPK juga menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan memperbaiki mekanisme perencanaan program, yang menitik beratkan kepada pelibatan masyarakat miskin dalam proses perencanaannya. Dengan konsep tersebut, maka PPK juga mengandalkan pendampingan dengan merekrut pendamping pada level kecamatan, yang kemudian diberi nama Fasilitator Kecamatan (FK).

Ada perdebatan mengenai alasan pemilihan nama Fasilitator Kecamatan untuk pendamping PPK. Pada saat dilakukannya pembahasan Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis PPK pada bulan Mei 1998, di jogjakarta, seorang aktifis LSM yang menjadi Tim Penyusun Pedoman Umum, mempertanyakan, “mengapa program ini menggunakan nama Fasilitator Kecamatan. Apa tidak lebih baik kita gunakan nama Pendamping Kecamatan/FK?”. Pertanyaan ini melahirkan diskusi yang cukup serius. Kemudian Team Leader PPK, Victor Bottini menjelaskan, bahwa pemilihan nama FK didasarkan pada tugas mereka adalah pendamping program. Jadi tugasnya lebih banyak menfasilitasi tahapan program. Untuk itu lebih baik diberi nama FASILITATOR KECAMATAN/FK

Setelah berjalan kurang lebih 9 tahun, tahun 2007 program PPK berubah menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM PMd) tanpa bergeser dari tujuan utamanya, yakni: meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan, dengan tetap menggunakan nama Fasilitator Kecamatan untuk pendamping programnya. Kemudia penamaan FASILITATOR sudah digunakan oleh hampir seluruh program pemerintah.

Selain program-program yang disebutkan di atas, masih banyak lagi program pemerintah yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan pendamping sebagai instrumen utama. Ada program P2KP dan Pansimas dari Kementerian PU yang juga menggunakan pendamping sebagai bagian penting dari pengembangan programnya. Mereka juga memberi nama fasilitator kepada pendamping programnya. Kementerian Sosial juga mengembangkan program yang diberi nama Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini sudah mulai menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, sehingga Kementerian Sosial juga menggunakan pendamping program untuk membantu masyarakat dan pelaksanaan program. Selain itu, Kementerian Pertanian juga mengembangkan program untuk petani miskin di pedesaan, dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Nama Programnya Rural Empowerment and Agricultural Development Scaling-up Innitiative (READSI). Program ini juga mengandalkan pendampingan yang menggunakan istilah Fasilitator Desa.

*) Penasehat APDI & Koord TPP kabupaten Jember

Exit mobile version