Oleh: Abdullah Gufronul M
Ketahanan pangan adalah isu yang tak pernah lekang oleh waktu, hal ini dikarenakan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya tidak dapat ditunda-tunda. Seperti yang Shindunata katakan “bahwa di dalam perut itu terdapat kelaparan yang mudah marah. Dan jikalau amarah dari perut itu meledak, maka negara ini sungguh dalam keadaan yang amat berbahaya”. Oleh karenanya penyelesaian pangan menempati perhatian intens dalam pembangunan bangsa. Sekalipun masalah pangan sudah diperhatikan sejak orde lama, khususnya orde baru, namun persoalan pangan tetap menjadi isu aktual yang selalu mengikuti dinamika pembangunan. Dengan keberhasilan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang telah kita capai selama ini problem pangan tidaklah semakin ringan, namun sama rumitnya dengan kompleksitas masalah itu sendiri. Terlebih isu krisis pangan menjadi perhatian di tengah tantangan global saat ini seperti perubahan iklim, pertumbuhan populasi, fluktuasi harga pangan dan ketergantungan pada impor. Indonesia, sebagai negara agraris dengan beragam sumber daya alam harus mengadopsi strategi yang efektif untuk merumuskan ketahanan pangan guna mencapai swasembada pangan. Mengambil inspirasi dari kebijakan masa lalu yang dilakukan oleh Ghazan Khan (1.250-1500 M), salah satu pemimpin Islam yang sukses dalam mengelola sumber daya dan memastikan kestabilan pangan, hal ini bisa menjadi refleksi dan jalan cerdas bagi Indonesia untuk menghadapi tantangan krisis pangan kedepan.
Masa Keemasan dan Kemunduran Pangan Indonesia
Secara umum perjalanan pertanian di Indonesia dari tahun 1967 hingga sekarang mengalami lima fase: Pertama, fase konsolidasi (1967-1978), pada fase ini tanaman pangan tumbuh di angka 3,58% dengan penerapan kebijakan pemerintah pada sektor pertanian melalui intensifikasi penggunaan teknologi biologi dan kimia seperti pupu, benih unggul, pestisida dan hibrisida serta teknologi mekanis seperti traktorisasi, kombinasi manajemen air irigasi dan drainase. Disisi lain, pemerintah juga menerapkan kebijakan ekstensifikasi seperti perluasan areal dengan mengkonversi hutan tidak produktif dan kebijakan diversifikasi seperti penganekaragaman usaha pertanian untuk menambah pendapatan rumah tangga petani. Pada saat yang bersamaan, kebijakan yang juga dilakukan pemerintah adalah membangun irigasi, jalan, industri pendukung, pembenahan institusi ekonomi (seperti konsolidasi kelompok tani hamparan, koperasi unit desa, dan koperasi pertanian lainnya) serta melakukan terobosan skema pendanaan, memberikan kredit pertanian bersubsidi dan keterjangkauan akses finansial sampai pelosok desa.
Kedua, fase tumbuh tinggi (1978-1986), pada fase ini bisa dikatakan bahwa indonesia mencapai puncak kejayaannya dalam swasembada, bahkan surplus pangan beras. Tercermin tanaman pangan tumbuh di angka 4,95% dan mengalami perubahan stok beras yang di kuasai oleh Bulog dalam negeri sebanyak 2,382 juta ton setara beras dan hanya membutuhkan penyaluran sebanyak 1,612 juta ton beras. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa terdapat surplus beras paling banyak setidaknya 0,770 juta ton beras sehingga menggembirakan rakyat dan dikagumi oleh dunia karena indonesia mampu mengubah peta geopolitik stok beras internasional dari status negara impor menjadi negara swasembada. Prestasi tersebut dikarenakan pada saat itu Manajemen pemerintahan Seharto dengan sistem linier dan komando sangat efektif untuk menjalankan administrasi pemerintah sampai ke tingkat pedesaan dengan menerapkan revolusi hijau, mengedepankan riset (ilmu pengetahuan) dan revolusi teknologi pada sektor pertanian serta dukungan skema pembiyaan dan sistem perbankan mampu mengahasilkan kinerja yang baik pada produksi pertanian.
Ketiga, fase dekonstruksi (1986-1997), pada fase ini pangan di Indonesia mengalami kemunduran yang cukup signifikan dari fase sebelumnya yang tumbuh di angka 1,90%. Hal ini dikarenakan pertanian mengalami fase pengacuhan (ignorance) oleh pemerintah bahkan para ekonom sendiri. Prestasi pertanian fase sebelumnya menimbulkan anggapan bahwa pembangunan pertanian akan bergulir dengan sendirinya sehingga melupakan keberpihakan dan kerja keras pada periode sebelumnya. Indikasi fase ini terjadi ketika kebijakan pemerintah pada sektor pembangunan ekonomi mengarah kepada strategi industrialisasi, dimana berbagai komponen proteksi diberikan kepada sektor industri. Upaya proteksi tersebut mengakibatkan lumpuhnya basis pertanian di tingkat petani pedesaan dan menimbulkan ketidakmerataan pembangunan.
Keempat, fase krisis (1997-2001), pada fase ini tanaman pangan hanya tumbuh di angka 1,62%, dikarenakan terjadi krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis nilai tukar dan perbankan sehingga berdampak pada semua sendi perekonomian seperti inflasi yang menyebabkan pengangguran bertambah dan menjalar kepada segala aspek kehidupan. Salah satunya sektor pertanian yang juga harus menanggung dampak dari krisis ekonomi melalui keharusan menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal perkotaan, sehingga pertanian termasuk petani terus terpojok dan terasingkan misalnya dari segi fasilitas.
Kelima fase transisi dan desentralisasi (2001 – sekarang), pada fase ini terjadi transisi politik dan periode desentralisasi sehingga pembangunan pertanian menjadi peningkatan basis kemandirian daerah yang mampu mengalirkan bahkan menciptakan dampak ganda aktivitas lain di daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan daerah untuk lebih leluasa melakukan kombinasi kebijakan strategis untuk pembangunan sektor khususnya pada sektor ekonomi dan pertanian.
Pembelajaran dari Sejarah
Ghazan Khan dikenal karena kebijakannya yang proaktif dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan distribusi pangan. Di bawah pemerintahannya, sistem irigasi dan teknik pertanian diperbaiki, serta kontrol harga pangan diperkenalkan untuk mencegah spekulasi. Kebijakan-kebijakan ini bukan hanya berhasil menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya dan mencegah kelaparan, tetapi juga untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Dari kepemimpinan Ghazan Khan dalam mengelola sektor pertanian terdapat beberapa langkah-langkah strategis yang bisa di terapkan. Pertama, penguatan infrastruktur pertanian, salah satu langkah awal yang perlu diambil adalah penguatan infrastruktur pertanian. Seperti yang dilakukan Ghazan Khan, investasi dalam sistem irigasi yang efisien dan pengembangan teknologi pertanian modern dapat memperkuat infrastruktur pertanian serta membantu petani meningkatkan hasil panen. Hal ini penting, terutama mengingat banyak daerah di Indonesia masih bergantung pada metode pertanian tradisional yang belum optimal.
Kedua, kebijakan harga dan aksesibilitas, salah satu pelajaran utama dari kepemimpinan Ghazan Khan adalah pentingnya kontrol harga pangan. Dengan mengatur harga pangan, kita dapat mencegah spekulasi yang merugikan konsumen dan petani. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang memastikan harga pangan tetap stabil dan terjangkau, sembari memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi. Langkah ini akan membantu menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.
Ketiga, pemberdayaan petani,untuk mewujudkan ketahanan pangan, pemberdayaan petani adalah kunci. Program pelatihan dan akses terhadap informasi serta teknologi pertanian harus diperluas. Dengan meningkatkan kapasitas petani, kita dapat menciptakan generasi petani yang lebih inovatif dan berdaya saing. Seperti halnya Ghazan Khan, yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya khususnya petani, pemerintah harus memastikan petani mendapatkan keuntungan yang adil dari hasil pertanian mereka.
Keempat, integrasi kearifan lokal dan pertanian berkelanjutan, kearifan lokal dalam bertani juga harus diperhatikan. Indonesia kaya akan tradisi pertanian yang telah teruji waktu, yang dapat diintegrasikan dengan teknologi modern. Pendekatan ini tidak hanya akan meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga melestarikan warisan budaya. Masyarakat lokal sering memiliki pengetahuan yang berharga tentang praktik pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, yang dapat memperkuat ketahanan pangan di tingkat lokal.
Mengadopsi kebijakan strategis sektor pertanian ala “Ghazan Khan” untuk masa depan ketahanan pangan di Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Dengan memperkuat infrastruktur pertanian, menerapkan kebijakan harga yang adil, memberdayakan petani, dan mengintegrasikan kearifan lokal, Indonesia dapat membangun ketahanan pangan yang lebih kokoh. Upaya ini tidak hanya akan memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh masyarakat, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang termaktub dalam Pancasila. Saatnya kita mengambil inspirasi dari sejarah untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Editor: HvD