Oleh: Ach Taufiqil Aziz*
Maroko mencetak sejarah dengan menjadi tim Afrika pertama yang memastikan lolos ke Semifinal Piala Dunia setelah mengalahkan Portugal dengan skor 1-0, pada Sabtu malam (10/12/2022). Luapan kegembiraan para supporter di Al Thumama Stadion juga hinggap hangat sampai di sebagian hati kita warga Indonesia.
Tim berjuluk Singa Atlas itu mampu menghancurkan kedigdayaan sepak bola Eropa dan Amerika Latin yang langganan juara piala dunia. Kemenangan tim yang dilatih oleh Walid Regragui seakan mewakili hati orang Indonesia yang tim sepak bola nasionalnya untuk lolos Piala Dunia masih menjadi harapan tak kunjung nyata.
Maroko memang dekat kita. Terutama soal tokoh pemikirnya. Ada Fatimah Marnisi dan Mohammad Abed Al Jabiri. Sejak mahasiswa di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, saya mulai dikenalkan dengan tokoh Abed Al Jabiri. Mulai inten membaca tulisannya. Termasuk yang diulas oleh Ahmad Baso dalam beberapa seri bukunya.
Soal keinginan Abed Al Jabiri yang harus percaya diri dan tidak rendah diri atas Barat ditunjukkan betul oleh para pemain Sepak Bola Maroko. Spanyol yang memiliki banyak pendukung di Indonesia dibuat pulang lebih awal, Belgia yang dipenuhi pemain bintang tersingkir di babak penyisihan dan korban terakhirnya Portugal semalam.
Salah satu gagasan dari Jabiri tentang Post Tradisionalisme itu senyawa dengan NU yang berpegang pada Qaida fikih al muhafadhatu ala qadimis sholeh wal akhdu bil jadidil ashlah. Mempertahankan tradisi lama yang dianggap baik dan dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Jabiri hendak mengajak kita ke semangat kemajuan yang berakar pada tradisi dan mendilogkannya dengan sesutu yang kekinian. Sebagaimana para pemain Maroko yang nyaris semuanya adalah imigran tetapi ikut akademi sepak bola di Eropa. Tidak gagap atas kemajuan tapi tidak lupa jalan pulang dan berpegang.
Perpaduan antara yang tradisi dan mengambil ilmu baru menghasilkan suatu yang dahsyat. Tampil perkasa di tengah kepungan negara Eropa. Sejarah baru tercipta dan mesetinya bisa menginspirasi bagi kita di Indonesia.
Minimal adalah soal rasa percaya diri dari orang-orang Maroko yang bisa masuk ke dalam hati kita saat berhadapan dengan orang lain. Terutama dengan orang-orang Barat.
Hingga kini kita sering minder dalam banyak hal. Dari soal pakaian hingga dengan penelitian. Yang dianggap maju adalah barat dan kita harus berkiblat. Padahal kita juga punya standar yang dianggap baik dan berbeda dengan yang Barat.
Soal Batik misalnya. Saya termasuk yang setuju dengan Sujiwo Tejo ketika mengomentari para pemipin dunia di G-20 Bali menggunakan Batik mestinya mereka yang bangga karena telah mengenakan pakaian khas. Bukan kita yang bangga karena Batik dipakai oleh pemimpin dunia.
Apakah karena lama dijajah sehingga pikiran kita belum sepenuhnya merdeka? Karena tanpa rasa percaya diri, kita sulit untuk maju dan bersaing dengan dunia global. Kita merasa lemah dalam hal apapun dan standar kemajuan itu adalah orang lain. bukan diri kita. Pada titik ini kita perlu kembali berpegang pada Jabiri. Modal utamanya adalah percaya diri ke tradisi kita yang dianggap baik dan mendialogkan dengan kekinian kita.
Sebenarnya orang-orang NU telah lama mempraktekkannya. Memegang erat tradisi dengan kukuh tapi di lain hal juga menerima pembaruan yang ada. Kejayaan masa lalu terus berusaha dihidupkan, walaupun juga bisa berselancar dengan Zaman.
Kita tinggal menunggu hitungan hari, Maroko dan sepak bolanya akan berhadapan dengan Prancis. Apapun yang terjadi, kita menaruh apresiasi terhadap Maroko. Karena hingga Semifinal, Singa Atlas itu bisa memuncahkan rasa bahagia yang sulit kita rasa dengan hanya berharap pada sepak bola Indonesia.
*) Dosen Institut Sains dan Teknologi Annuqayah Madura