Manifestasi Peradaban Politik Perempuan

Oleh : Abdul Muiz*

PEREMPUAN Indonesia tidak lagi terkurung dalam mesin kasar intelektual dan kemunafikan baju sekaligus kecantikan. Perempuan adalah alasan adanya peradaban, menghidupkan kisah-kisah unik setiap fase zaman sembari mendidik manusia yang dilahirkan. Arah kemajuan bangsa sudah waktunya diproses rasio ke-Ibu-an. Tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukanlah sekedar pelengkap isi rumah tangga dan kehidupan pendidikan, lebih dari itu yakni harus berbicara lantang demi arus perubahan zaman.

Berdiskusi perihal politik tak ayal kiranya sudah tidak hanya disii oleh kalangan politisi, pemerintah atau para birokrat saja namun seluruh lapisan masyarakat. Di setiap angkringan kopi kita bisa mendengar para mahasiswa dan  warga sedang meperbincangkan politik, memperdebatkan dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Manifestasi perempuan dalam aspek politik dapat dikatakan redup bahkan minim didengar. Di kampus-kampus indonesia, latar belakang belenggu yang mengikat keras diantaranya budaya patriarki dan perbedaan gender. Meskipun sampai saat ini selalu ada upaya untuk membrantas persoalan tersebut.

Awal pergerakan perempuan tercatat sejak tahun 1800-an. Ketika itu perempuan menganggap dirinya mengalami ketertinggalan disebabkan oleh buta huruf, miskin, dan tidak memiliki soft skill dan hard skill. Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan diperbolehkan ikut dalam prosesi pemilu tokoh diantaranya Marry Wollstonecraft.

Dibuatnya kebijakan seperti UU No.10 Tahun 2008 pasal 55 ayat 2 yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen nyatanya masih jauh dari kata memuaskan. Terlihat 30 persen kuota tersebut belum diisi secara maksimal.

Kita menyakini bahwa hal mendasar yang membuat perempuan begitu sulit masuk dalam dunia perpolitikan ialah budaya patriarki dengan sub-kulturnya dan perasaan perempuan yang menghalangi dirinya untuk survive. Mengucapkan kata “tidak” sebelum melangkah maju. Mengutip kata seorang Bapak Republik yakni “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu pakaian dan makanan dikurangi.”

Begitu juga dalam sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengingatkan bahwasanya keadilan rakyat harus dilindungi oleh kaum perempuan dan laki-laki. Tidak boleh ada diskriminasi, pengkotakan atau pengkelasan dalam masyarakat apalagi berdasarkan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki. Semuanya dianggap sebagai entitas yang sama dan sejatinya diperlakukan adil. keadilan dalam ruang politik, ekonomi, dan sosial masyarakat.

Dengan ini kampus maupun kehidupan sosial harus melahirkan Cut Nyak Dien-Cut Nyak Dien baru dalam langkah pendidikan sebagai akumulasi gagasan seorang perempuan yang hendak berselancar di dunia politik negara. Perempuan harus memberi angin segar bagi seluruh perempuan lain di Indonesia dan manca negara.

*) Mahasiswa Universitas Islam Jember Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Exit mobile version