Jakarta, Deras.id – Memasuki bulan puasa Ramadan tentu bagi umat Islam yang memanuhi syarat wajib menjalankan ibadah tesebut. Ternyata penetapan hukum puasa tidak bermakna wajib saja. Kira-kira, bagaimana hasil istmbatil hukmi para ulama pada kasus puasa?
Madzhab Maliki, Asy-Syafi’i dan Hambali bersepakat bahwa dilihat dari segi hukumnya puasa itu terbagi menjadi empat macam. Pertama: puasa yang diwajibkan, di antaranya adalah puasa bulan Ramadan puasa kafarat, dan puasa nadzar. Kedua: puasa yang disunnahkan. Ketiga: puasa yang diharamkan. Keempat: puasa yang dimakruhkan.
Adapun menurut Madzhab Hanafi, puasa itu banyak macam-macamnya sebagaimana akan kami uraikan pada penjelasan berikut ini. Dalam Madzhab Hanafi terdapat perbedaan pendapat mengenai puasa nadzar, sebagian mereka mengatakan bahwa pelaksanaan puasa nadzar itu diwajibkan bukan difardhukan (sebagaimana diketahui bahwa hukum wajib menurut madzhab ini bermakna sunnah muakkad bagi madzhab lainnya). Sedangkan sebagian lainnya mengatakan bahwa pelaksanaan puasa yang dinadzarkan hukumnya wajib.
Sedangkan pendapat yang terakhir inilah pendapat yang paling diunggulkan dalam madzhab ini, sebagaimana juga menjadi pendapat dari para ulama madzhab lainnya. Menurut pendapat yang pertama/ puasa itu terbagi menjadi delapan. Pertama: puasa fardhu muayan, misalnya puasa bulan Ramadan secara ada’an (tepat pada waktunya). Kedua: puasa fardhu ghairu muayan/ misalnya puasa Ramadan yang diqadha (tidak pada bulan Ramadan). Maka apabila seseorang tidak berpuasa satu hari atau lebih pada bulan Ramadan, maka dia harus menggantinya di luar bulan Ramadan, namun waktunya tidak ditentukan secara khusus kapan harus menggantinya.
Begitu juga dengan puasa kafarat, tidak ada waktu yang tertentu untuk melakukannya. Ketiga: puasa wajib muayan, misalnya puasa nadzar yang ditentukan waktunya. Keempat: puasa wajib gairu muayan, misalnya bernadzar untuk melakukan puasa namun tidak ditentukan waktunya, maka puasa itu wajib dilaksanakan meskipun waktunya tidak tertentu kapan harus dilaksanakan. Kelima: puasa nafilah. Keenam: puasa sunnah. Ketujuh: puasa yang dianjurkan. Kedelapan: puasa yang dimakruhkan, baik makruh tanzih ataupun makruh tahrim.
Adapun menurut pendapat yang kedua, puasa itu terbagi menjadi tujuh saja. Pertama: puasa fardhu muayan, yaitu puasa yang difardhukan pada waktu tertentu, misalnya puasa Ramadan secara ada’an dan nadzar yang ditentukan waktunya. Kedua: puasa fardhu ghairu muayan: yaitu puasa yang difardhukan namun tidak pada waktu tertentu, misalnya puasa Ramadan secara qadha dan juga nadzar yang tidak ditentukan waktunya. Ketiga: puasa waiib, yaitu puasa sunnah yang sudah dimulai pelaksanaannya, misalnya ada seseorang hendak melakukan puasa sunnah di hari Kamis, lalu di pagi harinya dia memulai puasa tersebut, maka dia diwajibkan untuk menyempurnakan puasa itu hingga matahari terbenam.
Jika dia berbuka sebelum waktunya maka dia telah melanggar kewajiban dan harus mengqadha puasanya itu, meskipun puasa itu adalah puasa sunnah. Hukum yang sama juga berlaku untuk puasa i’tikaf yang tidak dinadzarkan. Keempat: puasa yang diharamkan. Kelima: puasa yang disunnahkan. Keenam: puasa nafilah. Ketujuh: puasa yang dimakruhkan.
Penulis: M.FSA I Editor: Apr