Koruptor tak dihukum mati, korupsi akan terus terjadi. Adagium ini sangat pantas disematkan bagi negara Indonesia karena sangat lemah dalam memberantas korupsi. Runtuhnya kekuasaan Soeharto nyatanya tak berdampak pada perilaku koruptif yang terus berkembang pasca reformasi.
Pasca Reformasi 21 Mei 1998, korupsi semakin mengalir ke berbagai sendi pemerintahan pusat dan daerah, instansi, hingga ke berbagai partai politik. Akibatnya kasus korupsi sulit terungkap, karena disinyalir melibatkan elit pejabat. Misalnya, korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi yang paling ramai dibicarakan dan terbesar pasca reformasi.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 yang menyebutkan kerugian negara dari skandal BLBI mencapai Rp 138,4 triliun. Hingga kini, kasus yang melibatkan sejumlah petinggi negara dan konglomerat perbankan ini belum jelas titik akhirnya.
Baru-baru ini, dugaan korupsi dalam penyediaan Infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) yang menjerat Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny Plate menjadi daftar panjang dari kasus korupsi yang menimpa Negeri ini. Johnny Plate beserta 5 (lima) orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 8 triliun tersebut.
Presiden Joko Widodo turut menegaskan bahwa komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi tidak pernah akan surut. Menurutnya, upaya pencegahan juga terus dilakukan, salah satunya dengan membangun sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel.
“Aparat penegak hukum telah melakukan penindakan tegas terhadap sejumlah kasus mega korupsi seperti kasus Asabri dan Jiwasraya. Hal serupa juga akan dilakukan untuk kasus-kasus yang lainnya,” ujar Presiden dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa (07 Februari 2023).
Penindakan kasus korupsi
Korupsi memang tak tersentralisir, tapi justru terdesentralisir. Kekuasaan yang tak lagi dipegang oleh satu orang menjadi kesempatan untuk saling membagi keuntungan. Korupsi sulit dimusnahkan karena tindakan haram itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Mulai dari aparat penegak hukum, pejabat, hingga masyarakat sipil.
Kasus korupsi di Indonesia tergolong sangat tinggi. Berdasarkan data dari ICW, sepanjang tahun 2022 terdapat 579 kasus korupsi yang telah ditangani oleh penyidik. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 8,63% dibandingkan tahun sebelumnya (2021) yang sebanyak 533 kasus.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi lembaga penegak hukum yang paling banyak dengan 405 kasus korupsi pada 2022. Sedangkan sebanyak 138 kasus korupsi ditangani oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sementara, hanya 36 kasus yang ditangani oleh KPK. Adapun, korupsi paling banyak terjadi di sektor desa pada 2022, yakni 155 kasus. Jumlah itu setara dengan 26,77 persen dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022.
Tingginya kasus korupsi di tahun-tahun 2020 – 2022 tentu sangat ironis, sebab di masa pandemi covid-19 pada waktu itu banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan hingga banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan.
Kasus Korupsi di Era SBY dan Jokowi
Melihat dari kasus pejabat yang sebelumnya tersandung korupsi, seakan tak ada efek jera bagi pejabat pemerintah untuk menahan hawa nafsu korupsi. Justru sebaliknya, tidak ada penyesalan dari para pelaku korupsi.
Selama dua periode kepemimpinan kedua presiden, baik di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Presiden Jokowi, kasus korupsi terus berlanjut. Analis deras.id merangkum sejumlah kasus korupsi oleh pejabat dari masa kepemimpinan kedua orang nomor satu di Indonesia itu.
Selama pemerintahan SBY, terdapat empat kasus korupsi yang terungkap, Pertama, Siti Fadillah ditetapkan tersangka oleh KPK pada tahun 2014. Siti Fadilah divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan karena terbukti penyalahgunaan kewenangan. Dia didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,1 miliar terkait kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) pada 2005 dan 2007.
Kedua, Mallarangeng merupakan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II periode 2009 – 2014 lalu. Pada Desember 2012, ia menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang. Andi dinyatakan bersalah karena memperkaya diri sendiri senilai Rp2 miliar dan 550.000 dollar AS untuk memperkaya korporasi. Atas perbuatan tersebut, Andi divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Ketiga, Suryadharma Ali merupakan Menteri Agama era Kabinet Indonesia Bersatu jilid II periode 2009-2014. Dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Kasus Suryadharma pertama kali diusut Mei 2014 sebelum akhirnya pada Juli 2015 KPK menetapkan tersangka dana operasional menteri di Kemenag.
Keempat, Jero Wacik Pada tahun 2016 divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 5,073 miliar. Dia terbukti bersalah menyalahgunakan dana operasional selama menjabat sebagai Menteri Kebudayaan Pariwisata serta Menteri ESDM.
Selama pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat lima kasus korupsi yang berhasil terungkap. Pertama, Menteri Sosial Kabinet Kerja, Idrus Marham ditetapkan tersangka KPK pada Agustus 2018. Dia jadi tersangka kasus suap proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Idrus dijatuhi vonis 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.
Kedua, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) pada Kabinet Kerja Jokowi 2014-2019, Imam Nahrawi ditetapkan tersangka kasus suap terkait pengurusan dana hibah dan gratifikasi dari sejumlah pihak tahun 2018. Imam dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 18.154.230.882. Imam bersama sang asisten pribadi, Miftahul Ulum terbukti menerima suap Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.
Ketiga, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terjerat kasus korupsi dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster pada November 2020. Edhy menerima uang suap Rp3,4 miliar dan 100.000 dollar AS dari pihak PT Aero Citra Kargo. Atas perbuatannya, Edhy dijatuhi vonis 5 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia juga harus membayar uang pengganti Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS subsider 2 tahun penjara.
Keempat, Menteri Sosial (Mensos) Kabinet Indonesia Maju 2019-2024, Juliari Batubara juga ditangkap KPK. Sebelum ditetapkan tersangka pada 6 Desember 2020 silam, Juliari menyerahkan diri ke KPK usai dua pegawainya ditangkap dan ditetapkan tersangka. Ia terbukti bersalah karena menerima uang suap pengadaan bansos Covid-19 sebesar Rp 32,482 miliar. Juliari kemudian dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021.
Kelima, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung BAKTI Kominfo tahun 2020-2022. Dia jadi tersangka setelah 3 kali diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Dalam kasus korupsi yang dilakukan Johnny G Plate bersama 5 tersangka lain, negara menanggung kerugian sampai Rp8 triliun.
Motif Dibalik Terjadinya Korupsi
Para pelaku korupsi mengelak dengan berbagai macam motif yang melatarbelakangi kejahatan yang dilakukannya. Dalam buku Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui Untuk Mencegah yang ditulis oleh Surachmin, dan Suhandi C (2011), dijelaskan latar belakang terjadinya tindak pidana korupsi.
Teori korupsi ala Jack Bologne menyebut ada faktor korupsi disebabkan oleh keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs) dan pengungkapan (expose). Apabila mengacu pada teori diatas, memang tidak dipungkiri lagi jika beberapa faktor penyebab seseorang melakukan korupsi tidak lepas dari jabatan atau kekuasaan, kebutuhan (gengsi), keserakahan dan kesempatan.
Banyaknya kasus korupsi yang menjerat para pejabat negara atau pemerintahan adalah bukti konkrit jika kekuasaan menjadi salah satu faktor penyebab korupsi, jika seseorang tidak mampu mengendalikan kekuasaan yang dimiliki secara amanah dan bertanggung jawab.
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
IPAK merupakan bentuk penilaian untuk mengukur tingkat permisivitas (pandangan) masyarakat terhadap perilaku anti korupsi yang mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal penyuapan (bribery), gratifikasi (graft/gratuity), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism), dan sembilan nilai antikorupsi. IPAK memiliki rentang nilai 0–5. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), IPAK pada tahun 2022 mengalami peningkatan sebesar 0,05 dari 3,88 menjadi 3,93. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa masyarakat mulai aware atau peduli akan perilaku antikorupsi. Meskipun data capaian tersebut masih belum memenuhi target dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dicanangkan oleh Pemerintah.
Akan tetapi, hal ini sudah menunjukkan signal positif karena masyarakat sudah teredukasi untuk Say No To Corruption. Hal ini perlu diimbangi dengan tindak tegas terhadap para pelaku koruptor oleh pemerintah, agar korupsi tidak menjadi budaya di Negeri ini.
Oleh karena itu, budaya antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini. Proses pendidikan karakter pada usia dini adalah upaya yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai luhur karena itu akan lebih mudah melekat dan menjadi budaya di masa yang akan datang. Sehingga, kedepan tidak ada lagi yang mengatakan bahwa “korupsi” telah membudaya di Negeri tercinta ini.
Penulis: Hvd l Editor: Uud