Infrastruktur jalan tengah menjadi sorotan hangat di media massa usai Presiden Joko Widodo meninjau kerusakan jalan di Provinsi Lampung pada Jumat (5/5/2023). Pembangunan infrastruktur jalan merupakan aspek terpenting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pemerintah pusat masih menjadikan infrastruktur masih menjadi agenda utama pemerintah. Namun, hingga saat ini, masih terdapat ketimpangan infrastruktur pembangunan di setiap provinsi.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2023 disebutkan bahwa pembangunan infrastruktur diharapkan bisa menjadi alat untuk mendorong transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Namun, dalam merealisasikan agenda tersebut perlu sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah. Sebab, pembangunan infrastruktur jalan memiliki kewenangan masing-masing di setiap daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Kerusakan infrastruktur jalan di Lampung dan di beberapa daerah disebabkan oleh tidak adanya langkah serius pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas pembangunan. Ketika keadaan infrastruktur di sebuah daerah lemah, aktivitas perekonomian berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat mahal berimplikasi pada rendahnya daya minat perusahaan karena biaya yang relatif tinggi. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antar daerah.
Infrastruktur jalan masih terpusat di Jawa
Salah satu tantangan utama pembangunan Indonesia saat ini adalah mengatasi persoalan ketimpangan yang tidak hanya terjadi dalam dimensi individu atau rumah tangga, tetapi juga wilayah. Pemerintah mengakui Kesenjangan pembangunan infrastruktur antara Jawa dan Luar Jawa yang masih cukup tinggi.
“Kita masih tertinggal di bidang infrastruktur. Mungkin sudah banyak yang menikmati fasilitas mobilitas lewat jalan-jalan tol cepat. Tapi itu baru beberapa contoh dari pencapaian infrastruktur. Kita gap infrastrukturnya masih jauh, terutama di luar Jawa, seluruh pulau dari Sumatera hingga Papua,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, Rabu (19/8/2020).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2021, Indonesia tercatat sudah memiliki 64 ruas jalan tol dengan total ukuran panjang 2.435,53 kilometer. Data tersebut menunjukkan, hanya 5 pulau yang memiliki konstruksi jalan tol yakni Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Kalimantan. Pulau Jawa merupakan daerah yang memiliki ruas jalan tol paling banyak bila dibandingkan dengan pulau lainnya, yakni 50 ruas jalan tol dengan total panjang 1.607,86 kilometer.
Sebanyak 50 ruas jalan tol tersebut terbagi atas 21 ruas tol di Jabodetabek (298,71 kilometer), 20 ruas Tol Trans-Jawa (1.056,38 kilometer) dan 9 ruas tol lainnya berada di luar Tol Trans-Jawa (252,76 kilometer). Ruas tol yang paling panjang di Pulau Jawa adalah Tol Cikampek-Palimanan (Cipali) dengan panjang 116,75 kilometer. Tol ini telah beroperasi sejak 13 Juni 2015 dan dikelola oleh PT Lintas Marga Sedaya.
Sementara itu, di Pulau Sumatera terdapat 9 ruas jalan tol dengan total panjang mencapai 672,7 kilometer. Ruas Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang- Ayu Agung merupakan ruas tol terpanjang di Pulau Sumatera dengan ukuran 189,40 kilometer. Selanjutnya, di Pulau Sulawesi baru ada tiga ruas jalan tol masing-masing Tol Ujung Pandang Seksi 1-3, Makassar Seksi IV dan Manado Bitung.
Total panjang jalan tol di Sulawesi adalah 48,03 kilometer. Di Pulau Bali, hanya terdapat satu ruas jalan tol yakni Tol Bali Mandara, yang memiliki panjang 10,07 kilometer dan telah beroperasi sejak tahun 2013. Sedangkan di Pulau Kalimantan, hingga saat ini masih memiliki satu ruas yakni jalan Tol Balikpapan-Samarinda. Meski demikian, ruas tol yang dikelola oleh PT Jasamarga Balikpapan-Samarinda ini memiliki panjang jalan hingga 97,27 kilometer.
Ketimpangan pembangunan diakibatkan oleh belum meratanya ketersediaan infrastruktur jalan, terutama antara bagian barat Indonesia yang telah didominasi oleh perkotaan yang bercirikan metropolitan dengan bagian timur Indonesia yang cenderung masih didominasi oleh kawasan perdesaan.
Lemahnya pengawasan DPR
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mempertanyakan peran para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlihat diam dan tidak menyampaikan aspirasi masyarakat setempat terhadap pemerintah daerah. Terlebih dalam kasus yang terjadi di Lampung, membuat Presiden Jokowi turun tangan dan mengambil alih perbaikannya.
Menurutnya, selama ini para anggota DPR tutup mata ketika jalan di daerahnya dibiarkan rusak. “Padahal kan DPR ada reses ke daerah. Seharusnya mereka tahu daerah-daerah mana yang jalannya rusak,” kata Trubus, sabtu (6/5/2023).
Jokowi secara terbuka menyatakan pemerintah pusat bisa menangani langsung perbaikan jalan rusak yang ramai dikeluhkan warga tersebut. Pihaknya sedang mendata jalan kabupaten, kota, dan provinsi yang rusak parah karena anggaran yang ada di daerah tersebut tidak banyak diarahkan kepada infrastruktur. Padahal, kata Jokowi, perbaikan jalan rusak sangatlah penting
“Secepat-cepatnya dimulai, yang kira-kira provinsi tidak memiliki kemampuan, kabupaten tidak memiliki kemampuan, ya akan diambil alih oleh Kementerian PU, utamanya yang jalannya rusak parah,” kata Jokowi usai meninjau Pasar Tradisional di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Lampung.
Trubus pun menilai keputusan Jokowi itu bukan langkah yang tepat. Bahkan, berpotensi meninggalkan legacy tidak baik. Menurutnya, dengan pemerintah pusat mengambil alih perbaikan jalan daerah, pemerintah setempat berpotensi tidak lagi menganggarkan dana untuk infrastruktur jalan.
Dampak ketimpangan infrastruktur
Presiden Jokowi menekankan program pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari implementasi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat. Tak tanggung-tanggung, pemerintah melalui Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN) mengucurkan anggaran sangat besar.
Pemerintah telah menganggarkan biaya pembangunan infrastruktur tahun ini mencapai Rp 392,1 triliun atau naik 7,18 persen dari anggaran tahun sebelumnya. Meski demikian, ketimpangan rasio ekonomi di setiap provinsi sangat signifikan.
Hal itu dibuktikan dengan hasil data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut, perekonomian Indonesia menurut besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp5,09 kuadriliun pada kuartal III 2022. Dari nilai tersebut, sebesar 56,3 persen ditopang dari wilayah Jawa. Kemudian, wilayah Sumatera berkontribusi terhadap perekonomian sebesar 22 persen Kalimantan 9,42 persen, Sulawesi 7,11 persen, Papua 2,74 persen, serta wilayah Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,43 persen.
Produk domestik regional bruto (PDRB) Sulawesi mencatat pertumbuhan tertinggi pada kuartal III 2022, yakni sebesar 8,24 persen (year on year/yoy). Diikuti Maluku dan Papua tumbuh 7,51 persen (yoy), Maluku dan Nusa Tenggara tumbuh sebesar 6,69 persen (yoy). Setelahnya ada Jawa dengan pertumbuhan PDRB sebesar 5,76% (yoy), Kalimantan tumbuh 5,67 persen(yoy), serta wilayah Sumatera tumbuh 4,71 persen (yoy).
Perbedaan PDB di setiap provinsi yang sangat signifikan tersebut perlu diatasi oleh pemerintah dengan melakukan pemerataan infrastruktur pembangunan. Tak hanya tersentralisasi di pulau jawa, namun juga terdesentralisasi hingga ke berbagai daerah.
Peneliti Universitas Diponegoro Tatan Sukwika dalam penelitiannya menyebut ,strategi yang dilakukan untuk mengatasi ketimpangan adalah perlunya mengakselerasi program-program pemerataan pembangunan secara proporsional terutama di wilayah yang dianggap masih tertinggal sehingga proses pembangunan infrastruktur tidak bias wilayah yang sudah maju.
Infrastruktur jalan akan merangsang tumbuhnya wilayah baru dan menggerakan ekonomi di sekitar daerah yang bersangkutan. Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur dan memastikan pembangunan yang dilakukan dapat dimanfaatkan oleh setiap masyarakat. Infrastruktur jalan yang baik menciptakan akses yang lebih besar kepada sumberdaya produksi, pasar maupun modal.
Penulis: Uud | Editor: Arno