Jakarta, Deras,id – Indonesia kembali mencatatkan deflasi untuk kelima kalinya berturut-turut pada bulan September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa penurunan harga barang dan jasa terjadi secara konsisten dalam lima bulan terakhir, mengindikasikan lemahnya permintaan domestik yang berkepanjangan.
Situasi ini semakin memperkuat kekhawatiran mengenai kondisi perekonomian nasional yang terancam melambat lebih dalam.
Deflasi, yang biasanya terjadi ketika harga-harga menurun akibat melemahnya daya beli masyarakat, telah menjadi tren berkelanjutan di Indonesia sejak Mei 2024.
Sektor-sektor seperti pangan, energi, dan transportasi mengalami penurunan harga paling signifikan, meski berbagai upaya dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Penyebab Deflasi yang Berlarut-Larut
Menurut para ahli ekonomi, ada beberapa faktor yang memicu deflasi berkelanjutan ini. Penurunan daya beli masyarakat menjadi penyebab utama, yang didorong oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, perlambatan ekspor, dan tingkat pengangguran yang tinggi.
Dampak dari pandemi COVID-19 yang berkepanjangan juga masih dirasakan oleh banyak sektor, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM) yang berjuang untuk pulih.
Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Budi Santoso, menyatakan bahwa fenomena deflasi yang terus terjadi ini merupakan sinyal peringatan serius bagi perekonomian Indonesia.
“Deflasi mencerminkan adanya masalah mendasar dalam struktur ekonomi kita, di mana produksi menurun, daya beli masyarakat lemah, dan investasi enggan masuk. Ini bisa menjerumuskan kita ke dalam spiral deflasi yang lebih berbahaya jika tidak segera ditangani,” ujarnya.
Dampak pada Dunia Usaha dan Masyarakat
Pelaku usaha mulai merasakan dampak dari deflasi ini. Penurunan harga barang dan jasa, meskipun di satu sisi menguntungkan konsumen, membuat banyak perusahaan kesulitan menjaga margin keuntungan.
Beberapa sektor, seperti manufaktur, otomotif, dan properti, melaporkan penurunan penjualan yang signifikan selama periode ini. Penundaan investasi dan produksi menjadi langkah yang tak terhindarkan bagi banyak perusahaan yang terjebak dalam kondisi ekonomi yang lesu.
Sementara itu, masyarakat tampak lebih berhati-hati dalam melakukan konsumsi. Meski harga-harga barang turun, ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat lebih memilih untuk menahan pengeluaran dan meningkatkan tabungan. Hal ini semakin memperburuk permintaan agregat dan memperpanjang periode deflasi.
Tindakan Pemerintah
Merespons kondisi ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia sedang mempertimbangkan berbagai langkah untuk menstabilkan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pihaknya sedang mempercepat implementasi program stimulus ekonomi guna meningkatkan permintaan domestik, termasuk melalui bantuan sosial dan dukungan kepada UMKM.
Selain itu, Bank Indonesia diperkirakan akan menurunkan suku bunga dalam beberapa bulan ke depan untuk mendorong kredit dan investasi.
“Kami harus berhati-hati dalam menjaga keseimbangan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi jelas bahwa saat ini kita perlu lebih fokus pada pemulihan permintaan,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
Deflasi selama lima bulan berturut-turut menjadi tantangan serius bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah dan otoritas moneter kini berada di bawah tekanan untuk segera mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengatasi masalah ini dan mencegah dampak negatif yang lebih luas terhadap stabilitas ekonomi nasional. Di tengah ketidakpastian global, pemulihan ekonomi Indonesia bergantung pada seberapa cepat dan efektif kebijakan tersebut diimplementasikan.
Editor : Dinda