Jakarta, Deras.id – Bersedekah menjadi amalan yang dianjurkan dalam Islam. Jika dilakukan maka akan dijanjikan pahala yang besar. Akan tetapi bagaimana jika orang tersebut memberikan sedekah namun dirinya masih memiliki utang?
Seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran, Allah Swt berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali ‘Imran, [3]: 92).
Memang Allah Swt sudah menjanjikan mengenai besarnya pahala sedekah, karena proses bersedekah dan mengikhlaskan harta yang dicintai bukanlah hal yang mudah. Sehingga Allah menjanjikan pahala yang besar. Dalam ayat yang lain, Allah Swt bahkan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang bersedekah
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipat gandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapatkan pahala yang mulia.” (QS Al-Hadid, [57]: 18).
Namun bersedekah ketika memiliki uutang, di mana orang tersebut tidak mampu membayar hutang maka hukumnya haram, seperti yang dijelaskan Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa bersedekah bagi orang yang punya utang bukanlah perbuatan yang dianjurkan dan termasuk menyalahi sunah.
وَمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْلَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَتَصَدَّقَ حَتَّى يُؤَدِّي مَا عَلَيْهِ. قُلْتُ اَلْأَصَحُّ تَحْرِيْمُ صَدَقَتِهِ بِمَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِنَفَقَةِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ أَوْ لِدَيْنٍ لَا يَرْجُو لَهُ وَفَاءً
Artinya: “Barangsiapa yang memiliki utang, atau (tidak memiliki utang namun) berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia melunasi tanggungan yang wajib baginya”.
Saya berkata: Menurut pendapat yang lebih sahih, haram hukumnya menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib ia nafkahi, atau (harta tersebut ia butuhkan) untuk membayar utang yang tidak dapat dilunasi (seandainya ia bersedekah).” (Imam Nawawi, Minhajut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], halaman 95).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, juz VI, halaman 174; Imam al-Qulyubi dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi; Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj; Syekh Muhammad az-Zuhri al-Ghumari dalam kitab as-Sirajul Wahhaj ‘ala Matnil Minhaj; Imam Abu Zara’ah al-Iraqi dalam kitab Tahrirul Fatawa; dan beberapa ulama mazhab Syafi’iyah lainnya.
Dalam beberapa pendapat yang dapat disimpulkan, jika orang yang memiliki hutang dan tidak bisa melunasinya kecuali dengan uang yang sedang dirinya miliki maka tidak diperbolehkan untuk bersedekah. Jika dia sedang membutuhkan uang tersebut, baik untuk dirinya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Berbeda ketika dirinya memiliki pemasukan lain, sehingga masih bisa membayar utang dengan jalur lain maka diperbolehkan. Semisal jika dirinya hanya memiliki uang Rp200 Ribu, sedangkan dirinya memiliki hutang dengan sejumlah uang Rp200 Ribu tersebut maka tidak diperbolehkan untuk bersedekah. Namun jika dirinya masih punya penghasilan dari jalur lain dan masih memiliki harapan untuk melunasi hutang tersebut maka diperbolehkan. Dengan dasar tidak melebihi tempo pembayaran hutang. Selain itu juga tidak ada tagihan dari orang yang memberi hutang. Namun jika sudah ada tagihan dari pemberi hutang maka harus menyegerakan pelunasan hutang.
وأما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون فإن رجاله وفاء من جهة أخرى ظاهرة فلا بأس بالتصدق به إلا إن حصل بذلك تأخير وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة أو غيرها فالوجه وجوب المبادرة إلى إيفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه إليه دفعه في دينه
Artinya: “Adapun kewajiban mendahulukan membayar utang adalah karena merupakan tanggungan wajib, maka harus didahulukan dari yang sunah (sedekah). Sedangkan jika utangnya bisa lunas melalui harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali jika berakibat pada diakhirkannya pembayaran. Sedangkan ia wajib untuk segera melunasi utang tersebut karena adanya tagihan atau hal lainnya, maka dalam keadaan ini wajib untuk segera melunasi utangnya, dan haram bersedekah dengan harta yang akan digunakan untuk membayar utang.” (Syekh Khatib as-Sirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz III, halaman 122).
Penulis: Una l Editor: Ifta