Jakarta, Deras.id – Din Syamsuddin menyarakan agar Muhammadiyah menolak tawaran pemberian izin pengelolaan tambang yang digagas pemerintah. Mantan ketua umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah itu menilai pemberian izin lebih banyak negatifnya bagi Muhammadiyah dan masyarakat.
“Saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil atau Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat daripada maslahat-nya,” ucap Din melalui keterangan tertulis, Selasa (4/6/2024).
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 30 mei 2024, pemerintah memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan wilayah pertambangan.
Menurut Din, pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka. Namun, yang lebih menonjol adalah kesan untuk mengambil hati.
Sejumlah hal yang menjadi sorotan Din yaitu pertama, pemberian konsesi tambang batu bara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua ormas Islam tersebut, disbanding konsesi kepada perusahan-perusahaan besar milik segelintir penguasa ekonomi.
Kedua, pemberian tambang batu bara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah satu penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.
Ketiga, pemberian izin tambang “secara cuma-cuma” berpotensi membawa jebakan. Sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah sistem zaman kolonial berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Indische Mijnwet yang dilanggengkan dengan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
Sejauh ini, NU sudah mengajukan izin pengelolaan tambang di Kalimantan Timur. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan, pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan dari pemerintah merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tujuan mulia dari kebijakan itu sungguh-sungguh tercapai.
“Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” ujar Gus Yahya di Jakarta, Senin (3/5/2024).
Sementara PP Muhammadiyah memang belum bersikap. Ketua PP Muhammadiyah Saad Ibrahim mengatakan pengelolaan tambang merupakan hal baru bagi Muhammadiyah. Karena itu dia memastikan Muhammadiyah tak akan asal menerima tawaran pemerintah. Selain menimbang sisi positif dan negatif tawaran tersebut, Muhammadiyah juga perlu mengukur kemampuan sumber daya yang dimiliki.
“Ini tentu akan kami godok lebih dulu secara baik dan sebagainya. Kami bicara soal segi positif segi negatif, kemudian juga kemampuan dalam bidang itu. Saya kira ini masih akan kami bahas,” ujar Ibrahim di Gedung PP Muhammadiyah, Selasa (4/6/2024).
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil menilai pemberikan izin tambang kepada ormas sekali lagi adalah bagian rencana jangka panjang untuk melanggengkan kekuasaan, sekaligus mempertahankan status quo pengusahaan ekonomi oleh segelintir orang.
Dalam salah satu cuitan di akun X, aktivis dan jurnalis Dandhy Laksono menyebut pemberian izin tambang kepada ormas adalah satu dari empat hal yang akan mengamankan kekuasaan rezim ke depan. Tiga hal lain adalah perpanjangan masa aktif polisi dalam RUU Kepolisian, diperbolehkannya TNI aktif menduduki jabatan di Kementerian dan Lembaga dalam RUU TNI serta perpanjangan masa jabatan kades selama 16 tahun.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur bahkan lebih jauh bahkan menyebut legalisasi pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan sebagai bagian rencana kooptasi penguasa yang sangat bisa mematikan independensi ormas.
“Ini tentu bisa jadi pintu masuk politisasi dalam ormas itu. Membuat ormas tertentu lebih besar porsinya dibandingkan ormas lain, ini bagian dari ancaman independensi ormas,” ujar Isnur.
Aturan ini dinilai Isnur hanya akan mengancam nalar kritis ormas keagamaan terhadap kekuasaan. Ormas keagamaan perlu kritis agar tidak menjadi sekadar mesin penjaga pemerintah dalam menelurkan berbagai aturan bagi masyarakat.
“Fungsi negara juga menjadi bias, karena memantik konflik antarwarga secara horizontal. Bagaimana ormas keagamaan malah dapat konsesi membahayakan bagi lingkungan dan akhirnya berhadapan dengan warga,” ungkap Isnur.