Jakarta, Deras.Id – Wasiat secara bahasa diungkapkan untuk dua makna, dikatakan: “Saya berwasiat kepada si fulan, dengan harta yang saya berikan untuknya, saya berwasiat kepadanya untuk berbelas kasih terhadap anaknya dan saya berwasiat kepadanya dengan shalat; saya perintahkan shalat kepadanya. Dikatakan: “Saya wasiatkan sesuatu dengan sesuatu” artinya “Saya sambungkan sesuatu dengan sesuatu”, karena seolah-olah pemberi wasiat ketika berwasiat dengan harta; ia menyambungkan apa yang setelah kematian dengan yang sebelumnya untuk melakukan sesuatu.
Adapun maknanya secara istilah menurut Fuqaha’, terdapat penjelasannya secara terperinci dalam beberapa madzhab.
Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan kepada apa yang terjadi setelah kematian dengan cara tabarru’ (sedekah/pemberian harta). Kata “pemilikan” mencakup akad-akad tentang perpindahan hak milik seperti jual beli, hibah dan lain sebagainya. ungkapan “yang disandarkan kepada apa yang terjadi setelah kematian”, dengan pengertian ini semua akad tidak termasuk kecuali wasiat. “dengan cara tabarru’ (sedekah/pemberian harta)” berarti tidak termasuk pelunasan utang kepada orang lain. Apabila seseorang bermaksud melunasi utang pada saat masih hidup kemudian meninggal dunia, maka pelunasan utang termasuk pemilikan harta setelah kematian. Dan terkadang dikatakan bahwa pelunasan utang tidak termasuk pemilikan, tetapi itu termasuk pemenuhan tanggung jawab dan tidak dianggap pemilikan jika demikian maka tidak perlu dibatasi pengertian dengan cara tabarru’ (Sedekah/sumbangan)”.
Tidak ada perbedaan bagi pemberi wasiat apakah memberikan sesuatu atau memberikan hak pemanfaatan. Tidak disyaratkan menyandarkan wasiat kepada kematian secara lafadzh, jika dikatakan: “Saya mewasiatkan dengan ini” dan tidak dikatakan “setelah kematianku” dianggap sah, meskipun tidak secara jelas mewasiatkan dengan ungkapan yang menunjukkan wasiat, seperti ucapan: “Untuk si fulan 1000 qirs dari sepertiga” ungkapan ini dianggap sebagai wasiat sekalipun tidak menyebutkan kematian, karena ungkapan “dari sepertiga” menunjukkan setelah kematian jika dikatakan: “Dari hartaku”, “dari setengah hartaku” atal) “seperempatnya” , tidak dianggap sah kecuali disebutkan oleh wasiat.
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa wasiat menurut pengertianfikih ialah suatu akad yang mewajibkan hak dari sepertiga harta yang ditetapkan setelah kematian atau mewajibkan pengganti setelahnya. Makna dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa akad wasiat mengakibatkan salah satu dari dua perkara:
Pertama, kepemilikan yang diwasiati, ia berhak mendapat sepertiga harta’aqid (pemberi wasiat) setelah kematiannya, dengan ketentuan, akad tidak tetap kecuali setelah kematian. Adapun sebelum kematian akad tersebut tidak dianggap tetap.
Kedua, pengganti dari pemberi wasiat dalam bertindak. Pemberi wasiat adakalanya mewasiatkan untuk mengangkat pengganti setelah kematiannya dan mewasiatkan dengan harta. Sebagian pengikut madzhab Maliki mendefinisikan wasiat sama seperti definisi madzhab Hanafi. Tidak menutup kemungkinan makna yang pertama meliputi makna mengangkat pengganti.
Ulama madzhab Asy-Syafi’i berpendapat bahwa wasiat adalah sedekah atau pemberian hak yang disandarkan kepada apa yang terjadi setelah kematian. Sama saja apakah disandarkannya secara lafadzh ataupun tidak, jika dikatakan: “saya berwasiat untuk Zaid dengan ini” maknanya menunjukkan setelah kematian.
Ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa wasiat ialah perintah untuk bertindak setelah kematian, seperti jika mewasiatkan kepada seseorang untuk menjaga anak-anaknya yang masih kecil, menikahkanputri-putrinya atau memisahkan sepertiga hartanya dan lain sebagainya. Hal ini merupakanpengertian wasiat dengan makna mengangkat pelaksana wasiat. Adapun pengertiannya dengan makna memberikan sebagian dari harta dapat diilustrasikan dalam ungkapan berikut; “Wasiat itu adalah sedekah/pemberian setelah kematian”.
Penulis: M.FSA I Editor: Apr