Pandemi Covid-19 saat itu sangat menggambarkan ketakutan, bagaimana tidak. Banyak nyawa yang melayang akibat pandemi ini. Dilansir dari covid19.go.id, kasus covid-19 di Indonesia yang telah terkonfirmasi sejak awal adanya pandemi sampai 26 Juni 2023 yaitu sebanyak 6.811.818 kasus.
Akhir-akhir ini, dunia kembali dihebohkan dengan adanya virus baru yang bernama Nipah (NiV). Nama virus ini diambil dari asal pertama kali ditemukan virus ini yaitu di dekat aliran sungai Nipah, Malaysia.
Dilansir dari kemkes.go.id, virus Nipah pertama kali teridentifikasi pada 1998-1999 di Malaysia. Virus Nipah yang teridentifikasi pada tahun 1999 telah menyebabkan penyakit pernapasan dan neurologis di peternakan babi di Semenanjung Malaysia, yang mengakibatkan 105 kematian manusia dan pembuangan sejuta ekor babi.
Awal merebaknya virus
Virus ini pertama teridentifikasi keberadaannya di Malaysia dan telah menyebabkan kematian pada manusia dan hewan ternak. Pesebaran virus ini memang tidak semasif Covid-19, semenjak kemunculannya di tahun 1998-1999.
Virus Nipah kemudian juga ditemukan diberbagai negara, menurut informasi yang ditulis oleh Dwi Handayani, SKM., M.Epid pada laman fkes.unusa.ac.id, dilaporkan bahwa virus Nipah telah ditemukan di beberapa negara, yakni Malaysia (1999), Singapura (1999), Bangladesh dan India (Sejak 2001-2021 terjadi sporadic), Filipina (2014), India di Kerala (2021), dan muncul kembali di Bangladesh (4 Januari – 13 Februari 2023), hingga bulan September 2023 ini dilaporkan outbreak di India, Kerala.
Berdasarkan hal ini, diketahui bahwa pesebaran virus ini berada dikawasan Asia, terlebih negara di Asia Tenggara. Kondisi ini tentu perlu diwaspadai oleh Indonesia, sebab adanya kemungkinan terjadi penularan virus ini bisa saja terjadi. Hal ini tentu tidak diharapkan apabila virus ini bisa menginfeksi masyarakat di Indonesia, jangan sampai seperti terdahulu pada masa Covid-19 terulang kembali karena kurang waspadanya pencegahan sejak dini.
Dilansir Reuters, lebih dari 700 orang, termasuk petugas kesehatan, telah dites untuk mendeteksi penyebaran virus. Pada wabah Nipah pertama di Kerala 2018, sebanyak 21 orang yang terinfeksi virus Nipah meninggal. Adapun wabah virus Nipah pada 2019 dan 2021 di Kerala, menewaskan dua orang.
World Healt Organization (WHO) mencatat, sejak 4 Januari hingga 13 Februari 2023 di Bangladesh, total ada 11 kasus konfirmasi virus Nipah dengan satu di antaranya probable. Infeksi virus Nipah di Asia Tengah ini berulang kali terjadi dan memiliki tingkat kematian kasus (CFR) hingga 73 persen.
Menanggapi kasus virus Nipah, melalui surat edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Nomor HK.02.02/C/4022/2023 tanggal 25 September 2023 Tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit Virus Nipah, pemerintah menyerukan kewaspadaan bagi Pemerintah Daerah, Fasilatas Kesehatan, Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Kantor Kesehatan Pelabuhan, dan para pemangku kepentingan terkait deteksi dini kasus penyakit virus Nipah.
Adanya edaran ini perlu diperhatikan dengan seksama, bagi seluruh instansi terkait dan terutama untuk masyarakat, agar proaktif dalam menjaga diri dan lingkungannya yaitu salah satunya mengetahui gejala-gejala yang diakibatkan oleh virus ini agar dapat diambil penanganan lebih cepat.
Gejala dan pencegahan
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari fkes.unusa.ac.id, virus Nipah tergolong dalam keluarga Henipavirus dan dapat menyerang manusia serta hewan, terutama kelelawar buah yang bertindak sebagai reservoir alaminya. Virus Nipah dapat menyebabkan berbagai gejala yang bervariasi mulai dari tanpa gejala, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ringan hingga berat dan dapat memicu infeksi otak yang fatal.
Pada umumnya rentang waktu munculnya setelah terinfeksi virus Nipah sekitar 4-14 hari, kondisi ini hampir mirip dengan Covid-19. Dilansir dari alodokter.com, gejala yang muncul setelah 4-14 hari terinfeksi virus ini yaitu demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, sulit bernafas, diare dan muntah.
Terkait pencegahan, sampai saat ini diketahui bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan infeksi virus ini. Berdasarkan informasi yang di lansir dari alodokter, penanganan yang ada lebih difokuskan untuk mengobati gejala, mencegah kekurangan cairan, dan beristirahat yang cukup.
Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, Zubairi Djoerban mengatakan obat khusus virus Nipah memang belum ada sehingga perlu bagi pemerintah untuk mendorong riset obat Nipah.
“Pemerintah perlu mendorong adanya riset untuk menemukan obat dari virus Nipah” ujarnya.
Meksipun saat ini belum terdapat laporan kasus infeksi virus Nipah di Indonesia, tapi kewaspadaan sangat diperlukan, keawasan masyarakat seperti menghindari kontak dengan hewan atau orang yang pernah berkunjung di tempat terjadinya wabah. Mengingat virus ini berasal dari hewan yang telah terinfeksi. Selain itu pemerintah juga perlu meningkatan pengawasan di area yang berpotensi menyebabkan terjadinya penularan, seperti di tempat transportasi umum (bandara, kapal laut, dan lainnya).
Tingkat resiko pesebaran
Letak geografis Indonesia yang berdekatan dengan negara yang telah terpapar virus ini, akan juga berpotensi terjadinya penularan di Indonesia. Pemerintah berupaya meningkatkan pengawasan terhadap orang (awak, personel, dan penumpang), alat angkut, barang bawaan, lingkungan, vektor, binatang pembawa penyakit di pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas negara, terutama yang berasal dari negara terjangkit.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuw meminta Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) untuk turut melakukan pemantauan, dalam upaya meminimalisir terjadinya penularan.
“Mengingat letak geografis Indonesia berdekatan dengan negara yang melaporkan wabah, sehingga kemungkinan risiko penyebaran dapat terjadi,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, Senin (25/9/2023).
Menyikapi hal ini, Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan jika risiko Nipah di Indonesia bisa menjadi besar karena keberadaan kelelawar buah yang membawa virus ini juga ada di Indonesia. Indonesia juga cenderung buta dengan situasi wabah, karena deteksi dan surveilans yang lemah.
Wabah Nipah berulang di Bangladesh dan di Kerala, India, menjadi sinyal pergeseran ruang hidup kelelawar buah yang semakin dekat ke lingkungan manusia. Kendati demikian, kata Dicky, potensi pandemi virus Nipah masih kecil terjadi.
“Tapi kalau kita membiarkan virus ini menginfeksi manusia lebih banyak, dia akan lebih efektif menginfeksi lebih cepat,” Ujarnya.
Lebih lanjut Dicky mengungkapkan jika virus Nipah yang ada saat ini telah mengalami mutasi, oleh karena itu kewaspadaan sangat perlu ditingkatkan. Salah satunya yaitu pemerintah perlu menerapkan mitigasi dengan pendekatan Satu Sehat, jangan sampai konsep ini hanya sekedar menjadi jargon semata.
“Harmonisasi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan yang betul-betul konkret ini yang masih belum ada,” kata Dicky.
Hal senada juga diungkapkan oleh epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane. Masdalina menyampaikan, kebijakan Satu Sehat harus ditingkatkan agar bukan terpaku pada tataran konsep saja dan selama ini, deteksi dini wabah di Indonesia masih tergolong lamban.
“Lebih memperkuat event dan community base surveillance, bukan hanya indicator base saja,” Ujar Masdalina.
Pandemi Covid-19 yang telah menghantui selama kurang lebih 3 tahun sangat cukup menjadi pembelajaran berharga bagi Indonesia, bagaimana seharusnya penangan dini yang perlu dilakukan dalam mengatasi pandemi. Mengaca dari kejadian sebelumnya, maka kesadaran diri sendiri (self aware) perlu ditanamankan, dan peran serta pemerintah dalam melakukan tindakan perlu dimasifkan sejak awal, dengan harapan tidak akan terjadi pandemi baru lagi di Negeri ini. Sebab, pandemi sangat berpengaruh terhadap berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: HvD | Editor: Uud