Wajah FIFA dan Kontroversi Piala Dunia Qatar

Ajang turnamen sepakbola bertajuk Piala Dunia ke-22 di Qatar kali ini terbilang istimewa. Banyak kontroversi yang terjadi jauh sebelum kick off digelar. Seperti kasus suap pemerintah Qatar agar terpilih sebagai tuan rumah piala dunia, didiskualifikasinya Rusia hingga larangan mengkonsumsi minuman keras dan mengenakan atribut LGBT bagi pemain dan suporter di tanah penghasil minyak dan gas bumi terbesar di dunia itu. Selain itu, megahnya venue Piala Dunia tahun ini diwarnai tudingan banyak pekerja yang meninggal dalam pembangunan stadion dikarenakan cuaca yang panas dan dipaksa bekerja melebihi batas wajar.

Inkonsitensi FIFA

Rusia berkali-kali mengajukan banding kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) FIFA. Namun, pengajuan tersebut ditolak dan negeri tirai besi itu resmi disanksi dengan larangan berlaga di berbagai turnamen resmi UEFA dan FIFA (dailymail, 2022). Netralitas FIFA sebagai organisasi sepakbola dunia pantas dipertanyakan. Pasalnya, beberapa negara yang juga pernah melakukan invasi ke negara lain masih bisa berlaga di Piala Dunia.

Pada tahun 1970, Israel masih bisa berlaga di Piala Dunia Mexico, padahal sebelumnya Korea Utara menolak memainkan Israel pada kualifikasi penyisihan grup Asia 1966 karena telah menginvasi Palestina. Intervensi militer Perancis tahun 1950 hingga 1970 terhadap Afrika Utara, China, dan Indonesia, juga tidak mengurungkan niat FIFA untuk mencoret nama Perancis di Piala Dunia. FIFA tetap melegitimasi rezim di negeri-negara itu di panggung dunia.

Akan tetapi, apa yang dilakukan FIFA terhadap Rusia juga pernah dialami oleh Jerman dan Jepang ketika perang dunia kedua yang berakhir pada tahun 1945. FIFA pun melarang kedua negara sekutu tersebut pada piala Dunia brazil tahun 1950. Perancis, Israel, Jerman, dan Jepang sama-sama melakukan Invasi, namun kebijakan FIFA berbeda atas negara-negara tersebut, terutama sanksi terhadap Israel yang telah menginvasi Palestina.

Argentina, ketika terpilih menjadi tuan rumah pada tahun 1978 juga menjadi salah satu keputusan yang sangat tidak masuk akal. Negara tersebut telah mengalami kudeta militer yang kejam, menampung apparat kejam Nazi dan dengan paksa menindas siapa pun yang menentang pemerintah. Namun, FIFA tetap memberikan Argentina menyelenggarakan piala dunia, melegitimasi rezim di panggung dunia melalui melalu pentas sepakbola.

LGBT dan FIFA Eurosentris

Sejak bergulirya Piala Dunia 2022, Qatar dengan tegas melarang pemain dan supporter menganakan atribut LGBT. FIFA pun menyetujui sikap tersebut dan memberikan sanksi berupa kartu kuning bagi pemain yang melanggar. Meski demikian, pemain dan supporter asal Eropa seperti Harry Kane dan Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser masih ngotot mengenakan atribut tersebut. Bahkan, Jerman, Inggris, dan Denmark mengancam keluar dari FIFA jika aturan tersebut masih diterapkan.

Intimidasi itu memaksa FIFA kehilangan indealismenya sebagai organisasi sepakbola internasional. Larangan atribut LGBT kandas, pemain dan supporter bebas mengibarkan bendera Pelangi dengan semboyan “one love” itu. Hal ini memberikan kesan bahwa keputusan FIFA bergantungan pada inisiatif dan arogansi sepakbola tim Eropa. Jargon “Respect/menghargai” yang sering digaungkan oleh sepakbola Eropa pada realitasnya tidak berlaku di negara-negara Asia.

Mestinya, jika tim-tim Eropa tulus menghormati adat dan budaya dari negara lain, mereka tidak sepatutnya memprotes atas sikap tuan rumah. Dalam pribahasa kita, dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Pijakan pemain Eropa tanpa atribut LGBT di tanah Qatar tidak akan menyakiti hati kaum LGBT, karena di Qatar tidak ada aktivitas komunitas bersimbol Pelangi itu. Saya lebih terkesan terhadap sikap bijak kiper Timnas Perancis Hugo Iloris yang kurang sepakat dengan keputusan Qatar, namun ia tetap menghormati nilai dan budaya Qatar.

Dibalik Megahnya Opening Ceremoney

Qatar tak tanggung-tanggung menggelontorkan dana senilai 200 miliar dollar AS atau setara dengan 3.1 ribu triliun untuk even sepakbola paling bergengsi itu. Ini merupakan pertama kalinya dana paling besar dalam sejarah penghelatan Piala Dunia. Negara dengan sistem monarki yang dipimin oleh Emir Qatar Tamim ingin menujukkan kepada dunia bahwa Qatar memang layak menjadi tuan rumah. Kendati demikian, Qatar masih tetap menuai kritik dan protes atas tuduhan ekpoloitasi pekerja migran untuk persiapan piala dunia.

Qatar sendiri telah membangun tujuh stadion untuk putaran Piala Dunia serta bandara baru, jalan, dan 100 hotel baru (bbc, 2022). Proyek tersebut telah menewaskan sebanyak 6.750 migran yang berasal dari India, Banglades, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka, sejak Qatar diberikan hak menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2010.

Jumlah angka kematian sebanyak 6.750 orang itu merupakan hasil dari laporan kedutaan dari lima negara tersebut, dimana mereka bekerja untuk pembangunan yang berhubungan dengan fasilitas Piala Dunia. 

Insiden tewasnya pekerja migran untuk Piala Dunia Qatar memicu kritik dari kelompok hak asasi manusia, seperti yang dilontarkan oleh sekretaris umum Amnesty International Salil Shetty, yang menyebut pekerja di Stadion Internasional Khalifa dipaksa untuk tinggal di bawah standar kelayakan, mahalnya biaya perekrutan, penunggakan gaji, serta penyitaan paspor (BBC).

“Pekerja di Stadion Internasional Khalifa dipaksa untuk tinggal pada akomodasi yang jorok, membayar biaya perekrutan yang sangat besar, gaji dipotong dan paspor disita,” kata Salil Shetty dilansir dari bbc, Sabtu (26/11/22).

Aksi protes juga dilakukan oleh suporter Bayern Munchen saat bertanding melawan Hertha Berlin awal November lalu. Mereka menuding Qatar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam persiapan even Piala Dunia. Mereka beraggapan bahwa seakan-akan Piala Dunia yang berdurasi 5.760 menit lebih penting daripada 15.000 nayawa manusia.

          Bayern Munchen saat bertanding melawan Hertha Berlin (foto: Twitter @iMiaSanMia)

“15.000 tewas selama 5760 menit sepak bola. Tidak tahu malu,” tulis fans Bayer Munchen pada spanduk mereka di dalam Sadion Berlin, Jerman (8/11/2022).

Jumlah angka kematian migran yang sangat signifikan tersebut merupakan hasil investigasi Amnesti Internasional yang diperoleh dari otoritas Qatar sendiri, dimana total kematian tersebuat berasal dari berbagai jenis pekerjaan di negara Qatar.

Penggiringan opini melalui kritik yang dilakukan oleh masyarakat Eropa terhadap Qatar memberikan kesan berlebihan. Seakan-akan negara Asia, khususnya di Timur Tengah tidak mampu menggelar panggung sepakbola paling spektakuler itu.

Terlepas dari banyaknya kontroversi yang sudah diulas, tak dipungkiri Qatar telah berhasil membuktikan dibalik banyaknya permasalahan, mereka tetap memberikan fasilitas yang sangat baik dan juga berkualitas untuk pemain, penonton, maupun delegasi yang terlibat menyukseskan Piala Dunia.

Penulis: Mas Uud | Editor: Reza

Exit mobile version