Selaku tuan rumah perhelatan G20 yang dilaksanakan di Bali pada bulan November 2022, Indonesia memiliki andil besar dalam kebijakan-kebijakan internasional terutama dalam bidang energi. Indonesia berhasil mempunggawai para Menteri energi negara-negara G20 untuk menyepakati Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (COMPACT) dan Bali Energy Transition Roadmap yang merupakan dokumen prinsip-prinsip dasar dalam mempercepat transisi energi.
Terlebih dulu jauh sebelum itu, Indonesia juga telah menandatangani perjanjian paris (Paris Agreement) pada 2016 yang merupakan kesepakatan berbagai negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global. Sebagai bukti komitmen, Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 29 persen hingga tahun 2030. Dengan berbagai kesepakatan Internasional yang telah disepakati mengindikasikan Indonesia dengan serius ingin menjadi bagian dalam transisi energi dunia yang mengarah pada energi bersih.
Posisi Indonesia saat ini menempati urutan kelima sebagai negara penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia, yakni mencapai 102,562 GtCO2. Dimana Energi fosil menjadi penyumbang emisi terbesar pada 2030 hingga mencapai 58 persen. Artinya penggunaan energi fossil masih mendominasi kebutuhan energi Indonesia baik berupa batu bara, gas bumi maupun minyak bumi.
Indonesia Surga Energi Fosil
Melihat kembali pasokan cadanagn energi dalam negeri, Indonesia saat ini masih memiliki cadangan batubara sebesar 38,84 miliar ton dengan rerata produksi 600 juta ton/tahun. Angka ini cukup untuk menerangi Indonesia selama 65 tahun ke depan sampai benar-benar habis. Itupun dengan catatan tidak ada sumber batubara lain yang ditemukan.
“Batubara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatera,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin dalam Webinar “Masa Depan Batubara dalam Bauran Energi Nasional”, Selasa (26/7/22).
Sebagian besar hasil produksi batu bara memang diekspor. Pada tahun 2021, dengan total produksi sejumlah 614 juta ton, yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri hanya 133 juta ton, mayoritas untuk sektor kelistrikan hingga 2025 mendatang dan sisanya di ekspor.
Angka fantastis ekspor batu bara tersebut tidak lagi mengherankan. Saat ini Indonesia menjadi satu dari tiga eksportir batu bara terbesar dunia selain Rusia dan Australia, dan menjadi eksportir murni (net exporter) terbesar batu bara termal dunia. Menurut data BPS, dari 10 besar negara yang mengimpor batu bara Indonesia sepanjang Januari – September 2022, empat besar ditempati India, China, Jepang dan Filipina
Tak bisa dipungkiri, kekayaan sumber daya fosil yang melimpah membuat pemerintah sering tak konsisten dalam upaya transisi energi. Sebab disatu sisi pemerintah punya beban moral dalam meminimalisisr penggunaan energi fosil untuk menekan laju emisi, sedang dilain sisi kekayaan akan energi fosil merupakan aset negara yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan perekonomian.
Godaan Ekspor Batu Bara Akibat Perang Rusia-Ukraina
Akibat perang Rusia-ukraina, dunia terutama eropa menghadapi krisis energi karena tak lagi mendapat pasokan energi dari Rusia yang merupakan produsen energi terbesar ketiga dunia. Harga batu bara pun melonjak drastis. Sebulan setelah perang, harga batu bara menyentuh angka US$446/ton dan pada September lalu mencapai level US$463/ton.
Eropa merupakan salah satu negara yang gencar menyuarakan transisi energi dan mengecam pengembangan energi fossil. Namun, karena krisis yang dihadapi serta ancaman musim dingin yang selama ini hanya mampu dihangatkan oleh batu bara, membuat sumber energi yang selama ini ingin diberantas kini eropa kembali menghamba pada energi fossil.
Eropa diperkirakan akan kembali mengonsumsi lebih banyak batu bara untuk tahun kedua beruntun, bahkan sebelum musim dingin datang. Demi menjaga 746 juta jiwa, Benua Biru telah mengimpor bahan bakar dari ujung ke ujung dunia termasuk Indonesia. Bahkan hingga Oktober lalu, muncul nama negara yang melakukan pembelian batu bara dari jaringan Asossiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) atau dari perusahaan pelat merah yang fokus memproduksi batu bara – PT Bukit Asam Tbk: Italia, Jerman, Polandia, Belanda, hingga Yunani dan Slovenia.
Ini merupakan godaan terbesar bagi Indonesia yang menguji komitmen Indonesia dalam mengurangi eksploitasi energi fossil. Pasalnya, permintaan pasar saat ini sangat potensial untuk memasarkan batu bara Indonesia ke luar negeri terutama eropa. Dosen hubungan internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Maharani Hapsari mewanti-wanti pemerintah untuk tidak tergiur godaan booming batu bara yang berpotensi semakin masif.
Menurutnya, Indonesia akan terjebak dalam reproduksi sistem energi kotor global jika hanya mengikuti logika pasar. “Ini yang harus dilawan. Indonesia harus membangun diri untuk menjadi bagian dari rasionalitas baru kelola energi global sebagaimana yang sudah divisikan dalam upaya global mitigasi dan adaptasi perubahan iklim”. (19/11/2022).
Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM itu menilai, meskipun situasi sekarang menyediakan insentif bagi Indonesia untuk mengejar ceruk pasar alternatif bagi Uni Eropa, ada lintasan isu lain yang membuat Indonesia harus berpikir lebih progresif mengenai perannya dalam transisi energi global.
Kendaraan Listrik, projek palsu transisi energi
Salah satu program yang dicanangkan Jokowi dalam rangka menyukseskan transisi energi Indonesia adalah dengan menetapkan kebijakan penggunaan kendaraan listrik. Alih-alih memperbaiki kualitas iklim, produksi kendaraan listrik dianggap malah merangsang banyaknya pembangunan PLTU yang justru berakibat buruk pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Kasus PLTU yang dibagun di Indramayu contohnya. Sejak kehadiran PLTU di Indramayu,warga sekitar mengalami gangguan kesehatan, di antaranya gangguan pengelihatan dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Warga juga menjadi kesulitan untuk bertani karena terbatasnya lahan, sementara sebagian besar warga menggantungkan keberlangsungan hidup dari sawah dan lahan pertanian. Bahkan saat ini pun kampung bukan lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman, sebab asap pembakaran batu bara dari cerobong asap PLTU terus mengancam.
Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle). Peraturan itu mengintruksikan pegawai negeri pusat dan daerah menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional dinas maupun pribadi.
Dengan adanya Inpres ini, mobil listrik pemerintah makin gencar mensosialisasikan mobil listrik, mulai dari insentif yang diberikan hingga percepatan infrastruktur pengisian daya listrik.
Namun yang menjadi sisi kontras adalah listrik yang digunakan sebagai sumber daya kendaraan listrik masih disuplai oleh pembangkit listrik konvensional atau berasal dari batu bara. Ini semacam skema palsu transisi energi yang seakan akan sudah beralih pada energi bersih, namun daya yang digunakan masih bermuara pada energi fosil.
Trobosan kebijakan ini merupakan janji palsu atas buruknya kualitas iklim. Sbebab produksi kendaraan listrik secara massal akan menimbulkan resiko kerusakan lingkungan mulai dari hulu hingga hilir. Dimulai dari fase produksi massal kendaraan listrik yang memiliki dampak kerusakan karena membuka peluang alih fungsi lahan hutan menjadi PLTU, hingga pengoprasian PLTU batu bara dalam skala besar yang dapat menyebabkan pencemaran udara yang juga berimbas pada naiknya emisi.
Penulis: Laila l Editor: Uud