Jakarta, Deras.id – Sesaat sebelum waktu Maghrib tiba di bulan suci Ramadan, rumah salah satu sahabat Rasulullah Muhammad SAW, Tsabit Al-Anshari kedatangan tamu. Ada seorang musafir mampir tanpa sedikit pun bekal yang bisa dimakan guna berbuka puasa. Sahabat Tsabit bingung. Di satu sisi, ia ingat pesan-pesan Nabi tentang kesunahan memuliakan tamu, tapi persoalan berikutnya, kondisi ekonomi yang terbatas benar-benar tengah melanda rumah tangganya.
Kemudian, Tsabit Al-Anshari mempersilakan masuk seorang tamu yang bertandang ke rumahnya itu. Ia pun berbisik kepada sang istri.
“Apakah ada makanan untuk petang ini?,” ucap Tsabit.
“Demi Allah, wahai suamiku. Tidak ada lagi makanan yang kusimpan,” jawab sang istri yang turut gundah.
Selanjutnya, Tsabit terdiam sejenak sambil memutar otak. Akhirnya, ia sampaikan sebuah siasat kepada sang istri agar mematikan lampu saat waktu berbuka tiba.
“Aku membawa seorang tamu. Jika kami mulai makan, padamkanlah lampu dan berpura-puralah memperbaikinya. Selama perut tamu kita belum kenyang, jangan makan sedikit pun dari makanan itu,” bisik Tsabit, dibalas anggukan istrinya.
Waktu yang dinanti tiba. Sang tamu dipersilakan menyantap hidangan yang serba pas-pasan itu. Namun, Tsabit dan istrinya hanya berkecap-kecap seolah turut bersantap, padahal ujung tangan keduanya sama sekali tak menyentuh hidangan.
Keesokan harinya, sang tamu pamit untuk melanjutkan perjalanan. Tsabit pun kembali menghadiri majelis untuk mendapatkan berkah dan pencerahan dari Nabi. Ketika keduanya berjumpa, tiba-tiba Rasulullah tersenyum dan bersabda:
“Wahai Tsabit, Allah SWT sangat menghargai pelayananmu terhadap tamumu semalam,” sabda Rasulullah.
Tsabit tersentak. Rasa gembira, malu, sekaligus haru bercampur di dadanya. Sumber berita: Ad Dur al Mantsur fi at Tafsir al Ma’tsur (Jilid 1), karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman asy Syuyuti
Penulis: Fat l Editor: Apr