Polusi udara di Ibu Kota Jakarta tergolong tinggi dan sangat beresiko bagi kesehatan. Beberapa wilayah bahkan masuk zona merah (kualitas udara tidak sehat). Hal ini terpantau dari data yang dihimpun oleh iqair.com menunjukkan jika indeks kualias udara (AQI) Jakarta, pada tanggal 22-25 Agustus tergolong tidak sehat dengan nilai AQI berkisar 150-an.
Kondisi ini turut menjadi perhatian pemerintah untuk mengurangi tingkat pencemaran udara yang ada di Jakarta, salah satunya dengan menerapkan kebijakan Work from Home (WFH) bagi para pegawai pemerintahan atau swasta yang pekerjaanya masih dimungkinkan dapat dilakukan dengan jarak jauh. Kebijakan ini bukan tanpa sebab, karena aktivitas penggunaan kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil) ditengarai turut menyumbang terjadinya polusi udara di wilayah Jakarta.
Jakarta tentu perlu berbenah agar posisinya sebagai ibu kota negara mempunyai citra positif, terlebih dalam penanganan lingkungan. Berkaitan dengan hal ini, perlu ditemukan solusi alternatif yang tepat agar permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik. Apabila berbicara soal kendaraan atau moda transportasi, Jakarta sebenarnya memiliki moda transportasi umum yang memadai dan menjadi salah satu alternatif untuk pengurangan penggunaan kendaraan pribadi. Namun, nyatanya penyebab polusi udara di Jakarta bukan hanya bersumber dari kendaraan, namun juga berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Langit gelap Jakarta
Gelapnya langit Ibu Kota Jakarta seakan telah menjadi tontonan rutin tiap hari, pemandangan langit abu-abu selalu menghiasi langit Jakarta di pagi hari. Hal ini menampakkan jika kualitas udara yang telah tercemar. Masifnya penggunaan kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang polusi udara.
Tercatat pada tahun 2021 menurut data dari jakarta.bps.go.id jumlah kendaraan di wilayah DKI Jakarta menurut jenisnya untuk sepeda motor (16.141.380 unit), mobil penumpang (3.544.491 unit), dll. Sedangkan pada tahun 2022, jumlah semakin meningkat yaitu untuk kendaraan jenis sepeda motor (17.304.535 unit), sedangkan mobil penumpang 3.766.059 unit).
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tentu sangat mengkhawatirkan, sebab secara tidak langsung akan berdampak terhadap terjadinya penecamaran udara. Hal ini dikarenakan kendaraan bermotor mengeluarkan gas emisi karbon.
Selain kendaraan bermotor, aktivitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan sektor industri juga disinyalir menjadi salah satu sumber penyumbang pencemaran udara di wilayah Jakarta.
Berdasarkan hal ini, Deputi Koordinator Bidang Transportasi dan Infrastruktur Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin mengatakan biang kerok dari polusi udara yang mengepung Jakarta disebabkan oleh pembakaran dari kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Dia mengungkapkan berdasarkan studi yang dilakukan Vital Statistic DKI Jakarta, polusi udara di Jakarta hampir 70% berasal dari sektor transportasi.
“Kemudian industri 26,8%, power plant 5,7%. Jadi 2/3 datang dari transportasi,” Rachmat.
Sedangkan untuk jenis polutan yang mencemari langit Jakarta antara lain terdapat S02, NOX, PM 10, dan PM 2,5.
“Dari Vital Statistic Jakarta ini, dari 5 polutan ada SO2, ada NOX, CO, PM 10, dan PM 2,5. Ini partikel yang paling berbahaya PM 2,5 karena sangat kecil dan bisa masuk paru-paru. Yang paling besar itu 4 dari 5 polutan yang ada di studi ini itu keluar dari sektor transportasi terbesar yang PM 2,5, 67%,” ungkapnya Sabtu (26/8/2023).
Berdampak pada Kesehatan
Pencemaran udara tentu sangat berbahaya bagi kesehatan, terlebih bagi orang-orang yang sensitif atau orang beresiko tinggi seperti penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Berdasarkan informasi yang dihimpun dari p2ptm.kemkes.go.id, terkait beberapa jenis pencemaran udara yang paling sering ditemukan adalah Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NO2), Sulfur Oksida (SOx), Photochemical Oksida dan Partikel, dimana zat-zat ini ditemukan hasil proses pembakaran dari kendaraan bermotor dan sektor indsutri.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebutkan bahwa polusi udara berkontribusi besar terhadap enam besar penyakit gangguan pernapasan di Indonesia, yaitu pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
“Kita lihat salah satu penyebab (penyakit gangguan pernapasan) yang paling dominan adalah polusi udara. Itu antara 24-34 persen dari tiga penyakit utama tadi: pneumonia, kemudian ISPA, dan asma,” ujar Budi.
Beban BPJS disebabkan enam penyakit gangguan pernapasan tersebut, kata Menkes, mencapai Rp10 triliun pada tahun 2022 lalu dan menunjukkan tren meningkat di tahun 2023.
“Ini beban BPJS-nya tahun lalu Rp10 triliun dan kalau melihat trennya di 2023 naik, terutama ISPA dan pneumonia, ini kemungkinan juga akan naik. Memang perlu kita sampaikan di sini, yang top 3-nya itu adalah infeksi paru atau pneumonia, infeksi saluran pernapasan yang di atas, kemudian asma. Ini totalnya sekitar Rp8 triliun dari Rp10 triliun yang tadi yang enam,” imbuhnya.
Fakta ini tentu sangat mengejutkan, karena dampak dari polusi udara sangatlah besar, terutama bagi kesehatan. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya yang masif untuk mengatasi permasalah polusi udara, tidak hanya di wilayah Jakarta akan tetapi juga di seluruh wilayah di Indonesia, utamanya daerah atau kawasan industri yang notabene tingkat pencemarannya beresiko tinggi.
Kebijakan pemerintah
Permasalahan polusi udara di Jakarta mungkin bukan hal yang baru lagi, telah beberapa upaya dilakukan pemerintah untuk mengurangi tingkat pencemaran udara. Kondisi ini turut menjadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo. Presiden memberikan beberapa arahan untuk mengatasi masalah ini, diantaranya yaitu penerapan sistem bekerja dari rumah atau Work from Home (WFH) dan modifikasi cuaca. Terkait hal ini, di beberapa instansi pemerintahan sudah menerapkan arahan mengenai WFH.
Sedangkan terkait modifikasi cuaca telah di jalankan, dimana berdasarkan laporan dari Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika dr.A. Fahri Radjab, S.Si., M.Si, menjelaskan bahwasannya fenomena hujan yang terjadi belakangan mengguyur Jabodetabek merupakan hasil modifikasi cuaca (TMC). Fahri menjelaskan pohaknya telah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dan mulai melakukan TMC sejak tanggal 19 Agustus.
“TMC di Jawa bagian Barat, Jabodetabek, Banten, Depok, Jawa Barat itu sudah kita mulai dari 19 Agustus lalu. Periode pertama 19-21 Agustus, kita buka posko di Bandara Husein di Bandung. Kemudian saat ini kita sedang periode dua sampai bulan September rencananya,” ujarnya dalam konferensi di Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023).
Fahri menerangkan untuk bisa menurunkan hujan, BMKG bersama BRIN dan TNI AU melakukan penyemaian garam dan kapur tohor terhadap sejumlah bibit awan menggunakan pesawat terbang.
“Sampai dengan kemarin total kita sudah melakukan 13 sortie penerbangan untuk penyemaian garam dengan total bahan semai 8.800 kg garam dan 1.600 kapur tohor (CaO),” tambahnya.
Adanya modifikasi cuaca dengan menurunkan hujan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran yang telah terjadi, namun merupakan solusi jangka pendek. Rusmawan Suwarman, anggota kelompok keahlian sains atmosfer di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, mengatakan hujan buatan memang dapat membantu menurunkan polusi, tapi ini bukanlah solusi jangka panjang.
Jauh sebelum itu telah ada beberapa uapaya yang telah dilkukan pemerintah dalam mengurangi tingkat pencemaran udara, salah satunya meningkatkan pelayanan moda transportasi umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL), Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit), dan Jak Lingko serta terdapat bus listrik.
Namun, adanya moda transportasi umum tidak lantas dapat mengurangi aktivitas masyarakat dalam menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini dikarenakan, transportasi umum terkadang sulit dijangkau di beberapa wilayah.
Melihat kondisi ini, kesadaran masyarakat juga perlu di pupuk, mengingat pentingnya menjaga lingkungan. Seperti mencoba membiasakan diri untuk mengurangi aktivitas penggunaan kendaraan bermotor ketika bekerja yaitu beralih menggunakan moda transportasi umum. Berkaitan dengan hal ini tentu perlu rencana jangka panjang, sebab tidak semua moda transportasi umum melewati tempat perkantoran atau hanya wilayah tertentu saja. Lebih lanjut lagi, perlu memasifkan penggunaan kendaraan umum yang ramah lingkungan.
Penulis: Havid l Editor: Uud