Jakarta, Deras.id- Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menyebut adanya 43 daerah dengan pasangan calon tunggal di Pilkada 2024 rekor terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Kotak kosong tetaplah sebuah pilihan politik namun bukan pilihan yang ideal dengan kemunculan koalisi gemuk di banyak daerah.
“Saya rasa ini kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang,” kata Khoirunnisa di Jakarta pada Minggu (1/9/2024).
“Jadi ya sudah, diborong saja dalam satu perahu besar. Dan ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan (secara politik) dan itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih,” lanjutnya.
Khoirunnisa menjelaskan, kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pemilu. Namun, bukan berarti kotak kosong tersebut kosong. Di dalam surat suara pemilih dapat memilih opsi tersebut jika tidak ingin memilih satu-satunya paslon yang maju.
“Awalnya dari Mahkamah Konstitusi. Ada semacam kebuntuan, ada partai-partai yang mengusung satu pasangan calon saja, apa yang harus dilakukan? Sehingga pada waktu itu, dibawa ke MK,” jelas dia.
“MK yang memutuskan, kalau pada masa pendaftaran yang terdaftar hanya satu pasangan calon, MK menyatakan bahwa masa pendaftarannya bisa dibuka lagi. Kalau setelah dibuka lagi tidak ada yang mendaftar, partai politik tidak mengalihkan dukungannya, ada yang namanya kotak kosong. Jadi di surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja, tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih,” lanjutnya.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab mengatakan fenomena kotak kosong dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam formalitas bagi masyarakat. Sejauh ini, menurutnya daerah yang berpeluang menjalani pemilihan gubernur dengan melawan kotak kosong adalah Papua Barat.
Dia pun juga beranggapan, bisa jadi calon yang diusung dianggap sebagai yang terbaik, namun bisa pula ini mencerminkan praktik atau kartel politik.
“Artinya ada iming-iming yang lebih menarik, daripada saya bekerja keras mengeluarkan yang lalu ada iming-iming yang lebih menarik untuk bisa mendapatkan bagian, itu yang menggoda,” ucap Ali.
“Maju ke pemilihan itu ongkosnya sangat besar. Jadi semacam percuma maju ketika yang akan menang sudah diketahui,” sambungnya.
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, memandang peningkatan jumlah calon tunggal di Pilkada 2024 sudah diprediksi sebelumnya. Meski sudah ada putusan MK, kata dia, fenomena peningkatan calon tunggal ini tidak mengejutkan meski amat disayangkan.
Menurut Kholil, peningkatan jumlah calon tunggal tahun ini disebabkan akutnya pragmatisme dari parpol yang cuma mengejar benefit politik dan ekonomi di pilkada. Parpol masih begitu takut menghadapi risiko kekalahan jika mengajukan kader mereka sendiri.
“Kali ini semakin mengkonfirmasi banyak parpol yang tidak memiliki kader yang berkualitas. Ini merupakan kegagalan terbesar parpol yang mengklaim dirinya sebagai rumah produksi calon pemimpin,” kata dia.
Editor: Muhibudin Kamali