Perbedaan Pendapat Tentang Membatalkan Puasa Sunnah di Tengah Pelaksanaan

Jakarta, Deras.id – Pengatahuan umat Islam tentang puasa sunnah mungkin sudah banyak diketahui bahwa dianjurkan sesorang muslim untuk menjalankan puasa sunnah. Namun bagaimana hukumnya jika menyelesaikan puasa sunnah dari awal hingga akhir dan mengqadhanya apabila tidak sampai selesai? Ulama ikhtilaf menyikapi persoalan ini, bagi pendapat imam Asy-Syafi’I dan Hambali hukum mengqadha puasa sunnah yang dibatalkan adalah sunnah. Namun, ulama yang lain memberikan penjelasan berbeda dalam menetapkan hukum (Istimbatil Hukmi) dari persoalan tersebut.

1. Menurut Madzhab Hambali, apabila seseorang telah memulai puasanya untuk puasa sunnah namun di tengah waktu pelaksanaannya dia membatalkan, maka mengqadha puasa itu hukumnya wajib (namun sebagaimana diketahui bahwa hukum wajib menurut madzhab ini sama seperti sunnah Muakkad menurut madzhab lainnya). Dengan demikian maka membatalkan puasa sunnah menurut madzhab ini hukumnya makruh tahrim dan tidak mengqadha puasa sunnah tersebut juga hukumnya makruh tahrim.

2. Menurut madzhab Maliki, hukum menyelesaikan puasa sunnah ketika sudah memulainya adalah fardhu, begitu juga dengan hukum mengqadhanya apabila pembatalan puasa tersebut dilakukan dengan sengaja. Namun dikecualikan untuk hukum ini apabila seseorang melakukan puasa sunnah, lalu bapak ibu atau kakek neneknya memerintahkan dia untuk berbuka karena merasa kasihan atau yang lainnya, maka dia diperbolehkan untuk berbuka tanpa harus mengqadha puasa tersebut.

Hukum yang sama juga berlaku untuk puasa di hari I’tikaf yang dinadzarkan, misalnya seseorang berucap, “Aku benadzar kepada Allah akan beri’tikaf selama sepuluh hari.” Jika sudah bernadzar seperti itu maka dia disunnahkan pula untuk berpuasa pada sepuluh hari i’tikafnya tersebut namun tidak sampai diwajibkan menurut madzhab Asy-Syafi’i dan Hambali, berbeda dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang mengharuskannya. Lihatlah pendapat yang berbeda dari kedua madzhab tersebut pada penjelasan berikut ini.

3. Menurut madzhab Hanafi, puasa merupakan salah satu syarat sahnya I’tikaf yang dinadzarkan.

4. Menurut madzhab Maliki, I’tikaf yang dinazarkan harus dilakukan dengan berpuasa dengan arti apabila seseorang telah bernadzar untuk melakukan I’tikaf selama beberapa hari maka dia tidak perlu bernadzar untuk berpuasa pada hari-hari tersebut karena dengan nadzar I’tikaf maka secara otomatis ia sudah diwajibkan untuk berpuasa pula dan tidak sah I’tikafnya apabila tidak dilakukan saat berpuasa sebab puasa adalah salah satu syarat sah unfuk melakukan i’tikaf.

Penulis: M.FSA I Editor: Apr

Exit mobile version