Negeri Besar, Tingkat Literasi Masih Rendah

Indonesia masih menjadi salah satu Negara dengan tingkat literasi yang rendah. Berdasarkan data survei dari Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Berdasarkan fakta di atas, hal ini tentu sangat miris sebab Indonesia yang merupakan Negara besar ternyata memiliki tingkat literasi rendah. Padahal, tingkat literasi di suatu Negara sangat penting karena sebagai indikasi tingginya pengetahuan penduduknya. Tingginya tingkat literasi seseorang dianggap memiliki pemahaman keilmuan yang tinggi dan secara tidak langsung membuat suatu Negara akan terpandang.

Di era pesatnya arus globalisasi, masalah literasi menjadi tantangan tambahan bagi Indonesia. Kondisi seperti saat ini menjadi dilematis, karena dengan pemahaman literasi yang rendah diiringi informasi yang mudah justru membuat malapetaka.

Cepatnya pertukaran informasi memang memiliki kelebihan yaitu informasi dapat diakses secara cepat dan diterima langsung oleh masyarakat. Namun, dilain sisi justru menjadi malapetaka apabila informasi yang diterima oleh masyarakat hanya ditelan mentah-mentah. Sebab hal itu akan menimbulkan berita hoax (bohong) apabila informasi yang diperoleh tidak jelas sumbernya. Terlebih, jika berita yang diperoleh oleh satu orang disebarkan secara luas.

Tingkat buta dan melek aksara di Indonesia

Tingkat Melek Aksara atau Angka Buta Huruf (ABH) adalah proporsi penduduk usia tertentu yang tidak dapat membaca, menulis huruf Latin dan atau huruf lainnya terhadap penduduk usia tertentu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sebanyak 3,96 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas di Indonesia buta huruf pada 2021. Persentase tersebut lebih rendah dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 4 persen.  

Apabila ditinjau berdasarkan daerah, Provinsi Papua adalah wilayah dengan tingkat angka buta huruf tertinggi di Indonesia yaitu 21,9 persen. Sementara untuk wilayah Jawa, Menurut data dari BPS, angka buta huruf di Jawa Tengah (6,21 persen) dan Jawa Timur (7,44 persen) merupakan tertinggi dibanding daerah lainnya.

Sedangkan untuk tahun 2022, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), angka buta huruf/aksara di Indonesia turun menjadi 1,78 persen.  Sehingga berdasarkan hal ini, menunjukan jika tingkat melek huruf di Indonesia cukup tinggi dari tahun ke tahun. Apabila dilihat dari statistik angka 1,78 persen sangat kecil, dapat disimpulkan tingkat melek huruf Indonesia telah mencapai 98,22 persen.

Adanya tren penurunan tiap tahunnya, menunjukkan hal yang baik karena perlahan-lahan problem ABH dapat teratasi. Namun, untuk daerah yang masih memiliki tingkat ABH tinggi perlu menjadi sorotan pemerintah pusat maupun daerah, agar permasalahan terkait buta aksara benar-benar dapat terselesaikan.

Kondisi literasi masyarakat

Kondisi Literasi dan Angka Buta Huruf (ABH) adalah satu kesatuan atau saling berkaitan. Literasi dapat dimaknai sebagai kemampuan membaca dan juga menulis (wacana). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Literasi adalah kemampuan menulis dan membaca atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Sedangkan Menurut  Elizabeth Sulzby seorang professor Pendidikan dari University of Michigan USA dalam bukunya yang berjudul ‘Emergent Literacy: Writing and Reading’, menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi, yang mencakup empat kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis dengan cara-cara yang berbeda sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

Dengan demikian, secara umum kemampuan membaca merupakan alat utama dalam berliterasi. Namun dalam arti lebih luas, literasi bisa diartikan sebagai kemampuan dalam membaca atau menyimak informasi secara terstruktur dan terukur serta mampu menyimpulkan informasi yang fakta atau bukan fakta (hoax).

Berdasarkan data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 2022, skor Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia mengalami kenaikan 0,08 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 64,4 persen dari skala 0-100, atau masuk kategori sedang. Kondisi ini tentu ironi, karena sudah seharusnya perihal pemahaman budaya literasi sudah ditanamkan sejak dini. Apakah ini kesalahan sistem pendidikan di Negeri ini? Mari lewatkan saja pertanyaan ini yang justru akan mengundang perdebatan panjang dan lebih baik fokus menelaah penyebab minimnya literasi di Negeri ini agar kedepan Indonesia bisa lebih baik lagi.

Menurut psd.kemdikbud.go.id, Terkait literasi pada dasarnya ada enam jenis yang harus dikuasai oleh seseorang agar mampu ber-Literasi dengan baik yaitu literasi baca tulis, literasi numersial, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya & kewargaan.

1. Literasi baca tulis

Berkaitan dengan kecakapan untuk memahami isi teks tertulis (tersirat atau tersurat).

2. Literasi numersial

Kecakapan untuk menggunakan angka dan simbol yang terkait dengan matematika untuk pemecahan masalah yang bersifat praktis.

3. Literasi sains

Kecakapan dalam memahami fenomena alam dan sosial sekitar, serta mampu mengambil keputusan dengan tepat.

4. Literasi digital

Kecakapan dalam menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab.

5. Literasi finansial

Kemampuan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, resiko, keterampilan, dan motivasi dalam konteks finansial.

6. Literasi budaya & kewargaan

Kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa serta memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Berdasar dari pembagian jenis literasi diatas, literasi digital menjadi konsen pembahasan yang sangat menarik sebab ini menjadi salah satu polemik panjang yang sering kali terjadi. Era saat ini yang serba digital seperti proses jual-beli, investasi dan sebagainya, menuntut banyak orang agar bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut. Akan tetapi faktanya, literasi digital Indonesia masih tergolong rendah. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEV), Aviliani menyebut tingkat literasi digital Indonesia tergolong rendah.

“Masyarakat Indonesia kalau kita lihat literasi digitalnya baru 62 persen. Negara di Korea sudah 97 persen. Rata-rata ASEAN sudah 70 persen. Jadi, memang tingkat literasi digital kita masih rendah” Ujarnya dalam siaran Tech&Telcoc Outlook, Selasa (14/02/2023).

Rendahnya literasi digital menjadi kekhawatiran, sebab bukan tidak mungkin banyak orang yang akan terjerumus penipuan berbau teknologi digital.  Hasil Riset Nasional tentang “Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi” yang melibatkan 1.700 responden dari berbagai Provinsi, terdapat lima jenis penipuan yang kerap terjadi yaitu penipuan berkedok hadiah (91,2 persen), pinjaman digital ilegal (74,8 persen), pengiriman tautan berupa malware atau virus (65,2 persen), penipuan berkedok krisis keluarga (59,8 persen), dan investasi ilegal (19,9 persen).

Tingginya tingkat kejahatan berbasis digital atau cyber crime di Indonesia memang bukanlah hal yang baru lagi, sebab banyak kasus-kasus yang telah terjadi seperti kejahatan diatas. Hal ini terjadi karena lemahnya literasi digital yang dimiliki oleh masyarakat, terutama yang masih awam teknologi digital.

Penyebab rendahnya budaya literasi

Budaya literasi menjadi permasalahan yang belum entas, selain kemiskinan. Dibalik rendahnya tingkat literasi, pasti ada yang melatarbelakangi. Tentu, peran pemerintah selaku pemangku jabatan memiliki kewajiban untuk mengentaskan Indonesia dari masalah ini. Sebab berdasarkan amanat UUD 1945  Bab XIII, Pasal 31 ayat 3 yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Menurut educenter.id, perihal faktor penyebab rendahnya literasi masyarakat terjadi karena beberapa faktor yaitu kebiasaan membaca belum menjadi budaya, perkembangan teknologi yang semakin canggih, sarana membaca yang minim, kurangnya motivasi untuk membaca, sikap malas.

Maka dari itu, dengan adanya amanat tersebut sudah sepatutnya pemerintah secara sadar meningkatkan kualitas masyarakatnya agar tercipta individu-individu yang beriman, taqwa dan cerdas secara intelektualitas salah satunya melalui menanamkan budaya literasi. Namun nyatanya budaya literasi masih menjadi nomor sekian yang diprioritaskan di berbagai daerah. Menurut Permatasari (2015), dalam jurnal membangun kualitas bangsa dengan budaya literasi yang menjelaskan jika fokus pembangunan di beberapa daerah lebih banyak fokus terhadap pembangunan infrastruktur dan ekonomi.

Penulis : Hvd l Editor : Uud

Exit mobile version