Misal Childfree: Siapa Takut?

Pekan kemarin, publik jagat maya dihebohkan oleh kabar Gita Savitri Devi atau Gitasav yang memilih kehidupan berkeluarga tanpa seorang anak (childfree). Gitasav jadi  trending topic di Twitter pada Senin (6/2/23), setelah akun Askrlfess mengunggah ulang komentar Gitasav di Instagram terkait soal anak.

Dalam komentar berbahasa Inggris tersebut, Gita mengatakan bahwa tidak memiliki anak merupakan cara melawan penuaan alami. ia pun menjelaskan  kenapa anti aging alami adalah dengan tidak memiliki anak. “Not having kids is indeed natural anti-aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox,”  tulis Gitasav.

Menurut Gitasav, tidak memiliki anak adalah cara melawan penuaan secara alami. Hal ini karena ia memiliki waktu yang lebih lama untuk mengurusi dirinya, tidak stres karena teriakan anak dan bisa tidur selama delapan jam dalam sehari.

Histori childfree

Istilah childfree adalah seseorang yang tidak memiliki keinginan atau rencana untuk memiliki anak. Dilansir dari Merazone, istilah ini awalnya dimunculkan pada tahun 1972 oleh organisasi orang tua tanpa anak (NON). NON mendirikan dan memperingati Hari Non-Parents pertama pada Agustus 1973.

Organisasi yang beranggotakan 400 orang itu berusaha untuk saling mendukung dan mendidik orang lain tentang manfaat tidak memiliki anak. Setelah mengubah nama organisasi itu pada 1980-an menjadi Aliansi Nasional Tanpa Anak, organisasi tersebut vakum.

Laura Carroll, seorang penulis terkenal dan pakar gaya hidup tanpa anak, menghidupkan kembali organisasi tersebut pada tahun 2013. Laura memainkan peran penting dalam membantu menerima legacy sosial atas organisasi tersebut. Hingga akhirnya, pada setiap tanggal 1 Agustus diperingati lah hari tanpa anak.

Childfree di Indonesia

Fenomena childfree di Indonesia sendiri pernah diteliti oleh Dania dan Syaifuddin pada tahun 2021 lalu. Dalam studi tersebut, dari  62 responden yang diperoleh melalui random sampling, sebanyak 60 persen generasi milenial mendukung fenomena childfree. Mereka (responden) menganggap, pilihan untuk mempraktikkan tanpa anak adalah hak asasi setiap individu.

Beberapa figur publik Indonesia memilih childfree yaitu Cinta Laura, Gitasav, Anya Dwinov, Chef Juna, Rina Nose, dan Leony Vitria. Mereka mengaku, keputusan itu diambil setelah berdiskusi dengan pasangan masing-masing.

Cinta Laura misalnya, yang mengaku sudah memutuskan tidak akan memiliki anak jika menikah kelak. “Dunia yang kita huni saat ini sudah over populasi. Sudah terlalu banyak manusia yang tinggal di dunia ini. Tapi aku mau mengadopsi anak yang mungkin dia tidak punya siapa-siapa yang bisa menjaga mereka”. Kata Cinta,  dikutip dari channel YouTube The Hermansyah A6, Sabtu  (11/2/23).

Sementara itu, Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suryanto mengatakan bahwa ada dua alasan utama kenapa seseorang memilih childfree, yakni karena usia dan karir. Di tingkat SD, menurutnya, perempuan juga bisa menunda memiliki anak dengan menikah di usia dewasa. Sedangkan alasan kedua adalah keinginan untuk meniti karir. Dalam perjalanan menuju kesuksesan karir, banyak wanita yang menganggap kehadiran seorang anak menjadi kendala tersendiri.

“Kalau dikatakan alasan bebas anak karena masih banyak anak terlantar atau tidak ingin menambah populasi bumi, saya kira itu rasionalisasi dan bukan alasan yang sebenarnya,” kata Guru Besar Universitas Airlangga itu (26/8/22).

Victoria Marsiana Tunggono, penulis buku Childfree & Happy menjelaskan, menjadi orang tua memerlukan persiapan yang matang. Tidak hanya dari segi materi dan fisik, namun juga dari segi kesiapan mental seseorang yang ingin atau yang sudah menjadi orang tua mengenai bagaimana melayani anaknya di masa depan atas keinginan masing-masing individu.

Selain itu, banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak karena pengalaman masa kecil mereka yang buruk dengan orang tua mereka. Mereka khawatir nantinya akan menularkan roh yang beracun kepada keturunannya karena menyadari bahwa dirinya tidak mampu secara mental, sehingga memilih untuk tidak memiliki anak. Tak hanya itu, kekhawatiran dan takut kekurangan uang dan tidak ingin hidup susah juga menjadi alasan memilih childfree.

Angka kelahiran di Indonesia

Dalam tiga dekades terakhir, angka kelahiran di Indonesia sendiri mengalami penurunan sebanyak 30 persen. Angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) di Indonesia terus mengalami penurunan. Bahkan, dalam enam dekade terakhir, TFR Indonesia telah berkurang hampir empat poin.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), TFR di Indonesia tercatat sebesar 2,1 persen pada 2022. Dengan demikian, rata-rata satu perempuan di dalam negeri melahirkan dua orang anak selama masa suburnya. Angka TFR tersebut telah jauh berkurang dibandingkan pada 1960 yang sebesar 5,67.

Data itu mencerminkan bahwa rata-rata satu perempuan melahirkan 5-6 anak sepanjang masa suburnya. Menurunnya angka kelahiran di Indonesia diperkuat oleh beberapa faktor utama mengapa banyak pasangan memilih untuk tidak memiliki anak, seperti belum siap menjadi orang tua, faktor ekonomi, faktor lingkungan bahkan faktor fisik diri dan pasangannya.

Meski angka kelahiran menurun, jumlah penduduk masih terus bertambah. Deputi Bidang Pelatihan Penelitian dan Pengembangan Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Prof Muhammad Rizal Martua Damanik mengatakan, tingkat kelahiran menurun memang tidak menjamin pertumbuhan penduduk terhenti.

“Dari berbagai literatur yang diketahui, dinamika kependudukan di suatu wilayah ditunjukkan dengan perubahan tingkat kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Ini akan berdampak pada perubahan ‘replacement fertility’ di wilayah tersebut,” katanya dalam webinar bertajuk “Kajian Penduduk Tumbuh Seimbang 2024” secara daring di Jakarta, Senin (31/8/23).

Menurutya, data TFR yang ada saat ini sudah cukup ideal untuk mendorong tercapainya pertumbuhan penduduk Indonesia yang seimbang. Dengan demikian, bonus demografi Indonesia kedepannya bisa dimanfaatkan secara optimal.

Dampak childfree

Dilansir dari klikdokter.com, Psikolog Klinis Gracia Ivonika mengatakan, childfree sendiri memiliki dampak positif dan negatif. Dari segi positif pasangan akan aka lebih fokus mengejar karir, target hidup, dan kepedulian pada diri sendiri. Ia menilai, pasangan juga tidak terlalu dibebani oleh finansial. “Anda tidak ikut menyumbang kepadatan populasi dunia serta efek negatifnya”. Kata Gracia Ivonika yang akrab disapa Ivon itu.  

Sedangkan dari sisi negatif, lanjut Ivon, saat pasangan tidak ingin punya anak, perasaan kesepian dapat makin berkembang. Selain itu, ketika menginjak masa tua, pasangan tidak memiliki orang (anak) yang bisa diandalkan untuk merawat ketika sudah tua.

“Anda mungkin bisa merasa kurang fit in di dalam kelompok. Karena sebagian besar orang seusia Anda, mungkin sudah menjalankan peran dan dinamika kehidupan yang jauh berbeda dengan menjadi orang tua,” terang Psikolog Ivon.

Terlepas dari dampak yang ditimbulkan, childfree merupakan hak masing-masing pasangan. Namun, sebelum memutuskan untuk mengambil tindakan tersebut, sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu ke dokter dan psikolog untuk mengetahui secara lengkap apa saja dampak yang bisa ditimbulkan.

Setiap pasangan memiliki hak untuk menentukan kebahagiaannya, termasuk dalam hal memilih childfree. Sebaliknya, sebagian pasangan akan merasa bahagia bila hidupnya memiliki anak. Maka dari itu, tak perlu ada stigma negatif atas pilihan masing-masing. 

Penulis: Mas Uud | Editor: Arno

Exit mobile version