Menyoal Ancaman Krisis Pangan

Kini kiris pangan global kian menghantui berbagai negara. Berdasarkan rilis Kementerian Luar Negeri RI, diperkirakan 179 sampai 181 juta orang di 41 negara akan menghadapi krisis pangan. Penyebab meningkatnya ancaman krisis pangan terutama karena masalah perubahan iklim ekstrem yang mengakibatkan petani mengalami gagal panen akibat kekeringan ataupun bencana alam lainnya.

Kerawanan pangan juga diperparah oleh kondisi geopolitik global, dimana banyak negara memberlakukan pembatasan ekspor sejumlah komoditas, serta masalah kelangkaan dan kenaikan harga pupuk. Puncak krisis pangan terjadi ketika terjadinya perang antara Rusia-Ukraina dimana dua negara ini adalah negara pengekspor terbesar biji-bijian baik gandum, jagung.

Indonesia sendiri tak luput dari ancaman krisis pangan. Menurut Global Food Security Index (GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di level 60,2. Dengan angka ini, ketahanan pangan Indonesia masih di bawah rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta lebih rendah dibanding rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4.

Ketersediaan pasokan pangan Indonesia dengan skor 50,9 dinilai kurang baik. Kualitas nutrisi juga hanya mendapat skor 56,2, sedangkan keberlanjutan dan adaptasi skornya 46,3. Di tiga indikator ini ketahanan Indonesia dinilai lebih buruk dibanding rata-rata negara Asia Pasifik.

Indeks Ketahanan Pangan Indonesia (2018-2022)

Perang Rusia-Ukraina, biang krisis pangan dunia

Rusia dan Ukraina merupakan produsen pangan terbesar di dunia. Dalam data FAO Food Price Indexes Tahun 2022, dua negara ini menguasai 51 persen suplai kebutuhan dunia. Mereka mewakili 53 persen perdagangan global minyak bunga matahari dan biji-bijian, serta 27 persen gandum.

Menurut laporan PBB, jumlah orang dengan rawan pangan bisa meningkat sebanyak 47 juta jiwa di tahun ini akibat konflik Rusia-Ukraina. Dengan demikian, totalnya dapat menembus 323 juta pada akhir tahun 2022. Laporan PBB pun mengungkapkan, hingga lebih 58 juta orang di Afrika mungkin jatuh ke dalam kemiskinan tahun ini. Sementara di Asia Selatan, 500 juta orang berisiko. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyebutkan bahwa jumlah orang yang rawan pangan meningkat dua kali lipat hanya dalam 2 tahun. “Efek dari situasi Ukraina dapat mendorong jumlah ini meningkat menjadi 323 juta orang,” kata Menko Airlangga saat menjadi pembicara Seminar Nasional PPRA 64 Lemhannas RI pada  (11/10/22).

Krisis pupuk salah satu faktor krisis pangan

Krisis pupuk yang terjadi mempunyai dampak estafet bagi ketahanan pangan kedepan. Karena jika pasokan pupuk berkurang, dampaknya akan memicu krisis beras. Dalam pidato pembukaan KTT G20 di Bali, Jokowi mengungkapkan “Masalah pupuk jangan disepelekan, jika kita tidak segera mengambil langkah agar ketersediaan pupuk mencukupi dan dengan harga yang terjangkau, maka 2023 akan menjadi tahun yang lebihsuram”.

Lagi -lagi kelangkaan yang terjadi disebabkan karena konflik perang, hampir seperempat kebutuhan pupuk dunia dipasok oleh kedua negara tersebut. Rusia dan Ukraina mengekspor 28 persen pupuk yang terbuat dari nitrogen dan fosfor, serta kalium.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan harga pupuk global memang naik secara signifikan bahkan sebelum perang Rusia-Ukraina.

Namun dengan adanya perang, harga pupuk semakin melonjak karena 70 persen bahan baku pupuk berasal dari gas. Selama situasi perang, Indeks harga pangan naik 20,8 persen dari tahun sebelumnya dan sempat mencapai titik tertinggi pada Maret 2022. Sementara pupuk dunia meningkat 2 kali lipat dibandingkan rata-rata sepuluh tahun belakangan.

Sementara itu, masalah bagi Indonesia sendiri adalah pasokan pupuk bersubsidi yang disediakan pemerintah hanya mampu mencukupi setidaknya 30 persen dari total kebutuhan pupuk nasional. Artinya ada 70 persen petanu yang harus membeli pupuk dengan harga non subsidi yang tentunya lebih mahal.

Mahalnya pupuk akan berakibat estafet pada naiknya harga pangan serta peningkatan infalsi. Tak hanya itu, petani yang tak mampu membeli pupuk terancam gagal panen dan tak mampu produktif menghasilkan bahan pangan

Dampak perubahan iklim ekstrem

Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2018, Indonesia termasuk negara yang memiliki ketahanan pangan paling rawan untuk terkena dampak perubahan iklim di Asia Tenggara. Nilai dimensi natural resource and resilience Indonesia sebesar 43,9 yang termasuk dalam kategori kondisi berisiko.

M. Burke dan  D. Lobell (2010)  telah mengingatkan bahwa sistem pangan adalah salah satu yang paling terdampak krisis iklim. Dampak dari perubahan iklim ini memengaruhi sistem pangan termasuk produksi, penyimpanan, akses dan stabilitas harga pangan.  Pandangan ini semakin diperkuat oleh  The Intergovernmental panel on climate change (IPCC) 2021 dalam laporan khusus mereka terkait perubahan iklim dan lahan. IPCC menyatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi akan mempengaruhi ketahanan pangan.

Naiknya suhu, curah hujan yang tak lagi sesuai musim, frekuensi cuaca ekstrim, dan naiknya serangan hama dan serangga adalah bentuk perubahan drastis perubahan iklim yang berdampak terhadap produksi pangan. Menurut laporan World Food Programe, selama periode April hingga Juni 2022, curah hujan Indonesia tercatat paling tinggi dibanding rata-rata selama 30 tahun terakhir.

Petani kecil adalah pihak yang paling terdampak dari kiris iklim ini. Seperti yang terjadi di Lanny Jaya, Brebes, dan berbagai daerah lainnya di Papua, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrim. 

Perlu adanya solusi komperhensif untuk mitigasi dan adaptasi krisis iklim bagi petani kecil supaya pasokan produksi pangan tak terganggu. Pemerintah harus fokus dalam mencari solusi ini segera karena jika tidak, tak menutup kemungkinan Indonesia akan sampai pada lembah krisis pangan ekstrem akibat tidak bersahabatnya alam ini.

Food estate apakah solusi yang tepat?

Setelah Food and Agriculture Organization (FAO) mengeluarkan data bahwa akan ada ancaman krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi global, pemerintah Indonesia merespon cepat dengan program food estate yang menjadi Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024. Food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan bahkan peternakan di suatu kawasan. Lokasi proyek ini semula mencakup Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. Namun, seiring berjalannya waktu lokasi proyek terus berkembang. 

Disisi lain, proyek ini dinilai ambisius karena dalam pelaksanaan dan tata kelolanya, program ini seperti dilakukan hanya asal jalan saja tanpa memikirkan dampaknya yang jurstru memeperburuk keadaan lingkungan. Terdapat beberapa kekeliruan proyek food estate dalam menjawab ancaman krisis pangan di Indonesia. Pertama, penempatan proyek yang sebagian besar menyasar hutan dan lahan yang mempunyai keragaman hayati tinggi.

Seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, lokasi proyek ini memiliki tutupan hutan alam yang bagus dan lahan gambut. Padahal, kehilangan tutupan dan kebakaran di lahan rawa gambut penyumbang emisi karbon global. Pelepasan karbon besar-besaran ke udara akan mengakibatkan perubahan iklim yang akan memperparah kondisi pertanian.

Kedua, konsep pertanian skala besar dan industri. Konsep Pertanian skala besar dan industri dinilai hanya akan menghasilkan pangan untuk kebutuhan pasokan bahan baku industri, sedang kebutuhan untuk pemenuhan pangan masyarakat bukan menjadi prioritas.

Food estate  di Gunung Mas contohnya, proyek ini merambat masuk ke Kawasan hutan, menumbangkan pohon serta merusak habitat orangutan. Pengelolaan proyek ini langsung dikelola perusahaan dan tidak melibatkan petani lokal, dan setelah satu tahun pelaksanaan, masih belum ada hasil yang dilaporkan yang berkontribusi pada ketersediaan pangan masyarakat.

Seharusnya, Konsep pengembangan pangan tidak cukup hanya berpegang pada ketahanan pangan semata. Konsep matang harus dirancang dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kebermanfaatan bagi masyarakat sekitar. Jangan sampai karena ingin mengejar target ketahanan pangan, alam yang asri justru dirusak yang berdampak pada kenaikan suhu muka bumi dan Kembali merusak iklim.

Penulis: Laila | Editor: Uud

Exit mobile version