Menjaga Pemilu dari Politik Identitas

Indonesia dikenal sebagai negara heterogen karena terdiri dari pelbagai agama, suku, ras, dan etnis. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, keanekaragaman tersebut justru kadang dibenturkan antar kelompok-kelompok yang memiliki sudut pandang dan keyakinan yang berbeda oleh pihak tertentu. Tak terkecuali dalam momen pesta demokrasi, baik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pun juga dalam Pemilihan Umum (Pemilu).   

Tahun politik 2024 sudah di depan mata. Pada Februari mendatang, masyarakat Indonesia akan menghadapi Pemilihan Presiden – Wakil Presiden (Pilpres), serta Pemilihan Legislatif (Pileg). Pada momentum tersebut, isu etnis dan agama kerap menjadi perbincangan hangat di dunia maya. 

Selaras dengan pendapat Indar Arifin (2022) dalam risetnya menjelaskan, bahwa agama menjadi instrumen yang hegemonik untuk membentuk tindakan masyarakat, termasuk menciptakan realitas politik. Sebab itulah, ekspresi agama seakan-akan telah menjadi common sense dalam perhelatan politik tanah air. Sehingga, tak jarang pula peran yang dimainkan menentukan kemenangan figur tertentu karena memiliki power untuk mendulang akumulasi suara rakyat.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar mengatakan, banyak aktor politik yang memanfaatkan agama sebagai sarana untuk memperoleh dukungan dari kelompok tertentu dengan tujuan untuk mendulang suara. “Banyak aktor-aktor politik intelektual yang mengeksploitasi agama sebagai sarana memperoleh dukungan”, katanya dalam seri diskusi tentang “Modal Agama dalam Percaturan Politik Lokal” yang diadakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (29/5/22).

Menolak politik identitas

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memprediksi, tingkat potensi politisasi agama untuk akumulasi kemenangan dalam Pemilu 2024 tidak terlalu signifikan. Intensitas praktik politisasi agama dalam Pemilu 2024 dinilai masih dibawah Pemilu 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Polisi R. Ahmad Nurwakhid meyakini, politisasi agama untuk kepentingan politik pada Pemilu 2024 lebih rendah sebab indeks potensi Radikalisme di Indonesia mengalami penurunan (30/9/2022). “Politisasi agama pada 2024 itu tidak sebesar 2019, paling besar itu (Pilkada DKI) 2017,” kata Wakhid di Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat (1/10/22).

Survei yang dilakukan Sharma dalam IFES for the Australian Agency for International Development (USAID): Indonesia Electoral Survey 2010, menyebut, terdapat penurunan pengaruh agama terhadap pilihan politik di Indonesia. Pada tahun 2010, lebih dari setengah populasi atau 62 persen masyarakat Indonesia mengatakan, agama menentukan hasil akhir pilihan politik.

Sementara itu, Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2017 yang berjudul “3 Tahun Jokowi: Kenaikan Elektoral dan Kepuasan Publik”, menunjukkan sejumlah responden terkait penerimaan terhadap pemimpin yang berbeda agama. Sebanyak 58.4 persen menjawab tidak bisa menerima, sedangkan sebanyak 45.5 persen menjawab bisa menerima.

Marketing Agama yang mewarnai Pilkada

Masifnya respon dari berbagai pakar, terlebih pengamat politik terkait politisasi agama dalam perpolitikan di Indonesia tidak lahir secara telanjang. Terdapat sejumlah data dan fakta koheren, dimana agama memiliki peran strategis agama dalam untuk mencapai tujuan tertentu melalui jalan politik. Seperti yang terjadi di tahun politik elektoral sejak 2015 hingga tahun 2018. Dalam Jurnal Penelitian Politik (JPP) yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) mereportase jejak kemenangan Kepala Daerah yang terindikasi menggunakan isu agama.

Berdasarkan rekam jejak politik di atas, terlepas siapa calon yang keluar sebagai pemimpin terpilih, identitas agama dari calon tidak bisa dipisahkan dari politik. Strategisnya peran agama dalam percaturan politik di tanah air menjadi potensi yang akan terulang pada tahun politik 2024.

Pengamat Politik asal UGM, Abdul Gaffar Karim menilai, bahwa terdapat dua hal yang melatarbelakangi aktor politik memanfaatkan agama sebagai sarana kepentingan mereka; Pertama, lemahnya basis ideologi yang dimiliki kebanyakan partai politik di Indonesia. Kekuatan-kekuatan politik elektoral sangat jarang memiliki pondasi ideologis yang kuat yang menyebabkan partai-partai politik tidak betul-betul memiliki basis ideologi yang jelas. Meski ada beberapa partai politik yang memiliki basis ideologi yang jelas, yang lain hanya bisa dibedakan basis sosialnya saja dan tidak teruntuk ideologinya.

Kedua, lemahnya basis programatik yang dimiliki partai-partai politik. Sehingga masyarakat tidak bisa membedakan program apa saja yang akan diusung oleh setiap partai politik. Dalam keadaan seperti ini mereka akan memanfaatkan potensi politik identitas di dalam masyarakat untuk mempertegas siapa diri sendiri dan siapa yang lain, sehingga yang paling mudah dimanfaatkan adalah agama.

“Sebenarnya kita tidak tahu apa bedanya partai A dengan partai B, jika yang terpilih adalah yang partai A akan terjadi seperti apa? bahkan sebaliknya. Akhirnya agama dimanfaatkan sebagai kekuatan, dan oleh para aktor dalam dunia politik untuk memperoleh dukungan dari para pemilih,“ kata Abdul Gaffar, (26/6/2020).

Oleh karena itu, politik identitas berpotensi mengancam keutuhan dan kerukunan antar kelompok dan agama tertentu. Bahkan, hal ini bisa berujung pada tindakan separatisme. Masyarakat yang sudah terasimilasi berdasarkan identitas tersebut, dengan mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda tujuan dari aktor-aktor politik. 

Penulis: Warda Nafisah | Editor: Uud

Exit mobile version