Praktik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di lembaga pendidikan berbagai jenjang, termasuk berbasis agama masih terus terjadi. Selain sulit terungkap, para korban kekerasan mengalami jalan buntu untuk mendapat keadilan. Terlebih, para pelaku merupakan sosok yang disegani dan dihormati dalam dunia pendidikan.
Tokoh agama maupun guru di lembaga pendidikan idealnya dikenal sebagai sosok yang beradab dan berpengetahuan. Namun, banyak kasus pelecehan seksual menyeret nama mereka dalam kasus kekerasan seksual. Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru menjadikan pusat lembaga pendidikan keagamaan sebagai sentra strategis menjadi tercemar oleh perbuatannya.
Seperti kasus Herry Wirawan (Ustaz) yang memaksa 13 santrinya untuk melakukan persetubuhan. Herry pun terpaksa akan mengakhiri masa hidupnya di jeruji besi setelah Pengadilan Tinggi Bandung memvonis pidana mati terhadap terdakwa Herry Wirawan melalui putusan Nomor 86/PID.SUS/SUS/2022/PT BDG.
Tak hanya itu, kasus dugaan pencabulan jemaah oleh Pendeta selama bertahun tahun. Mirisnya, pencabulan tersebut diduga dilakukan pada korban sejak masih berumur 10 tahun hingga sekarang berumur 26 tahun. Beruntung, kasus tersebut berhasil diungkap oleh Polda Jawa Timur pada tahun 2020 lalu.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2020 merinci, pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terbanyak dilakukan oleh guru dengan 22 kasus, kepala sekolah sebanyak delapan kasus, dosen sepuluh kasus, peserta didik dengan enam kasus, dan pelatih sebanyak dua kasus, dan pihak lain berjumlah tiga kasus.
Deputi Bidang Khusus Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar sangat menyayangkan atas kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan. Menurutnya, pendidikan semestinya memberikan bimbingan dan perlindungan, jika peran ini disalah gunakan maka sudah sepatutnya dihukum secara berat. “Saya sangat menyesali jika Kepala Sekolahnya menjadi pelaku yang seharusnya memberikan perlindungan bagi muridnya.” Kata Nahar, Selasa (14/02/23).
Peserta didik yang menjadi objek pemuasan hasrat seksual berada pada titik yang tidak berdaya (Powerless) akibat relasi kuasa yang lebih dominan dan superior. Bahwa “ilmu” yang dimiliki oleh Guru, ustaz, dosen, atau kepala sekolah (subjek) menjadi modalitas utama dalam mengeksploitasi korban. Problematika ini bertolak belakang dengan konstruksi masyarakat terhadap seorang alim dalam urusan agama yang memiliki citra baik.
Kekerasan seksual di lembaga pendidikan
Pelecehan seksual menjadi sorotan Komisi Nasional Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Komnas Perempuan) setiap kali mereportase Catatan Tahunan (CATAHU). Kasus pelecehan yang dilakukan oleh oknum guru agama dikategorikan sebagai Kekerasan Berbasis Gender (KBG), karena semua laporan kasus yang menyeret tokoh agama di Pesantren, Madrasah, dan Pendidikan Gereja. Dengan kategori tersebut, Komnas Perempuan mencatat selama 7 tahun (2015-2021) pesantren menjadi nomor dua tertinggi di bawah Perguruan Tinggi dari 67 kasus yang diterima.
Dari 67 pengaduan korban di lingkungan pesantren dari tahun 2015 hingga 2021, Kampus menempati urutan pertama dengan 35 kasus. Pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam sebanyak 16 kasus. Selanjutnya, di level SMA/SMK sebanyak 15 kasus. Sementara itu, jumlah Tidak Teridentifikasi (TT) sebanyak 11 kasus, pelapor hanya menyebut dalam kronologi di lembaga tanpa menyebutkan keterangan SD, SMP atau SMA.
Selain kekerasan seksual di lembaga pendidikan, Komnas Perempuan juga merilis fakta profesi pelaku kekerasan di lingkungan Pendidikan. Beberapa hasil identifikasi pelaku sesuai status sosialnya guru tergolong dengan jumlah 28 dari 67 kasus, kemudian disusul Dosen sebagai pelaku terbanyak nomor dua.
Guru dan ustad yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung bagi korban justru menjadi kategori pelaku terbanyak selama 7 Tahun. Dari tahun 2015 hingga tahun 2021 sebanyak 28 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan patut menjadi perhatian masyarakat. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terkait dengan relasi dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian. Sementara di lingkungan pesantren, tindakannya berupa memanipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku secara terpaksa (tidak sadar).
Salah tafsir dalil dan menyimpang dari nilai Islam di Indonesia
Salah satu kasus yang ramai diperbincangkan adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh Fahim Mawardi terhadap santrinya. Pelaku merupakan guru agama sekaligus pengasuh di salah satu Pesantren Al-Djaliel 2 Jember. Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo dalam jumpa pers menjelaskan bahwa pihaknya telah menetapkan Fahim sebagai tersangka. “Penyidik menetapkan MF sebagai tersangka yang akan dilakukan penahanan akibat tindak pidana kekerasan seksual”. Tegas Hery (20/1/23).
Dalam proses praperadilan pada tanggal 13 Februari 2023, Hakim Ketua Alfonsius Nahak dalam siding praperadilan menolak permohonan pra peradilan kuasa hukum tergugat. Kuasa hukum melakukan apologi dengan alasan tindakan kliennya terhadap 4 santriwati memiliki dasar hukum Islam. FM dianggap telah menjalankan pernikahan menggunakan Mazhab Daud az-Zahiri. Artinya pendapat Imam Daud dipahami memperbolehkan nikah tanpa adanya wali.
Setelah mendengar pembelaan tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember, K.H. Abdul Haris angkat bicara dan mendelegitimasi segala pernyataan yang mengatasnamakan agama demi suatu kemudharatan (pelecehan). Menurutnya, ajaran tersebut tidak banar. Sebab, pernikahan tanpa wali hukumnya haram.
“Nikah secara umum saling berkorespondensi dengan rukun nikah. Sebab itulah jika proses pernikahan tanpa wali, jelas hukum nikahnya batal. Nikah tanpa wali tanpa saksi itu jadinya menggabungkan dua mazhab yang berbeda, akhirnya mazhabnya tidak jelas. Jadi tidak ada pernikahan seperti itu,” terang K.H. Abdul Haris, Jumat (21/01/23).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saifullah Yusuf atau yang disapa Gus Ipul turut menyayangkan atas peristiwa yang mengkambing-hitamkan agama seperti dugaan pencabulan yang dilakukan oleh oknum tokoh agama.
“Saya sangat prihatin jika masih ada kasus pencabulan terhadap santri. Kemarin beberapa santriwati di Jember menjadi korban pencabulan, dan pelakunya adalah orang yang mengatasnamakan kiai tapi perilakunya cabul. Sebab itulah kasus ini harus diusut secara tegas dan tuntas,” Kata Gus Ipul, Jum’at (6/01/23).
Mitigasi pencegahan kekerasan seksual di pesantren
Kementerian Agama (Kemenag) telah membentuk tim kelompok kerja untuk percepatan penanganan tindak kekerasan seksual di pesantren. Sebagai langkah awal, tim pokja menjalin kerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Anak Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri untuk membuat survei awal kepada komunitas pesantren.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghafur mengatakan, Survei melibatkan 1.402 responden di 34 provinsi, terdiri dari pengelola pendidikan keagamaan Islam, guru, santri, dosen, mahasiswa/siswa, pemuka agama, wali santri, dan pengelola pesantren.
”Lebih dari 95 persen responden menilai penting adanya regulasi dan mekanisme khusus untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan,” kata Waryono dalam diskusi bertajuk ”Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Islam” yang digelar Kementerian Agama di Jakarta, Kamis (3/2/22).
Selain itu, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 mengatur penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Satuan Pendidikan di Kementerian Agama yang mencakup jalur pendidikan formal, non formal, dan informal, serta meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.
Salah satu substansi dalam PMA ini adalah mengatur klasifikasi bentuk kekerasan seksual yang mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Bentuk kekerasan seksual ini dijelaskan dalam Bab 2 yang tertuang pada pasal 5 ayat 1.a.
Meski kekerasan seksual juga terjadi di pesantren, masyarakat tidak perlu ragu melepas anak-anaknya belajar di pesantren. Sebab, potensi kekerasan dan perlindungan anak berpotensi terjadi di lembaga pendidikan lain. Bahkan sebelum ini, kasus kekerasan seksual lebih banyak terjadi di lembaga pendidikan non pesantren. Dengan kata lain, kejadian kekerasan seksual di beberapa pesantren tidak mencerminkan wajah pondok pesantren secara keseluruhan.
Penulis: Warda Nafisah | Editor: Uud