Menjelang pemilu 2024, politik identitas menjadi salah satu perhatian utama yang harus diwaspadai secara ketat. Slogan yang dipilih Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 2024, “Pemilu Sebagai Sarana Integrasi Bangsa”, bukan tanpa alasan. Dengan semboyan itu, KPU ingin pemilu mempersatukan bukan memecah belah bangsa.
Narasi dan perdebatan politik identitas marak terjadi saat Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Jelang hingga selesainya pemilihan inilah politik identitas banyak dibicarakan. Tak dapat dipungkiri bahwa dua hajat demokrasi itu telah memperlihatkan pecah-belah masyarakat. Sebuah polarisasi yang menjadi racun, merusak dan kontraproduktif bagi kehidupan demokrasi.
Menyisakan luka akibat politik identitas yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta pada 2017 hingga kini masih terbayang. Untuk itu, pembelahan di antara kelompok masyarakat harus segera diredam serta jangan sampai muncul dan terulang kembali.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo mengajak masyarakat, penegak hukum, maupun institusi pemerintah perlu bekerja sama menciptakan kontestasi politik yang sehat untuk mencegah politik identitas muncul dan menguat kembali, terutama menjelang Pilpres 2024.
”Bagaimana konteks dalam (peringatan) 77 tahun TNI ini dan konteks penguatan kapasitas sipil serta kerja sama sipil-militer bisa berjalan bersama untuk menegakkan politik kebangsaan dan kenegaraan di Pemilu 2024 sehingga (kita) bisa optimistis berjalan dan satu sebagai bangsa Indonesia,” ujar Ari, di Jakarta (6/8/22).
Secara teoritis, menurut Lukmantoro, politik identitas adalah politik yang mengutamakan kepentingan anggota suatu kelompok yang memiliki identitas atau ciri yang sama, tanpa memandang ras, suku, gender, atau agama. Interpretasi lain dari politik perbedaan adalah politik identitas. Dalam konteks agama, politik identitas memanifestasikan dirinya melalui inisiatif yang berbeda untuk memasukkan nilai-nilai agama ke dalam proses pembuatan kebijakan dan kekuasaan.
Perkembangan politik identitas
Menurut Foucault, munculnya politik identitas atau biopolitik merupakan konsekuensi dari disintegrasi “masyarakat yang terencana secara ilmiah”, sebuah gerakan sosial yang ditandai dengan pengadopsian manajemen demografis yang objektif.
Klaus Von Beyme meneliti sifat gerakan identitas selama tahap perkembangan pramodern dan pascamodern. Gerakan sosial politik dipicu oleh perbedaan mendasar antara kelompok etnis dan bangsa. Dalam skenario ini, para pemimpin memulai mobilisasi ideologis. Tujuannya adalah perebutan dan perebutan kekuasaan dari satu penguasa ke penguasa baru.
Pada zaman sekarang, gerakan muncul dengan sikap bersyarat, dan perpecahan memerlukan mobilisasi sumber daya. Ada keseimbangan antara mobilisasi dari atas dan keterlibatan dari bawah, posisi pemimpin tidak lagi mendominasi, dan tujuan utamanya adalah pembagian kekuasaan.
Gerakan politik identitas merekonstruksi “narasi besar”, yang pada prinsipnya mereka tolak, dan menghasilkan teori yang mengatur ciri-ciri biologis sebagai komponen pembeda mendasar dalam pengalaman hidup mereka. Ada kecenderungan dalam gerakan politik identitas untuk membangun sistem apartheid terbalik.
Ketika kekuasaan tidak dapat ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak dapat dicapai sebagai tujuan gerakan, pemisahan diri dan pengucilan diri diadopsi sebagai solusi. Kelemahan gerakan politik identitas adalah keinginannya untuk membentuk kelompok tersendiri, serta adanya sikap yang mengedepankan golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.
Deputi Pengkajian Strategik, Reni Mayerni menilai politik identitas merupakan dinamika dalam demokrasi, karena ambisi politik dilembagakan ke dalam kelompok-kelompok, termasuk partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terkait dengan identitas tertentu. “Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah merebaknya politik identitas,” ucapnya (3/3/21). , Rabu (03/3/21).
Menurut Reni, identitas yang dibawa ke dalam politik harus dilakukan secara etis dan moral, dan tidak boleh melampaui batas-batas yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. “Fenomena ini merupakan tantangan yang dihadapi dan perlu dicari solusinya, agar keran demokrasi yang ada dapat dipergunakan dengan sesuai koridor hukum di Indonesia,” ucap Reni.
Mereduksi politik identitas
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengimbau partai politik tidak menggunakan politik identitas dalam kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ia meminta agar semua partai, caleg, dan calon presiden mengajukan proposal.
“Saya selalu titip jangan menggunakan politik identitas. Sekarang ini bukan lagi eranya gontok-gontokan, sekarang ini eranya adu gagasan, kontestasi program, mengadu ide,” ujar Jokowi saat menghadiri acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Bulan Bintang (PBB) di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu, (11/1/23).
Politik identitas, terutama identitas agama, bisa dikatakan sudah jadi bagian dari sejarah kebangsaan kita. Hal ini terjadi bukan belakangan ini saja, melainkan sejak masa-masa awal kemerdekaan. Bahkan, politik identitas adalah bagian dari sejarah nasionalisme untuk merebut kemerdekaan.
Persoalan politisasi agama telah sering menjadi perdebatan dalam perumusan kebijakan pemerintah. Meski demikian, jika terkait politik identitas terkait kebijakan ini tidak terjadi keseimbangan di antara berbagai kelompok akan menimbulkan kecemburuan dan diskriminasi. Tak jarang, dalam diskursus demokrasi dewasa ini selalu minumbulkan ujaran kebencian dan penghinaan. Kebencian itu dibumbui dengan dalil agama dengan menumbuhkan perasaan terancam jika lawan politiknya memenangi pertarungan.
Maka dari itu, praktisi politik (partai) seharusnya meredam politik kebencian berbasis identitas, bukan justru menyalahgunakan kewenangan dengan cara memanfaatkan individu dan kelompok untuk menyuarakan politik identitas. Dengan kata lain, di balik itu, ada sistem cara berpikir yang membentuk, seperti politik kebencian dianggap sebagai perintah agama, selalu merasa terancam eksistensinya, atau merasa diperlakukan tidak adil.
Penulis: Ainur l Editor: Uud