Tahun 2024 mendatang merupakan kali pertama pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak secara nasional yang meliputi pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota akan dihelat pada 27 November 2024. Menjadi kepala daerah kerap dianggap sebagai jalan menuju kekayaan dan keuntungan bagi pribadi dan kelompok tertentu. Tidak jarang beberapa calon kepala daerah tidak memiliki kompetensi yang kuat, namun tetap memaksakan diri untuk maju, karena merasa lamaran mahar politik dapat dibeli dengan uang.
Dampak Positif
Dengan diadakannya Pilkada serentak, pertumbuhan perekonomian Indonesia akan meningkat dengan daya beli yang tinggi bagi masyarakat secara umum. Contohnya penjualan kaos, baliho, poster, dan kebutuhan konsumsi lainnya akan meningkat pesat.
Selain itu, kebijakan program kerja pemerintah daerah akan dengan mudah menyelaraskan dengan program kerja pemerintah pusat baik yang tertulis pada rencana program jangka menengah maupun rencana program jangka panjang. Pilkada serentak juga akan memudahkan pemerintah pusat dalam melaksanakan pelantikan secara serentak, sehingga program yang akan dijalankan akan akurat dan selaras dengan tujuan program pembangunan nasional.
Dampak Negatif
Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 menyebut, modal untuk calon bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan dana Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode. Mahalnya biaya politik dalam pencalonan dan kampanye pilkada serta rendahnya pengawasan di tingkat lokal mendorong tingginya angka korupsi di tingkat pemerintahan daerah sehingga akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan efektivitas pemerintahan.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sejak 2004 hingga Januari 2022 ada 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang ditangkap KPK. Selain itu, Berdasarkan pengumpulan data oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-Juni 2018 ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian. Data ICW juga menempatkan pemerintah kabupaten/kota sebagai lokus tindak pidana korupsi terbanyak dibanding instansi lainnya dengan total 537 kasus dari tahun 2004 hingga tahun 2022.
Persoalan saat ini, mindset koruptif tidak hanya tertuju pada calon kepala daerah, namun juga masyarakat yang masih rela menjual hak suaranya kepada calon tertentu karena berani membeli suara dengan nilai yang lebih besar. Inilah kemudian yang menjadi celah bagi pengusaha maupun pemilik modal untuk terlibat langsung dalam konstelasi politik.
Selaras dengan pendapat Peter Larmour, akademisi anti korupsi asal Universitas Pasifik Selatan menyebut, bahwa perilaku korupsi sangat erat kaitannya dengan pengusaha, yang rentan terjadinya konspirasi dan berpotensi menumbangkan kebijakan publik. Akibatnya, kepentingan kesejahteraan masyarakat dikesampingkan, sementara kepentingan pemodal berjalan mulus demi keuntungan bisnis kapital.
Pemilih berpotensi tidak cermat dalam melakukan pemetaan calon yang akan dipilih karena pemilihan (7 kotak suara) dilakukan dalam satu waktu. Pemilih pemula, Lansia dan pemilih perempuan cenderung mengalami kesulitan dalam menentukan kualifikasi calon. Kedua, akan ratusan daerah baik itu provinsi, kabupaten/kota yang tidak memiliki kepala daerah pada tahun 2022 dan 2023. Setidaknya, terdapat 101 daerah di tahun 2020 dan 170 daerah di tahun 2023, yang akan dipimpin oleh Plt penjabat.
selain itu, aparat penyelenggara berpotensi mengalami degradasi mental dan kegagalan kinerja. Pasalnya, mekanisme kerja borongan yang rumit dan rentan kecurangan karena harus mengerjakan 7 pemilu sekaligus dalam satu tahun. Hal ini akan menyebabkan angka gugurnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berpotensi akan bertambah. Pada pemilu 2019, sebanyak 440 orang meninggal, dan 3.788 orang lainnya mengalami sakit. Kepergian para pahlawan demokrasi yang gugur akibat aktivitas dan pekerjaan yang padat patut dipikirkan dan disiasati dengan strategi pelaksanaan secara matang.
Peran Partai Politik
Untuk mereduksi mindset koruptif yang terjadi di beberapa daerah, partai politik memiliki peran yang sangat krusial. Mengapa? Karena partai politik-lah yang memiliki tiket calon kepala daerah yang akan dipilih oleh masyarakat.
Proses seleksi calon pemimpin seringkali tidak dilakukan berdasarkan kualitas kader yang sistematis, transparan, dan berkualitas seperti yang biasa digunakan dalam setiap panggung politik. Realitas yang tidak menguntungkan ini mengasumsikan sebagian besar partai politik tidak dikelola secara profesional. Namun, lebih kepada kepentingan finansial.
Mereka cenderung pragmatis dan mengabaikan rekrutmen kader internalnya. Kondisi ini dapat dilihat dari sebagian besar partai lebih bersemangat untuk mengusulkan kandidat dari luar partai. Oleh karena itu, tidak jarang pengusaha, bintang film, penyanyi, dan selebriti lainnya bergabung dengan partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen atau bupati/walikota dan gubernur meskipun mereka tidak memiliki pengalaman politik. Mereka hanya membawa uang dan ketenaran, tetapi mereka tidak memiliki modal pengalaman dan kompetensi yang mumpuni.
Sebagian besar parpol belum menempatkan pendidikan, integritas, dan kapasitas yang baik sebagai faktor penting dalam pengkaderan. Mereka menempatkan prinsip ‘loyalitas’ kepada pimpinan partai politik dan kontribusi keuangan sebagai faktor penting untuk promosi pemimpin baru di dalam partai politik. Dalam jangka panjang, situasi ini juga menimbulkan ketidakpastian dan ketimpangan kaderisasi calon pemimpin baik di tingkat lokal, provinsi, hingga nasional.
Pilkada serentak adalah medan kontestasi politik dengan seperangkat aturan main yang tidak secara otomatis menghasilkan figur pemimpin yang transformasional. Oleh karenanya, publik harus memiliki kapasitas berdemokrasi untuk melakukan penyaringan para calon pemimpin tersebut. Untuk itu, kita harus mendorong publik untuk memilih berdasarkan kalkulasi rasional, yaitu mencari pemimpin yang memberikan dampak bagi pembangunan dan kesejahteraan publik di tingkat lokal serta pemimpin yang punya komitmen antikorupsi.
Penulis: Mas Uud | Editor: Reza