Jakarta merupakan ibu kota negara dengan kepadatan penduduk terbesar daripada kota-kota lain di Indonesia. Bahkan, Jakarta sebagai kota peringkat pertama dengan jumlah penduduk sebanyak 11,25 juta jiwa pada Juni 2022, dan luas wilayah mencapai 661,23 km persegi (Badan Pusat Statistik, 2022). Kepadatan penduduk mengakibatkan keterbatasan lapangan pekerjaan, menghambat proses peningkatan kualitas masyarakat, serta kemacetan yang tak kunjung diselesaikan dengan baik.
TomTom Traffic Index (2023) menyebut, Jakarta menempati posisi ke-29 sebagai kota termacet dari 389 kota di dunia. Di Asean, Jakarta menempati urutan pertama kota paling macet. Di bawah Jakarta, ada Bangkok di posisi ke-57, disusul Singapura pada posisi ke-127, dan Kuala Lumpur pada tempat ke 143.
Permasalahan kemacetan di Jakarta seolah-olah menjadi pemandangan sehari-hari di waktu pagi, sore, hingga malam hari. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman menyebutkan bahwa indeks kemacetan di Ibu Kota sudah melebihi 50 persen. Prakiraan tersebut melebihi situasi pada tahun 2019. Kala itu, skor indeks kemacetan mencapai 53 persen.
“Pada 2019, Jakarta indeks kemacetannya sudah di angka 53 persen. Kalau sudah di angka 50 persen itu sangat mengkhawatirkan, apalagi angka 40 persen, berarti sudah tidak nyaman,” kata Latif, dikutip dari Korlantas Polri, Rabu, (25/3/2023).
Mengatasi macet Jakarta memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah dan beberapa pihak perlu mengotak-atik serta mengintegrasikan antar kebijakan pengaturan lalu lintas dan pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Faktor kemacetan di Jakarta
Faktor yang mempengaruhi kemacetan lalu lintas yakni banyaknya penggunaan kendaraan pribadi yang setiap tahunnya selalu bertambah. BPS (2022) menunjukkan, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Meningkatnya jumlah kendaraan seiring bertambahnya jumlah penduduk karena kendaraan fasilitator utama pergerakan masyarakat.
Tercatat, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota mencapai 26,37 juta unit pada 2022. Jumlah ini meningkat 4,39% dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sebanyak 25,26 juta unit. Adapun pada 2020 jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta ada sebanyak 24,26 juta unit. Angka tersebut naik dari 2019 sebanyak 23,86 juta unit dan dari 2018 sebanyak 22,49 juta unit.
Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta pada 2022 paling banyak berupa sepeda motor. Terdapat 17,3 juta unit sepeda motor di DKI Jakarta atau setara 65,6 persen dari total kendaraan bermotor di kota tersebut. Kemudian, ada sebanyak 3,76 juta mobil penumpang, 748,39 ribu unit truk, dan 37,18 ribu unit bus di DKI Jakarta pada 2022.
Selain itu, buruknya sistem pengaturan lampu lalu lintas, banyaknya persimpangan jalan, padatnya kendaraan di jalan, dan minimnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kendaraan transportasi umum juga menjadi pemicu kemacetan.
Parahnya kemacetan di Ibu Kota terpantau pada situs tomtom.com. Berdasarkan situs tersebut, pada tahun 2022, lama waktu perjalanan yang diperlukan untuk menempuh jarak 10 kilometer yakni sebanyak 22 menit 40 detik. Puncak kemacetan di Jakarta terjadi pada pukul 08.00 WIB dan pukul 17.00-18.00 WIB pada hari kerja.
Sementara itu, dalam tujuh hari terakhir, yakni pada tanggal 19 hingga 26 Maret 2023, lama perjalanan untuk menempuh jarak 10 kilometer pada pukul 08.00 WIB mencapai 23 hingga 25 menit. Sementara itu, pada puncak mobilitas di sore hari, dibutuhkan waktu 29 menit hingga 32 menit per 10 kilometer perjalanan.
Dampak kemacetan
Permasalahan kemacetan lalu lintas sangat berdampak terhadap lingkungan dan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Dari segi lingkungan, Kemacetan di Jakarta berdampak terhadap pencemaran lingkungan, seperti adanya peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berasal dari kendaraan bermotor. Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Yusman Saukat dalam penelitiannya menyebut bahwa zat asing dengan durasi waktu yang relatif lama di udara sangat mengganggu terhadap lingkungan.
“Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan,” tulis Yusman dikutip dari laman resmi IPB https://jurnal.ipb.ac.id/, Sabtu (25/3/2023)
Dampak kemacetan lalu lintas juga berdampak terhadap aktivitas perekonomian, berkurangnya waktu pengemudi, dan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna kendaraan. Misalnya, seperti pengendara yang harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli bahan bakar minyak dengan nilai tarif yang lebih banyak.
Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno mencatat, kerugian ekonomi akibat kemacetan di wilayah Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun. Hitungan ini berdasarkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM) dan waktu hilang akibat kemacetan.
“Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 Juta liter per hari,” kata Djoko, Senin (13/2/2023).
Mengatasi kemacetan
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan antara lain penambahan fasilitas jalan, pembangunan jalan tol, pembangunan jalan layang dan terowongan, peningkatan Area Traffic Control System (ATCS), dan peningkatan transportasi publik.
Berbagai kemudahan dalam bermobilitas sejatinya telah dihadirkan sebagai solusi mengurai kepadatan lalu lintas di Jakarta. Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menjadikan program pengendalian kemacetan sebagai agenda prioritas untuk dicarikan solusinya.
“Program-program peningkatan sarana transportasi massal di Jakarta ini salah satunya bertujuan untuk mempermudah akses mobilitas warga dalam beraktivitas sehari hari, sekaligus dapat menunjang pertumbuhan roda perekonomian,” kata Heru dalam keterangan resminya, Selasa (21/3/2023).
Dikutip dari smartcity.jakarta.go.id, langkan pemerintah DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan antara lain, pemberlakuan ganjil genap pada hari Senin sampai Jumat, pembangunan Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan KRL (Kereta Rel Listrik atau Commuter Line), dan Bus Transjakarta.
Akan tetapi, langkah tersebut belum mengurangi indeks tingginya kemacetan di Jakarta. Pemerintah perlu menggalakkan kampanye kesadaran bagi warga Jabodetabek untuk menggunakan kendaraan transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi.
Pemerintah perlu memberlakukan pembatasan kendaraan yang melintas di jalan raya, misalnya sistem pelat nomor ganjil genap, atau bahkan hanya memperbolehkan kendaraan warna tertentu seperti Busway, Ambulan, dan Mobil Damkar. Selain itu, peraturan jadwal jam masuk kerja (Work from Everywhere) yang berbeda-beda pada setiap instansi, maupun perusahaan sehingga kepadatan lalu lintas dapat diterapkan agar laju kendaraan tidak memuncak pada jam tertentu.