Jember, Deras.id – Dalam tubuh setiap organisasi gerakan, kaderisasi bukan hanya ritual rutin tahunan yang dijalankan demi memenuhi kalender program kerja. Ia adalah jantung dari seluruh proses regenerasi, transmisi nilai, dan penciptaan kader-kader visioner yang mampu menjawab tantangan zaman. Dalam tradisi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kaderisasi dimaknai sebagai ikhtiar ideologis dan praksis untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berpijak pada nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan cita-cita keadilan sosial. Maka ketika proses kaderisasi mulai tersumbat oleh logika struktural yang elitis, dan semangat emansipatorisnya terdistorsi oleh kepentingan sempit, di situlah organisasi pada akhirnya akan menemui ajalnya.
Beberapa hari teterakhir, kurang lebih satu minggu, kami—kader PMII Komisariat Universitas Islam Jember (UIJ)—mengalami gelombang perasaan yang campur aduk, dan juga kacau balau. Di satu sisi, ada kebanggaan dan semangat tinggi untuk mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL)—sebuah tahapan penting dalam proses kaderisasi PMII. Di sisi lain, ada kekecewaan yang mendalam, bahkan luka batin yang belum sembuh hingga kini. Semua berawal dari satu hal yang mestinya menjadi gerbang pengembangan diri: kaderisasi. Namun alih-alih berkembang, kami justru merasa dikebiri secara struktural dan dipinggirkan secara sistematis.
Muspimcab dan Peta Kaderisasi: Di Mana UIJ?
Hasil Musyawarah Pimpinan Cabang (Muspimcab) PMII Jember baru-baru ini mengesahkan sistem kaderisasi baru yang disebut-sebut sebagai Panduan Utama mencetak kader ulul albab. Dokumen resmi itu memuat tujuh arah gerak komunitas kaderisasi: Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan Transformatif.
Sekilas tampak mengagumkan. Terlihat rapi, konseptual, bahkan ambisius. Namun dari keseluruhan isi dokumen tersebut, satu pertanyaan besar muncul: Mengapa PMII Komisariat Universitas Islam Jember (UIJ) tidak disebutkan sebagai bagian dari pemetaan kelembagaan dalam proses kaderisasi ini?
Padahal UIJ memiliki sejarah panjang dan kontribusi signifikan dalam proses kaderisasi PMII Jember. Banyak penggerak, pemikir, dan terutama pengabdi organisasi yang lahir dari sana. Tidak menyebut PMII UIJ bukan hanya soal terlewatnya administrasi; ini soal representasi. Ketidakhadiran PMII UIJ dalam peta kelembagaan secara formal merupakan bentuk pengabaian terhadap kontribusi sejarah dan potensi kader yang lahir dari rahim kampus ini.
Padahal, PMII UIJ terlibat secara formal dan informal dalam proses penyusunan dokumen arah kaderisasi ini. Tapi absennya nama PMII UIJ dalam naskah resmi hasil Muspimcab memperlihatkan adanya sikap eksklusif, bias struktural, dan ketimpangan relasi kuasa dalam mengelola organisasi. Ketika lembaga sebesar PMII tidak mampu menghadirkan keadilan representatif terhadap bagian tubuhnya sendiri, maka kita patut bertanya: ke mana arah gerak kaderisasi ini ingin dibawa?
Teori Representasi dan Keadilan Organisasi
Dalam perspektif teori representasi, seperti yang dijelaskan Hanna Pitkin (1967), representasi bukan sekadar keterwakilan simbolik, tetapi juga melibatkan proses penyuarakan kepentingan dan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Ketika PMII UIJ tidak diikutsertakan secara formal dalam peta kelembagaan kaderisasi seperti yang ada dalam draf Muspincab, itu menunjukkan absennya “representasi substantif” dalam organisasi. Padahal dalam konteks gerakan sosial, seperti PMII, prinsip keadilan organisasi menuntut adanya distribusi ruang yang adil bagi semua elemen untuk turut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Situasi ini juga mengingatkan penulis pada kritik Antonio Gramsci tentang hegemoni kultural, di mana kekuasaan tidak selalu bekerja secara represif, melainkan melalui mekanisme konsensus yang bias. Dengan tidak disebutnya PMII UIJ, maka konsensus struktural yang dibentuk dalam Muspimcab menjadi cacat sejak awal karena tidak mencakup seluruh suara dan partisipasi yang seharusnya hadir.
Pengalaman Pahit di Gerbang PKL
Kami datang ke lokasi PKL dengan semangat membara lantaran mulanya dipersilahkan oleh ketua cabang PMII Jember. Namun tak hanya itu. Kami diibekali arahan dari para senior, didorong oleh semangat ingin tumbuh, dan dipenuhi optimisme untuk naik satu tangga lagi dalam proses kaderisasi PMII.
PKL bagi kami bukan sekadar agenda formal saja; ia adalah momen transformasi intelektual, spiritual dan juga emosional. Tempat kami memperdalam pemahaman, memperluas wawasan, memperteguh keyakinan, dan membangun jejaring pemikiran lintas komisariat bahkan cabang.
Namun, realitasnya jauh dari harapan. Alias jauh panggang dari api. Kami harus menghadapi situasi yang absurd: diterima-tidak diterima, masuk-dikeluarkan, tanpa kejelasan komunikasi. Kami menunggu empat jam lebih tanpa kepastian apa pun. Duduk di lokasi, diam, dan terus menanti. Rasanya seperti jomblo yang digantung tanpa kepastian, hanya saja ini jauh lebih menyakitkan—karena menyangkut masa depan kaderisasi kami.
Miskomunikasi atau Maladministrasi?
Alasan yang kami dengar—soal miskomunikasi antara ketua cabang, pengurus cabang, dan ketua SC—terdengar klise. Tapi dampaknya sangat nyata: kami merasa diabaikan. Lebih menyakitkan lagi adalah soal sikap. Tidak ada keterbukaan, tidak ada transparansi, dan tidak ada penghormatan atau mnimial penghargaan terhadap kader. Kami diperlakukan sebagaiman bukan aset dari organisasi, tetapi seperti beban yang bisa dikesampingkan kapan pun.
Kalau memang ada masalah administratif, misalnya kami tidak mengisi Google Form, seharusnya ada ruang komunikasi untuk menyampaikan itu secara membina, bukan malah digantung tanpa keputusan. Bukankah PMII menjunjung nilai inklusif, edukatif, dan transformatif? Maka seharusnya, kekurangan kami bukan jadi alasan untuk menghambat proses, melainkan dijadikan momentum pembelajaran bagi kami yang barangkali secara pemikiran tak begitu matang layaknya pengurus-pungurus yang berada di tingkat cabang.
PMII Bukan Milik Elite Struktural
Kutipan dari Bang Dwi Winarno dalam buku Refleksi 60 Tahun PMII sangat relevan: “Kader-kader PMII sulit memiliki daya saing jika proses kaderisasi terlalu njelimet, serba administratif dan birokratik, memperbanyak hambatan, sekadar formalitas tanpa peduli output, dan gagal mengembangkan potensi kader.”
Inilah yang sedang terjadi di PMII Cabang Jember. Organisasi ini terlalu larut dalam formalitas dan simbolisme, namun gagal membangun ruang partisipasi kader secara nyata. Terlalu banyak bicara konsep, namun minim pelibatan. Terlalu sibuk dengan struktur, namun lupa pada substansi. Ini bukan ciri organisasi progresif, melainkan gejala organisasi yang stagnan dan sibuk mengurusi ego personal anggotanya.
Kami tidak sedang mengemis pengakuan. Jika memang Cabang PMII Jember menganggap UIJ tak layak disebut dalam dokumen kaderisasi, maka biarlah sejarah yang menilai. Tapi kami ingin menegaskan: kami akan tetap berkhidmat. Kami akan terus menyiarkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah dan Nilai Dasar Pergerakan (NDP), meski tanpa pengakuan formal dari cabang Jember itu sendiri.
Kritik ini bukan bentuk pemberontakan. Ini adalah bentuk kepedulian. Kami ingin PMII tetap menjadi ruang yang sehat, terbuka, dan egaliter. Tempat di mana semua kader bisa tumbuh dan berproses tanpa takut dikecualikan atau diremehkan hanya karena berasal dari komisariat tertentu.
Sudah cukup kami bersabar. Saatnya kader bergerak. Bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menyelamatkan. Jangan biarkan kaderisasi PMII dikendalikan oleh pola pikir sempit dan kepentingan struktural semata. Mari pastikan, bahwa mereka yang duduk di kursi kepemimpinan berikutnya adalah kader-kader yang benar-benar paham ruh kaderisasi dan mau membina, bukan sekadar menjaga kuasa.
PMII adalah milik kita semua, bukan hanya milik segelintir elite struktural. Maka tugas kita hari ini adalah merawatnya, mengingatkannya, dan jika perlu—mengguncangnya agar kembali ke jalan yang benar. Karena kaderisasi bukan wahana main-main. Ini adalah jalan menuju perubahan sosial, dan tidak boleh dijalankan dengan cara yang semrawut dan elitis
Penulis: Muhamamd Nafis SaighoniSaighoni Kader PMII Hukum UIJ